Belum lama ini, selebritis Kartika Putri merasa diintimidasi oleh pihak bandara karena niqab atau cadar yang dipakainya. Ia pun mengungkapkan kekecewaannya, alam unggahan di akun Instagram pribadinya, @kartikaputriworld, ia menulis cukup panjang tentang awal mula kejadian.
Pada keterangan tersebut, Kartika Putri bercerita bahwa ia mengenakan pakaian syar’i dan niqab ke bandara dengan alasan agar merasa lebih nyaman dan aman. Namun, perlakuan yang ia terima justru sebaliknya.
Dalam keterangannya, Kartika menuliskan, “Tapi sedih dan miris sekali karena sampai di bandara saya masuk di security check (lolos karena tidak ada bunyi) tapi koper saya diperiksa secara random ( FYI: saya selalu bawa koper kecil yang kosong untuk bawa buku saja) lalu saya bertanya kenapa random cuma saya padahal koper saya kosong,” tulisnya.
Kartika Putri sempat bertanya kepada petugas, ia diperlakukan seperti itu apa karena dirinya bercadar.
“Mereka cuma bilang random aja.. dan saya buka tetapi pandangan mereka sangat tidak “nice” dan tidak sampai di situ.. di pemeriksaan ke dua terjadi hal yang sama bahkan di diperiksa tubuhnya (oleh petugas wanita memang) padahal saya lolos sensor lagi dan lagi koper. Dan mereka meminta boarding pass padahal sudah diperiksa 1x di depan,” tambah Kartika Putri.
Kartika Putri mengaku, dirinya kini makin tertantang untuk menggunakan niqab. Ia mengatakan bahwa dirinya merasa kaget dan juga sedih akan kejadian ini.
“Saya jadi makin tertantang tuk menggunakan niqab di tempat umum lainnya tuk lebih tau bagaimana reaksi sekeliling.. Ingat ya kami muslimah yang menggunakan niqab juga mempunyai hati dan perasaan jadi perlalukanlah sebagaimana mestinya tanpa diintimidasi. Masih shock dan sedih,” tambah Kartika Putri.
Sebelum membahas aturan pemeriksaan jilbab di bandara, kita perlu tahu sejak kapan aturan pemeriksaan menjadi lebih ketat. Semua berawal dari peritiwa 9/11, sebuah peristiwa pembajakan pesawat oleh teroris hingga menabrak gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York. Peristiwa ini menewaskan 213 penumpang pesawat dan hampir 3.000 orang yang sedang bekerja di dalam gedung pencakar langit dan kawasan sekitarnya.
Sejak tragedi tersebut, prosedur keamanan bandara di dunia, khususnya Eropa dan Amerika Serikat semakin diperketat. Pada Bulan November tahun 2001 terjadi perombakan pada peraturan keamanan udara di Amerika dan menghasilkan Aviation and Transportation Security Act (ATSA) sebagai landasan aturan keamanan udara.
Aviation and Transportation Security Act (ATSA) akhirnya dijadikan sebagai rujukan bandara internasional lainnya untuk membuat aturan keamanan di bandara. Proses pemeriksaan yang semula lebih longgar lantas diubah menjadi lebih mendetail. Termasuk di dalamnya pemeriksaan seluruh barang bawaan yang harus melewati rangkaian pemeriksaan, baik alat pendeteksi logam maupun alat pendeteksi badan peledak.
Benda-benda tajam yang semula diizinkan dibawa ke kabin pun kini dilarang, seperti pisau saku dan gunting. Pemeriksaan personal tak luput dari pengetatan. Barang yang dipakai penumpang seperti jam tangan, aksesoris, atau sabuk pun harus masuk dalam prosesi pengecekan keamanan.
Setelah banyak negara yang merujuk Aviation and Transportation Security Act (ATSA), penumpang mulai diharuskan mengikuti banyak pemeriksaan. Mulai dari metal detector, full body scanner, dan ditutup dengan proses pat-down screening. Prosesi ini adalah saat di mana petugas bandara akan mengecek penumpang dengan cara melibatkan sentuhan tangan pada tubuh penumpang.
Dalam proses pat-down screening ini petugas akan mengecek seluruh badan penumpang dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pengecekan termasuk di bagian tubuh yang sensitif, yang biasanya petugas akan menggunakan bagian punggung tangan untuk memeriksanya.
Sebenarnya pemeriksaan pat-down screening ini juga meliputi bagian penutup kepala, bagian sensitif seperti dada, pantat, dan paha. Hal ini untuk memastikan bahwa tak ada satu pun barang tersembunyi di dalam tubuh penumpang. Pada prakteknya juga, penumpang akan diminta untuk melepas sabuk pinggang, jam tangan, gelang; juga jaket dan sepatu.
Begitu juga dengan penutup kepala, seperti kerudung, kain penutup, peci, sorban, atau jenis lainnya pun wajib dilepas. Termasuk para wanita muslim yang berhijab juga diharuskan membuka hijab, niqab, maupun burka yang dipakainya.
Apabila dalam proses pemeriksaan ini penumpang merasa tidak nyaman karena harus melepas penutup kepala di depan umum, maka penumpang boleh meminta pemeriksaan di ruang khusus. Hal ini untuk menjaga kenyamanan penumpang agar tak merasa “ditelanjangi” di depan umum. Pemeriksaan di ruang khusus akan ditemani oleh petugas yang gendernya sama dan ruangannya pun tertutup.
Dalam menyikapi berbagai prosesi pemeriksaan keamanan di bandara, setiap orang tentu harus menaati segala aturan yang diterapkan. Prosesi tersebut pastinya diberlakukan untuk mengantisipasi adanya imigran asing yang membahayakan keamanan publik di negara tersebut. Ini menjadi tugas bagi para petugas bandara untuk melakukan pengecekan mendetail pada setiap penumpang yang akan masuk ke negara tersebut.
Sebagai seorang tamu yang datang ke negara orang, mungkin sudah sepantasnya untuk mengikuti aturan yang berlaku. Jika memang prosedur pemeriksaan mengharuskan adanya pelepasan jilbab atau penutup kepala lainnya, maka sudah sepantasnya sebagai pendatang kita ikuti aturan tersebut. Para penumpang boleh meminta ruangan khusus selama pemeriksaan dilakukan, sehingga tetap aman dari pandangan umum.
Lalu apa yang harus dilakukan jika para muslim yang mengenakan jilbab menerima perlakuan intimidatif dan diskriminatif dari penumpang lain yang sama-sama menggunakan penutup kepala? Hal ini pasti pernah terjadi pada muslim yang berjilbab.
Sebisa mungkin ikuti terlebih dahulu prosedur dari petugas bandara agar bisa segera keluar dari bandara. Pastikan bahwa kita sebagai penumpang tidak dalam posisi bersalah dan sudah memahami setiap aturan yang berlaku di bandara tersebut. Jika memang merasa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan, penumpang bisa melakukan pengaduan pada pihak yang berwenang. Salah satunya adalah Pihak Kedutaan Besar Indonesia yang ada di negara tersebut. Langkah ini akan lebih aman ditempuh dari pada harus terus berdebat dengan petugas imigrasi.