Ekspektasi Vs Realita Warga Indonesia tentang Australia

Seperti inikah ekspektasi sebagian warga indonesia tentang Australia? lalu bagaimana realitanya?

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Saya -salah satu dari 250 juta jiwa populasi Indonesia- pertama kalinya melihat benua sekaligus negara yang berpopulasi 23 juta jiwa ini pada Mei 2015. Saat berdiri di pintu pesawat yang mendarat di Melbourne Airport, semenjak itulah saya mulai mengamati Negeri Kanguru dengan mengusung sejumlah ekspektasi -yang saya pikir juga menjadi ekspektasi orang Indonesia yang belum pernah berkunjung langsung ke negeri ini.

 

1. Perlakuan buruk terhadap warga Indonesia karena masalah hukuman mati

Pria asal Kota Ballarat, Victoria, dengan senang mau berbicara dan berpose bareng teman-teman saya dari Indonesia. Foto oleh Makmur Dimila

Hal pertama yang tak ingin saya alami di Australia ialah dicibir warganya. Saya datang ke sana sebulan usai eksekusi hukuman mati terhadap dua warga Aussie tersangkut kasus narkoba.

Pengunjung Indonesia akan ditahan visanya, kabar itu yang saya dengar  beberapa hari sebelum berangkat. Syukurnya visa saya baru saja selesai. Pun, was-was melanda saat tiba di bandara internasional Melbourne Airport. Saya takut pihak bandara akan mempersulit. Tapi saya dan teman perjalanan mulus-mulus saja melalui pemeriksaan bandara.

“Oh, jangan khawatir. Persoalan hukuman mati itu tak pengaruhi hubungan warga Indonesia dengan kami di sini,” respon seorang Australia saat tahu saya asal Indonesia.

Saya tinggal sementara di Melbourne. Sebagai kota yang multikultural, mereka menyapa jika tak sengaja kami saling bertatap muka. Beragamnya karakter wajah dari berbagai ras di muka bumi  membuat saya merasa tak sendirian di tempat ini.

 

2. Maraknya islamphobia

Mahasiswi doktoral asal Aceh memberikan kuliah umum tentang peran muslimah Aceh pemimpin pesantren di Melbourne University. Foto oleh Makmur Dimila

Saya khawatir soal beribadah saat ke Aussie. Islam bukan agama mayoritas di Aussie. Muncul dugaan jika mereka menyulitkan muslim yang datang ke dan tinggal di sana. Akhir tahun 2014 saya tersentuh dengan sebuah video berjudul “Muslim Hate in Australia”.

Seorang perempuan berpakaian muslimah yang hanya menampakkan wajahnya dihampiri pria. Pemuda itu menanyakannya alasan berpakaian yang tak seperti warga Australia, apa tak merasa panas? Dia bahkan mengajak orang-orang yang tengah lewat untuk komentari penampilannya. Namun pejalan justru nasehati pemuda itu agar tak mengganggu perempuan muslim tersebut.

“Itu bagian dari agamanya,” sahut seorang pria.

Namun si pemuda tetap berusaha memengaruhi orang lain agar menyudutkan si perempuan muslim. Tapi, para pejalan Australia lagi-lagi mengingatkan agar ia tak mengusik perempuan itu.

“Lihat! Perempuan itu tak seperti orang Australia,” si pemuda mengajak bicara dengan seorang pejalan Aussie.

“Kamu yang bukan orang Australia,” balas pejalan itu dengan cepat.

“Saya orang Australia,” sanggah si pemuda.

“Tapi sikapmu tidak seperti orang Australiam” balas pejalan lagi.

Dari sekian banyak orang Australia yang diuji oleh pemuda itu, hampir 80 % pejalan kaki membela korban. Bahkan ada yang memaki-maki si pemuda. Video itu dibuat dengan kamera tersembunyi sebagai sebuah eksperimen sosial, bahwa tak ada islamphobia di Aussie.

Itu fakta. Saya benar-benar merasakannya selama di Victoria. Selain selalu diizinkan untuk ke masjid ketika saya mengikuti pelatihan, saya pun aman ketika salat di taman terbuka; begitu pun muslim lain melakukan hal yang sama. Realitanya, hampir semua orang di sini sangat menghargai kepercayaan masing-masing warganya.

Baca ini, 10 sisi lain Australia yang ditangkap menggunakan lensa kamera smartphone, yang belum banyak diketahui orang!

3. Salju dimana-mana!

Warga Melbourne bersantai di sebuah taman kota sebelum tiba puncaknya musim dingin. Foto oleh Makmur Dimila

Kawan-kawan di tempat asal saya berpesan agar saya menuliskan nama mereka di tumpukan salju. Saya kira benar-benar akan disambut butiran salju saat tiba di Melbourne. Tapi hingga memasuki puncak musim dingin di awal Juni, tak ada sebutir salju pun turun ke kota-kota di Australia. Kecuali harus ke tempat-tempat khusus seperti kaki Gunung Buffalo (Victoria) dan Gunung Kosciuszko (New South Wales/NSW). Salju juga turun di lereng gunung dalam kawasan negara bagian lainnya, seperti Tasmania, Australia Selatan, Australia Barat, bahkan di Queensland negara bagian terhangat.

Namun bisa saja saya yang kurang beruntung karena saya dapat kabar setelah kembali ke Indonesia,  butiran salju menerpa sebagian Kota Canberra pada awal Agustus lalu.

 

4. Semua tempat di Australia sangat dingin

Gerombolan domba merumput di daerah Albury-Wodonga, New South Wales. Foto oleh Makmur Dimila

Realitanya tak semua wilayah mengalami suhu dingin saat musim dingin. Penduduk di separuh kawasan Australia berkeringat karena panasnya suhu cuaca ketika separuhnya lagi mulai menggigil kedinginan. Cuaca di Darwin yang dekat dengan laut Timor Leste memiliki suhu 30 derajat C saat saya di Melbourne harus mengenakan pakaian berlapis-lapis demi menahan dingin.

Pagi dan malam di Australia tak terlewatkan oleh rutinitas menunggu perkiraan cuaca di stasiun televisi, yang ditayangkan sejam sekali. Di peta terlihat awan dengan matahari bersinar menggantung di separuh ke atas benua, sedangkan awan berwarna gelap atau bertetes hujan menggayut di separuh ke bawah.

Darwin yang masuk dalam wilayah Northen Territory bersama Australia Barat dan Queensland terletak di separuh atas. Mereka selalu cenderung bercuaca hangat dibanding negara-negara bagian yang ada di bawah mereka, tempat saya tinggal di Victoria bersama New South Wales, Australian Capital Territory, Tasmania, dan Australia Selatan. Kondisi ini mungkin berubah ketika saya telah pulang dari sana pada awal Juni.

 

5. Semua kota penuh dengan hingar bingar

Panorama Kota Canberra dari pucak Gedung Parliament House of Australia. Foto oleh Makmur Dimila

Realitanya tak seperti itu. Ketika meninggalkan kosmopolitan Melbourne, saya mendapati Canberra berbeda sekali dengan ekspektasi saya. Sebagai ibukota negara administratif, kota ini sepi dan serius. Berbanding terbalik dengan Melbourne yang ramai dan menghibur. Ia kota buatan yang dibangun di atas dataran tinggi, di antara bukit-bukit yang menjulang. Jarang sekali terlihat gedung-gedung pencakar langit sebagaimana kota besar lainnya.

Canberra adalah kota yang cocok bagi pelajar yang serius menempuh pendidikan, khususnya politik. Tapi bila ingin menikmati keberagaman dan hiruk-pikuk kehidupan, tinggallah di Melbourne. Dan terbanglah ke Sydney (NSW) jika hendak melihat pusat industri di tepi laut ini.

Baca ini, cerita perjalanan tentang kawanan camar perak, teman setia selama 5 minggu berada di Australia

6. Sebagai penganut budaya barat, merokok adalah biasa

Salah satu jenis rokok yang beredar di Melbourne. Kemasannya memberikan peringatan yang jelas akan dampak merokok. Foto oleh Makmur Dimila

Negeri Kanguru neraka bagi pecandu rokok. Kamu akan kesulitan merokok. Harus keluar dari fasilitas publik atau masuk ke ruang khusus merokok. Di Melbourne University misalnya saya lihat, mahasiswa yang mau merokok masuk ke bilik-bilik kecil terbuat dari kaca yang ada di taman. Tentu kena denda jika langgar peraturan. Harga rokok per bungkus pun mahal, mencapai 17-25 Australian Dollar/AUD (sekitar 200-300 ribu rupiah). Kawan saya yang candu rokok banyak habiskan uang sakunya untuk beli rokok. Kemasan rokok juga bikin mata saya terbelalak. Dibungkus foto seorang pria yang meninggal kena kanker paru-paru akibat merokok, jelas biodatanya dan lengkap dengan foto sebelum dan sesudah ia meninggal.

