Tentu kamu sudah familiar dengan suku Sunda. Bagian dari Pulau Jawa, tetapi tidak pernah disebut-sebut sebagai orang Jawa. Berbeda suku, tentu berbeda juga budaya dan tradisinya. Suku Jawa sendiri memiliki beragam tradisi yang berbeda. Mata saya terbuka ketika merantau ke tanah Jawa. Satu suku, beragam adat dan dialek.
Sangat kontras berbeda jika saya amati beberapa teman yang berasal dari Solo dengan Banyumasan. Bahasa menjadi ciri khas yang paling mencolok walaupun mengacu dalam satu bahasa, yakni bahasa Jawa.
Hal serupa juga berlaku di Sunda yang memiliki beragam kekayaan tradisi unik dan mungkin tidak ditemukan apabila kamu melancong ke daerah lain.
Hampir 4 tahun lebih saya merantau ke tanah Jawa, perasaan rindu mulai terasa terhadap suasana kampung halaman yang pekat dengan tradisi-tradisi dan dialek Sunda. Saking rindunya dengan suasana beserta karakter masyarakatnya, jika bertemu dengan sesama perantau dari Sunda, saya seperti menemukan mutiara di tengah pasir.
Ada beberapa aspek yang mungkin terdengar sepele, tapi cukup untuk membuat saya rindu tanah Sunda karena hal-hal tersebut memang hanya ada di sana;
“Siapa bilang urang Sunda gak bisa ngomong F? PITNAH!” tentu kalian sudah familiar dengan dagelan-dagelan seperti itu di sosial media. Ini adalah stereotip yang benar-benar melekat dalam diri USA (Urang Sunda Asli). Percayalah, kami bisa mengucapkan konsonan “F”, hanya saja sudah menjadi kebiasaan menggantinya dengan konsonan “P”, itulah “pakta” yang sebenarnya.
Kami adalah orang yang simple dan tidak mau ribet dan kami suka dengan sesuatu yang mudah diucapkan, misalnya; “colenak” yang artinya dicocol enak, “cilok” aci dicolok, “combro”, oncom di jero.
Bagi kamu yang bukan atau tidak pernah ke Sunda, mungkin kamu asing dengan kata ini. Papaharean adalah ajang untuk saling bersilaturahmi dan mengakrabkan satu sama lain.
Papahare sendiri sederhananya merupakan ajang berkumpul, biasanya kami membawa makanan yang saling melengkapi satu sama lain. Misal; saya membawa sayur, si A membawa lauk, dan si B membawa nasi, kemudian kami mekan bersama-sama sembari bercengkrama.
Sempat tergelitik ketika mendengar perkataan dan ekspresi heran teman saya yang berasal dari Purbalingga, “Ini untuk dimakan?” ucapnya.
Dia tampak keheranan dengan masakan yang dihidangkan di rumah saya. Pasalnya, masakan Sunda terkenal dengan varian lalapan yang mungkin tak lazim bagi orang yang tidak biasa. Seperti daun jambu muda, terong mentah, daun popohan, pete mentah, dan kacang panjang mentah yang dinikmati bersama nasi hangat, ikan asin, ayam goreng, dan tentunya sambal.
Apabila kamu berkunjung ke tanah Sunda, jangan segan dan takut untuk menyapa masyarakat lokal. Dijamin, kamu akan mendapatkan balasan yang setimpal, urang Sunda asli memang terkenal ramah, menyapa satu kata, kamu bisa mendapatkan bonus senyuman hangat.
Seandainya kamu sedang berbincang dengan urang Sunda atau minimal melihat urang Sunda berbicara, cobalah hitung, berapa kali urang Sunda mengucapkan kata “mah” dan “teh”.
Jika Sulawesi punya suku Mandar dan Toraja, Kalimantan punya suku Dayak, maka Sunda punya suku Baduy. Keunikan dari suku berdarah Sunda asli ini di bagi menjadi dua; Baduy Dalam yang lebih tertutup dan kental dengan adat nenek moyang, serta Baduy luar yang lebih fleksibel. Jika penasaran, kamu bisa mengunjungi suku tersebutm dijamin kamu akan memperoleh pelajaran yang tak ditemukan di pendidikan formal.
Salah satu yang membuat saya rindu adalah alunan alat musik yang sangat khas. Uniknya, satu jenis musik dimainkan menggunakan suling dengan kolaborasi alat musik lain yang berbeda seperrti musik “caling”, terdiri dari alat musik kecapi dan suling, “tarling”, terdiri dari gitar dan suling.
Suling bambu memang salah satu alat yang khas selain kecapi, biasanya di sekolah dasar, suling bambu menjadi mata pelajaran muatan lokal, satu lagi yang tak ketinggalan adalah alat musik angklung yang eksistensinya sudah merambah ke dunia internasional.
Boneka kayu berwarna merah, itulah icon yang menggabarkan wujud dari Cepot, si wayang golek yang hanya ada di Jawa Barat. Pertunjukan wayang golek biasanya ditampilkan dengan bumbu-bumbu humor kritis yang menggelitik, itulah sebabnya hingga saat ini saya selalu menantikan pertunjukan wayang golek yang sudah hampir pudar.
“Silih asih, silih asah, silih asuh” saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh”
Pepatah itulah yang masih saya junjung hingga saat ini walaupun berada di tanah perantauan karena ketiga poin tersebut diyakini oleh masyarakat Sunda akan mendatangkan keharmonisan, ketenangan, dan kesejahteraan di manapun berada.
Baca juga : 5 Tindakan Pamali yang Perlu Kamu Ketahui Jika Berkunjung ke Tanah Sunda