Sudah beberapa kali saya datang ke tempat ini sejak saya kecil bersama dengan ayah saya, tapi baru akhir-akhir ini terlintas pertanyaan besar. Satu titik yang membuat saya penasaran adalah penjaja yang tak lain menjajakan pernak-pernik gantungan kunci bertuliskan icon pariwisata tersebut, tas handmade yang terbuat dari eceng gondok, alasa kaki, topi, dan lain sebagainya. Tak hanya membuat saya penasaran tapi menarik langkah saya untuk menghampiri lapaknya yang tak seberapa besar. Dengan alibi melihat barang-barang yang dijajakan, saya sempat mencuri-curi pandang kearah beberapa pedagang dan pelanggannya yang tak sedikit adalah turis asing.
Sebenarnya saya juga nggak ngerti dengan apa yang mereka bicarakan. Tapi jika melihat gesture dan mendengar intonasi bicaranya, sepertinya mereka sedang melakukan kegiatan negosiasi, alias tawar menawar. Bukan berapa besarnya harga barang yang ditawar yang membuat saya tertarik, tetapi bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Para pedagang sangat fasih berbagasa Arab dan Inggris, dalam ilmu bahasa disebut dwibahasa, yaitu penggunaan dua bahasa secara aktif.
Arab adalah bahasa yang digunakan para pedagang dalam merayu pelanggan untuk membeli produknya. Yang saya herankan bagaimana seorang pedagang dapat berbahasa Inggris dan Arab dengan begitu fasihnya. Apakan sebelumnya mereka menempuh pendidikan nonformal seperti kursus terlebih dahulu? Benar-benar keren cara mereka beretorika. Memang saya akui, mayoritas turis asing yang saya lihat sebagian besar berasal dari kebangsaan Arab. Entah apa yang mendasari masyarakat dari bangsa mereka sangat gemar mengunjungi “rumah kami”. Buktinya, tiap kali saya datang ke sini dari waktu saya kecil hingga duduk di bangku kuliah selalu yang saya lihat mayoritas turis berkebangsaan Arab. Dulu, saya hanya menerima mentah-mentah dari apa yang saya lihat. Tapi, enggak lah kalau sekarang, saya berusaha mencari tahu mengapa warga negara berkebangsaan Arab hobi main ke “rumah kita” ini.
Jadi ceritanya, secara kebetulan saya menemukan dan akhirnya memutuskan untuk membaca sebuah novel yang saya beli di toko buku daerah Padjajaran, Bogor, judulnya “Kedai 1001 Mimpi”. Awalnya saya pikir itu adalah buku motivasi yang dituangkan dalam bentuk cerita fiksi. Tidak terduga ternyata isi dari novel tersebut adalah jawaban dari apa yang saya cari tentang alasan mengapa warga negara Arab gemar berwisata di area Bogor.
Novel tersebut berisi kumpulan fakta dan pengalaman pribadi seorang penulis yang mencari inspirasi, sehingga ia melakukan research ke negara Arab dan ia berperan sebagai seorang barista dari salah satu kedai kopi, dari pekerjaannya itulah ia mendapat berbagai fakta mengenai kebiasaan, karakter, pandangan orang Arab terhadap orang Indonesia, termasuk alasan mereka datang berwisata ke negara kita. Yah, memang agak mengejutkan setelah tau alasan mereka datang, mungkin kamu juga bisa kaget jika membacanya sendiri.
Terlepas dari alasan mereka gemar berwisata ke negara kita, saya salut terhadap warga sekitar Cipanas, mereka mampu membaca potensi wisata yang telah berkembang dan telah dijamah oleh turis asing. Sesuai dengan pandangan negara-negara lain di luar sana, bahwa kita adalah negeri dengan penduduk yang ramah dan murah senyum. Nah, itulah yang sedang mereka, warga Cipanas terapkan. Bukan serta merta turis asing yang berkunjung dan merekalah yang harus paham bahasa kita, tetapi justru para pedagang dan warga setempatlah yang belajar dan belajar untuk bisa berkomunikasi dengan para turis asing.
Setelah iseng-iseng bertanya kepada salah satu pedagang pernak pernik, akhirnya saya pun mendapat jawaban dari pertanyaan yang ada dibenak saya. Ternyata sejak kecil warga sekitar tempat wisata di daerah Cipanas memang sudah dilatih dan dituntut untuk bisa berbahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Arab. Biasanya hampir di sekolah-sekolah ada mata pelajaran tambahan atau biasa disebut muatan lokal bahasa Arab dan pelajaran tersebut berlangsung dari bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Lalu? Apakan semua pedagang dan warga menempuh pendidikan formal hingga sekolah menengah atas? Bagaimana dengan yang pendidikannya kurang dari itu? tenang saja, mereka semua tidak pelit ilmu, banyak pemuda-pemuda yang mengajarkan bahasa Arab, terlebih hampir setiap hari lokasi mereka dikunjungi oleh turis asing terutama Arab. Mau tidak mau warga tersebut akan belajar dan membiasakan diri berbahasa Arab karena dengan berbahasa Arab mereka dapat berwiraswasta, mereka mendapat mata pencaharian, mereka dapat menghidupi keluarga. Jika melihat usaha mereka untuk belajar dan berlatih bahasa baru, mungkin klausa “bisa karena terbiasa” adalah gambarannya. Kalau kata urang Sunda, “iasa margi biasa”, kalau kata wong Jowo, “sangguh amargi biyasa”. Kalimat itulah yang mungkin sesuai dengan mereka, para pedagang berdwibahasa. Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa dengan bahasa kita berdaya.