Selain itu, Australia sangat menjaga lingkungannya. Sekali dalam seminggu, tempat-tempat sampah yang diletakkan penghuni rumah atau gedung di halaman, akan dikutip oleh petugas kebersihan. Lain suburb—semacam kotamadya—lain pula hari pengambilan sampahnya.

Untuk menyadarkan orang bertanggungjawab atas sampahnya, dibentuk organisasi Keep Australia Beautiful dan Clean Up Australia, yang mendorong individu, perusahaan, juga pemerintahan untuk mengurangi hasilkan sampah.

Menariknya saat saya ke kampus lingkungan hidup, Charles Sturt University di NSW, saya diperlihatkan sistem pembuangan sampah ramah lingkungan: sistem kompos. Di dalam WC misalnya, saya bisa menjenguk saluran pembuangan yang dalam. Untuk buang air, bisa jongkok atau berdiri. Disediakan ember berisi serbuk gergaji. Itulah yang dipakai untuk membersihkan, bukan tisu, sehingga ikut mengurangi penebangan pohon.

Air bersih juga tersedia di fasilitas publik Aussie. Setiap orang bebas meminumnya bahkan pemerintah dapat digugat bila ada yang sakit gegara konsumsi air itu. Di taman, bandara, atau ruang-ruang terbuka yang sediakan kran air, silakan diteguk.

 

7. Sepakbola sangat populer di sana

Tampak jauh Melbourne Cricket Ground dari Jembatan
Princes di atas Sungai Yarra. Stadion berkapasitas 100 ribu orang ini dijadakan venue even olahraga internasional, baik football, soccer, cricket, maupun rugby. Foto oleh Makmur Dimila

Tim Cahill, Harry Kewell, Mark Viduka, dan Mark Schwarzer. Nama-nama ini pasti dikenal pecinta Liga Premier Inggris. Mereka pemain bintang di timnas Australia pada Piala Dunia 2006 dan 2010 dan memperkuat klub sepakbola English Premier League.

Saya pikir pada awalnya, sepakbola adalah olahraga favorit di Aussie. Nyatanya, saya tak jumpai anak-anak latihan bola di lapangan hijau di Victoria. Melainkan bocah-bocah dibantu pria dewasa menendang bola lonjong ke gawang lebar tinggi. Bahwa sepakbola yang di Aussie dikenal dengan nama ‘soccer’ berada di bawah football, rugby, dan cricket.

Football paling populer, yaitu sepakbola lonjong dengan lapangan lebih luas dan gawang yang lebar tinggi. Di setiap sudut kota saya amati, jumlah lapangan football yang dalam bahasa slang orang Aussie mengucap ‘footie’ ini sebanyak lapangan bola kaki yang saya temui jika bepergian di Indonesia. Yang membuat saya salut, meski tak populer di negaranya, prestasi ‘soccer’ mereka masih jauh lebih baik dibanding dengan sejarah sepakbola Indonesia yang begitu populer dan merakyat.

 

8. Pemeriksaan di bandara akan menyulitkan kita membawa barang keluar dari Australia

Ruang tunggu keberangkatan di Melbourne Airport. Bagian TRS dapat dijumpai setelah melewati semua pos pemeriksaan. Foto oleh Makmur Dimila

Suatu kali saya datangi toko secondhand (barang bekas) khusus produk Apple di Melbourne. Maxx City. Dipajang beragam model iPhone dan Mac. Saya tertarik menggaet Mackbook Air 2012 yang dibanderol 720 AUD, sekitar 8 juta rupiah.

“Saat ke Melbourne Airport nanti, tunjukkan faktur ini di bagian TRS (Tourist Refund Scheme), kamu bisa dapat biaya refund 10 persen,” ujar penjual begitu saya menerima barang.

Benarkah? Sangat benar. Sewaktu akan pulang ke Indonesia, saya menuju bagian yang dimaksud. Petugas melihat barang saya dan minta faktur (tax invoice) pembelian.

Karena saat itu saya belum punya Credit Card, dia minta alamat saya di Indonesia untuk pengiriman cek via ekspedisi.

Momen matahari terbenam di Pantai St Kilda memberi banyak kenangan, dan juga cerita sebagia oleh-oleh. Baca di sini.

Ada peraturan bahwa membeli dan membawa keluar barang-barang dengan harga di atas 300 AUD dari Australia ternyata tak dikenakan pajak, justru mendapat persentase biaya kembali (refund) yang diberikan penjual dan bisa diambil pada bagian TRS di bandara internasional. Namun tak berlaku untuk barang-barang berbahaya. Bisa cek di sini.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU