6 Fakta Suku Baduy yang Tak Semua Orang Tahu

Pengalaman luar biasa 2 hari tinggal di perkampungan Suku Baduy. Pengalaman yang tak akan bisa didapat di tempat lain.

SHARE :

Ditulis Oleh: Rani Suryatama

Hari ini, hari pertama saya berada di sini, di pedalaman Suku Baduy. Dan besok menjadi hari terakhirku. Karena setiap pengunjung hanya diberikan waktu paling lama 2 hari. Terkecuali untuk orang-orang yang sedang bertugas melakukan penelitian bisa mengantongi ijin hingga satu bulan.

Ada beberapa hal menarik mengenai Suku Baduy yang saya temukan selama di sini.

1. Deterjen pun salah satu kecanggihan teknologi yang ditolak

Baru saja saya akan masuk Baduy Dalam, saya diwanti-wanti untuk tidak membawa peralatan mandi yang sering saya pakai: pasta gigi, sabun, shampoo. Mereka sangat menghargai alam agar tidak tercemar oleh bahan kimia.

Untuk mandi, mereka memanfaatkan batang pohon honje sebagai sabun, sabut kelapa untuk sikat gigi, dan untuk mencuci mereka hanya menggosok-gosokkannya di batu sungai kemudian membilasnya dengan air.

Bandingkan dengan orang-orang zaman sekarang -termasuk saya, yang mengaku “modern” yang justru sangat tidak peduli dengan alam. Ironi memang.

2. Cuci kaki sebelum masuk rumah menjadi salah satu adat yang harus dipatuhi

Saya diberi kesempatan untuk tinggal di rumah salah satu warga. Rumah ini memang biasa digunakan untuk penginapan pengunjung.Rumah warga Baduy semua terbuat dari bambu, dinding, kerangka, rangka atap, semua dari bambu yang diambil dari sekitar lingkungan mereka.

Ketentuan dari leluhur mereka yang mewajibkan sukunya untuk tidak memakai alas kaki kemanapun pergi, benar-benar diikuti dengan baik oleh sukunya. Namun, ketika memasuki rumah, mereka akan selalu mencuci kakinya dengan air yang ditempatkan di sebuah wadah bambu -yang unik, wadah bambu ini diberi nama sesuai pemiliknya, di depan rumah mereka. Kemudian ia mengelap kakinya dengan kain berwarna biru kehitaman.

3. Baduy ternyata suka mie instan!

Mereka begitu terbuka dan ramah. Mereka menjamu kami dengan baik malam itu. Selain sepiring pisang rebus hangat, mereka juga menyuguhkan makan malam dengan menu mie instan. Mereka terlihat begitu menyukai mie instan dan menyantapnya tanpa sisa. Ternyata mie instan telah menjangkau seluruh elemen masyarakat, termasuk suku-suku tradisional.

4. Baduy adalah pejalan sejati

Dari sikapnya yang terkesan kaku dan kolot, ternyata suku baduy mampu bersosialisasi dengan orang luar. Malam itu, saya dan rombongan begitu antusias mendengarkan cerita salah seorang sesepuh di sini. Beliau mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar.

Ia menceritakan pengalamannya sewaktu muda dulu. Kala itu, keinginannya begitu kuat untuk mengetahui dunia luar selain baduy. Suatu hari ia bersama temannya nekat untuk berjalan berkeliling Bandung. Perjalanan itu mereka lalui selama 5 hari dengan berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Dia bercerita, awalnya mereka sempat kaget melihat dunia luar, dimana di matanya semua terlihat sangat cepat.

‘Semua orang seperti dikejar sesuatu, semua serba buru-buru. Bagi saya, itu tak bagus.’

Meski begitu, ia mengaku tak menyesal. Perjalanan kala itu memberi pandangan baru tentang dunia, hal berbeda yang tak pernah ia lihat di kampungnya.

5. Mereka tahu cara menghormati pemimpin 

Saya makin larut mendengarkan cerita sesepuh. Beliau bercerita di Kampung Baduy Dalam memiliki kepala suku atau disebut pu’un. Pu’un adalah orang yang memiliki “kelebihan” yang tidak biasa dimiliki orang baduy lainnya. Pu’un dapat menentukan kapan masa tanam dan masa panen dengan penerawangannya. Juga mampu mengobati orang sakit.

Bolehkah saya bertemu beliau?’ saya semakin tertarik untuk bertemu dengannya sekedar untuk berbincang.

Kamu hanya bisa berbincang dengannya kalau kamu memiliki tujuan. Seperti keluhan kesehatan, ingin mendapatkan perkerjaan, atau bahkan jodoh. Tapi jangan sekali-kali kau merokok di depannya. Itu pantang.’

Saya pun tidak merokok sesepuh,’ saya tertawa kecil, diikuti oleh sesepuh.

6. Siti Nurbaya di Baduy

Kalau di luar sana pernikahan menyangkut cinta, tidak dengan di sini. Pernikahan berasal dari sebuah penjodohan. Tidak ada yang menolak sebuah perjodohan,’ sesepuh melanjutkan ceritanya.

Kalau kita tidak menyukai seseorang yang dijodohkan bagaimana?’ saya penasaran.

Ya, pendam saja di dalam hati.’

Sesepuh menjelaskan bahwa meski bagi orang luar hal tersebut nampak tak adil, tapi menurutnya mereka tetap bisa hidup bahagia. Mereka jarang berselisih paham karena mereka begitu saling menerima kekurangan maupun kelebihan pasangannya masing-masing.

****

Suatu hari, pasti saya akan sangat merindukan suasana baduy dengan segala ketenangannya. Di sini saya bisa merasakan hidup yang “berbeda”. Saling berbincang, bergotong royong, bermain dengan alam tanpa perlu update status untuk diketahui banyak orang. Secara tak langsung mereka mengajarkan bahwa bahagia itu sangat sederhana.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU