Fahmi Anhar: "Menulislah, Karena Goresan Tinta Lebih Kuat dari Ingatan Manusia"

Wawancara dengan Fahmi Anhar, seorang travel blogger pemilik Fahmianhar.com . Niat awalnya menulis sederhana, tak menyangka akan sukses seperti sekarang.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Kawasan Corniche, Abu Dhabi. Foto oleh Fahmi Anhar

Sore itu, menjelang berbuka puasa, saya berkesempatan mengobrol santai dengan Fahmi Anhar, seorang travel blogger pemilik blog Fahmianhar.com. Kami mengobrol banyak, tentang tips perjalanan, penulisan blog, kehidupan, dan juga kematian.

 

*Keterangan: S = Shabara, F = Fahmi Anhar

S: Tolong deskripsikan dalam beberapa kalimat, siapakah Fahmi Anhar?

F: Nama saya Fahmi Anhar, saya seorang travel blogger Fahmianhar.com, asli Magelang. Sekarang hidup di Semarang, bekerja di salah satu bank swasta bidang CSR. Saya juga aktif di sebuah organisasi bernama #saveshark Indonesia, sebuah komunitas yang fokus tentang penyelamatan hiu dari kepunahan.

 

S: Bisa diceritakan, kapan pertama kali traveling?

F: Saya suka jalan sejak kecil ya, suka kelayapan haha Tapi kalau traveling yang benar-benar traveling, sejak zaman kuliah. Main ke pantai, dekat-dekat saja, sekitar Jawa Tengah, Jawa Timur. Kalau mulai solo traveling, saya pertama kali ke Singapura, tahun 2010. Saat itu lagi ramai-ramainya tiket promo dari salah satu maskapai LCC. Saya kan suka baca-baca artikel-artikel traveling, katanya kalau mau belajar  solo traveling ke luar negeri, Singapura yang paling direkomendasikan, dan ternyata memang seru banget di sana. Setelah itu ketagihan, penasaran kan kalau negara lain seperti apa, juga daerah-daerah lain di Indonesia seperti apa, dari situlah saya mulai rutin traveling.

 

S: Apa pengalaman paling tidak terlupakan saat traveling?

F: Ada beberapa, salah satunya saat eksplor NTT, sekitar perairan Pulau Kalong, Desember 2012.  Kami berhenti di dekat sebuah pulau tak berpenghuni yang isinya hutan bakau lebat. Sekitar kita gugusan pulau Komodo yang mulai gersang, semilir angin pantai sangat terasa, suasana begitu sepi. Tiba-tiba kawanan kelelawar besar terbang muncul dari hutan bakau, sangat banyak, dengan latar warna langit yang semburat merah karena matahari terbenam. Kami yang saat itu ber-5 tiduran menghadap langit, cuma bisa diam melihat pemandangan seperti itu. Tak terasa air mata menetes. Saat itu saya merasa benar-benar kecil di hadapan alam, seperti diingatkan kembali oleh Yang Maha Kuasa, hakikat kita sebagai manusia.

Foto oleh Fahmi Anhar

Lalu ada lagi yang paling seru, saat pertama kali diving di Selat Pantar, Alor. Karena waktu itu belum dapat lisensi jadi cuma bisa discovery. Jarak pandang saat itu 25 meter, dan kondisi perairan di Selat Pantar itu masih sangat bagus, airnya jernih, biota lautnya warna-warni, saya cuma bisa dengar suara gelembung saya sendiri. Saya seperti melihat sekumpulan alien, karena makhluk-makhluknya benar-benar berbeda di bawah sana. Perasaan saat itu campur aduk, takjub, terharu, nggak kebayang ada makhluk-makhluk seperti ini di dunia. Sekali lagi di situ saya merasa sangat kecil di hadapan-Nya.

 

S: Destinasi yang harus kamu kunjungi lagi suatu saat nanti? Kenapa?

F: Alor di NTT. Saya cinta sama Alor karena, satu, keramahan masyarakatnya. Padahal kalau sekilas dilihat, garis muka orang-orang sana kan keras ya, tapi mereka sangat murah senyum. Ibarat kata, di sana saya samasekali tak merasa takut tersesat karena masyarakatnya sangat terbuka dan ramah. Mereka pasti akan dengan senang hati membantu saya. Selain itu saat saya ke sana dulu, saya belum puas menyatu dengan masyarakat adatnya, seperti Takpala atau desa-desa adat lainnya yang unik di sana. Pengen nari bareng di sana, rangkulan, ngunyah sirih bareng, intinya menyatu dengan masyarakat adatnya. Saya juga ingin borong madu hutannya lagi! Haha. Waktu itu saya sempat borong juga 1 jerigen, dan ketagihan. Di sana madu hutannya benar-benar murni dan murah banget, satu botol berukuran 600ml itu harganya hanya Rp 25.000,-. Pokoknya sudah saya niatkan kalau kembali kesana, wajib borong madu hutannya lagi.

Lalu alasan yang terakhir, ingin balik ke Alor karena saya ingin melihat langsung fenomena arus dingin. Arus dingin ini datang dari selatan, Samudera Hindia. Ia ini mengalir ke daerah khatulistiwa melalui bawah laut, dan ini biasanya terjadi pada bulan-bulan tertentu seperti Desember-Januari. Saat fenomena ini, ikan-ikan itu mabuk, mereka pingsan dan mengambang. Jadi nelayan-nelayan di sana itu tinggal ambil aja langsung dengan gampangnya.  Nah, yang paling menakjubkan adalah, saat fenomena arus dingin ini rombongan paus orca melewati Selat Pantar untuk bermigrasi ke daerah utara yang lebih hangat. Kalau dibayangkan benar-benar luar biasa! Karena itulah saya ingin kembali ke Alor karena saat itu belum sempat melihat fenomena itu.

Diving spot Pulau Pura, Alor. Foto oleh Fahmi Anhar

 

S: Kalau tempat yang sangat ingin didatangi tapi sampai sekarang belum kesampaian?

F: Kalau domestik saya sangat ingin ke Danau Labuan Cermin,  di Berau Kalimantan Timur. Itu airnya jernih banget. Selain itu, saya ingin ke Medan dan Aceh, ingin wisata kuliner -makanan di sana menurut saya nggak ada yang nggak enak, lalu pengen juga bersantai di Weh. Kalau luar negeri saya ingin ke Iran, arsitekturnya luar biasa. Saya sangat kagum dengan arsitektur mereka dari dulu. Lalu saya juga ingin ke Granada sama Maroko, lalu ke Perito Moreno glacier di Argentina, saya ingin ke sana sebelum mencair.

Pireto Moreno Glacier, Argentina. Foto oleh Maria Jose Barciela

 

S: Apa sih, alasan kamu mulai menuliskan perjalananmu di blog?

Gerbang utama Istana Nurul Iman, Brunei. Foto oleh Fahmi Anhar

F: Awalnya niat saya sangat sederhana, cuma ingin mendokumentasikan perjalanan yang saya lakukan, karena “goresan tinta itu lebih kuat dari ingatan manusia”. Seiring berjalannya waktu, saya merasa apa yang sampaikan di blog saya ini bermanfaat bagi orang lain.

Ada yang menarik, saat itu saya posting tulisan tentang Brunei, lalu ada pembaca komentar di situ, ‘ada teman nggak di Brunei? saya berniat jalan-jalan ke sana‘. Saya bingung saat itu, saya memang ada teman di sana, tapi sudah nggak bisa menghubungi dia lagi. Nah, tiba-tiba ada orang lain balas komentar orang tadi, dia mengaku orang asli Brunei. Dia bilang gini, ‘Nama saya Mamad, saya polisi di sini, jika anda butuh bantuan selama di sini, silakan hubungi nomor saya.’ Dia memberikan nomor handphonenya saat itu.  Saya pribadi sempat ragu, orang pertama yang tadi menanyakan tentang teman dari Brunei langsung saya hubungi via email, saya bilang, saya nggak berani menjamin benar nggaknya. Tapi ternyata, setelah beberapa kali mereka saling berhubungan, orang tersebut memang orang asli Brunei yang berniat membantu, bahkan di bandara orang yang tadi di jemput, diajak keliling kota gratis. Lalu setelah pulang ke Indonesia dia pamer ke saya kalau disana dia foto bareng Mamad. Senang rasanya kalau tulisan saya bisa berguna bagi orang lain.

Lihat juga: Video tips travel blogging oleh Fahmi Anhar

 

S: Belum lama ini dengar-dengar baru menerbitkan buku, bisa ceritakan sedikit nggak tentang bukunya?

F: Jadi buku ini judulnya “Menghirup Dunia” antologi 6 penulis. Semuanya travel blogger. Jadi kami ingin membuat buku tentang perjalanan yang tak biasa. Bukan tentang bagaimana cara ke suatu tempat dan segala macam, tapi lebih pada apa yang kita dapatkan setelah traveling. Dalam perjalanan, kita pasti bertemu berbagai macam tipe orang, namun kadang kita tidak terlalu memperhatikannya. Kadang kita suka meremehkan tukang becak, meremehkan pramugari, meremehkan petugas imigrasi, meremehkan pemilik homestay, padahal kalau kita mau meluangkan sedikit waktu kita untuk berbincang dengan mereka kita akan banyak mendapatkan pelajaran hidup yang mungkin nggak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sudut pandang lain dari sisi mereka.

Saya belajar tentang sebuah kematian dari seorang yang duduk di sebelah saya saat saya naik sleeper bus dari Siem Reap ke Phnom Penh. Namanya Kim, orang lokal. Saya perhatikan ia terus duduk diam termenung memandangi jendela. Saya beranikan diri mengajak berbincang. Ia bercerita bahwa ia berasal dari salah satu distrik di Phnom Penh, ia harus pulang malam itu juga karena mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Ia bercerita dengan muka sendu, jika selama hidupnya, hubungan dia dengan ayahnya kurang bagus. Saat pulang ke rumah, ia sempat bertengkar dengan ayahnya karena masalah perbedaan prinsip. Ternyata setelah itu, ia mendapat kabar dari adiknya kalau ayahnya jatuh sakit beberapa saat setelah dirinya meninggalkan rumah. Seminggu kemudian ayahnya meninggal. Kim sangat menyesal karena mereka berpisah dalam kondisi seperti itu, kondisi ia belum sempat minta maaf pada ayahnya.

Saat itu juga saya langsung teringat pada bapak di rumah. Saya merenung dan baru benar-benar sadar arti kehangatan keluarga itu saat kita berada jauh dari rumah. Saya berpikir, apa jadinya jika saat saya sedang jauh dari rumah, dan di rumah terjadi sesuatu.

Kisah tentang Kim tadi merupakan salah satu contoh cerita di buku “Menghirup Dunia”. Masih ada 17 cerita menarik lainnya.

 

S: Apa yang kamu lakukan untuk mengatasi kejenuhan saat menulis?

Foto oleh Foodadvisor

F: Berhenti, bikin kopi susu, kalau ada pisang ya bikin pisang goreng karena kopi susu sama kopi pisang goreng itu paling klop untuk saya, lalu minumnya di teras, atau berenang, atau melihat yang hijau, atau baca buku, intinya menyegarkan badan dan pikiran. Biasanya setelah itu langsung ada inspirasi lain lagi.

 

S: Ada tips untuk orang-orang yang baru mengawali travel blogging?

F: Rajin menulis, terus menulis dan menulis. Jangan pernah lelah berlatih. Saya sendiri belum bisa nulis bagus, tulisan saya masih acak-acakan, tapi saya ingin belajar. Selain itu, yang penting lagi adalah rasa percaya diri. Abaikan kritik-kritik atau komentar yang tidak membangun. Terakhir, menulislah dengan gayamu sendiri, karena itu yang akan membuatmu berbeda dengan orang lain.

 

S: Setelah melakukan berbagai macam perjalanan, apa sih yang kamu dapatkan?

Dubai Miracle Garden, taman bunga di tengah gurun. Foto oleh Fahmi Anhar

F: Makna keluarga. Saya benar-benar merasakan keluarga begitu berarti. Dari kecil sampai SMA hidup di rumah dengan orang tua ya biasa saja. Lalu saya bosan, ingin melihat dunia luar. Saya baru sadar, semua yang dulu orang tua ajarkan pada saya baru terasa ketika saya jauh dari keluarga. Semata-mata kedua orang tua saya hanya ingin menjadikan saya manusia yang baik. Maka syukurilah untuk yang masih punya keluarga lengkap, coba kapan terakhir kali kamu meluk ibu, meluk bapak? Jadi itu, hobi traveling ini benar-benar membuat saya paham pentingnya makna keluarga dalam hidup.

***

Kami mengakhiri obrolan kami karena hari yang makin larut. Perbincangan dengan Fahmi Anhar mengingatkan saya pada tulisan Darwis Tere Liye saat ditanya penggemarnya di Facebook, apa makna traveling baginya. Ia menjawab bahwa makna traveling pada dasarnya bukan untuk mendapat hal baru ataupun kenalan baru, karena tanpa traveling-pun kita bisa mendapatkan itu, makna traveling adalah untuk mengenal diri kita lebih baik, dan juga agar kita dapat memaknai orang-orang berharga yang biasanya berada di dekat kita.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU