Potongan bambu setinggi lutut orang dewasa ditancapkan di tanah. Ada dua jumlahnya. Satu lagi berdiri agak di belakangnya, berjarak sekitar semeter dari yang tadi. Pada ujungnya sebuah ponsel diikat kuat dengan gelang karet agar tidak melorot. Ponsel ini milik seorang perempuan yang sedang duduk di atas sandalnya, sambil mengobrol dengan handsfree-nya. Pada bambu yang lain juga begitu, seorang bapak melakukan hal yang sama. Di sekelilingnya pepohonan memayungi mereka, sepoi angin memberikan kesegaran di tengah cuaca Oktober yang panas menyengat.
“Hanya di sinilah kami mendapatkan sinyal telepon,” ujar Pak Martola, penjaga pintu masuk Taman Nasional Meru Betiri. Siang itu beliau telah menemani saya dan kedua tamu asing saya dari Belgia, Jonas dan Veerle, menelusuri hutan di siang bolong yang terik.
“Seorang penduduk menemukannya dengan tidak sengaja lalu menandai dengan bambu ini.” Kata Pak Martola. “Kami menempelkan telepon kami pada bambu dan mulai mengobrol. Bila tidak ditempelkan sinyal akan hilang.” Sulit dipercaya, batin saya. Namun, itu benar adanya. Ponsel pintar terlihat bodoh sebab saat Jonas, tamu saya, berusaha mencoba dengan ponselnya tidak berhasil.
“Ponsel seperti itu tidak berguna di sini, dan warga sini tidak dapat menerima telepon dari luar, jadi jika ada keperluan harus kami yang menghubungi luar terlebih dulu,” tambah Pak Martola.
Dusun Sukamade, Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, dihuni tidak sampai seratus kepala rumah tangga. Terpencil, membelah sungai untuk menuju ke sana, di tengah belantara Taman National Meru Betiri. Listik hanya tersedia pada pukul lima sore hingga setengah sebelas malam. Setelahnya gelap gulita. Tansportasi satu-satunya bagi penduduk di sana adalah truk milik seorang Pak Haji. Itu pun tidak setiap hari. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap warga mencatat pada kertas lalu menitipkan daftar belanja pada truk tersebut.
Kami, saya dan kedua tamu yang saya bawa, menginap di Wisma Kebun, sebuah wisma milik perkebunan ini. Wisma ini menyatu dengan pabrik pemrosesan karet, kopi, dan kakao di sebelahnya. Juga tidak jauh dari rumah penduduk. Tidak ada pengecualian antara penduduk dan wisma ini. Listrik mati pada jam yang sama dan menyala pada jam yang sama pula.
Cuaca begitu panas dan kering, tak terkecuali di sini. Sungai memang mengalir tapi tak terlihat segar. Saat kami menyusuri dusun sore hari, kami bertemu empat anak laki-laki setempat sedang bermain. Lalu saya menanyakan pada mereka tempat yang baik untuk berenang. Seorang dari mereka sangat antusias kepada kami dan bersedia mengantar kami ke sana. Sayangnya saya lupa menanyakan namanya.
Anak-anak yang masih kelas lima SD ini menjadi pemandu kami menuju tempat yang mereka maksud. Hari sudah mulai kelabu. Saya mengkhawatirkan kedua tamu saya.
“Masih jauh?” Itu yang saya tanyakan pada mereka berulang kali. Mereka bilang tidak. Saya percaya. Namun saya masih menyimpan rasa khawatir akan hari mulai gelap saat kami kembali nanti.
Tidak berlangsung lama kami sudah keluar dari hutan karet. Dan kini hamparan rumput melegakan saya. Di depan ada sungai. Anak-anak ini menuju ketepiannya. Mereka berlarian kegirangan. Dengan spontan mereka bertelanjang ria lalu langsung melompat ke sungai begitu saja, tanpa peduli pada kami. Sya, Jonas dan Veerle tak bisa menahan tawa melihat tingkah polos mereka. Salah satu dari anak kecil itu menawari saya untuk bergabung. Namun saya pikir ini bukan waktu yang tepat untuk berbasah-basahan jadi kami bilang tidak. Kami cukup menikmati mereka bermain di sungai. Menikmati hamparan padang rumput dan lebatnya pepohonan yang menjulang di atas bukit yang jauh dari tempat kami.
Hari benar-benar menggelap saat kami berjalan pulang melewati rumah-rumah penduduk. Saya mengucapkan terima kasih dan berpamit pada anak-anak yang menjadi pemandu kami yang asyik tadi.
Dalam penerangan yang seadanya beberapa warga duduk-duduk santai di teras rumah; menyapa kami dengan ramah, mengagumi kecantikan Veerle yang bak barbie kata mereka. Kami berhenti di salah satu rumah ketika seorang ibu menyapa kami. Lalu saya mengobrol dengannya. Ia mengizinkan kami masuk ke dalam rumahnya. Sesuai dengan apa yang Jonas dan Veerle harapkan bahwa mereka ingin masuk ke dalam rumah orang Indonesia dan melihat bagaimana kami hidup. Keiinginan itu terwujud. Kami masuk dan melihat segala isi rumah.
Ibu ini memiliki dua orang anak perempuan yang masih kecil. Ia tinggal bersama adik perempuannya yang juga memiliki dua orang anak perempuan. Jadilah rumahnya seperti tempat bermain, berantakan tak karuan. Tapi tak apa. Justru itu yang menjadi daya tarik dua turis asing ini. Mereka berusaha mengambil gambar berbagai sudut rumah sebanyak mungkin, mengabadikan apa yang tidak mereka temukan di negara mereka.
Anak perempuan pemilik rumah ini sedang memakai gaun putih ala putri raja. Ada resepsi pernikahan di salah rumah warga malam itu dan keluarga ini akan pergi ke sana. Veerle meminta ijin untuk dapat berfoto bersama sebelum kami berpamit dan meluncur untuk menghadiri pernikahan. Ide untuk menyaksikan resepsi pernikahan ini muncul begitu saja. Mengapa tidak, ini akan menjadi pengalaman dan cerita menarik untuk liburan mereka.
Belum ada tamu undangan yang datang. Kedua pengantin pun belum muncul. Kami -tamu tak diundang ini- datang terlalu awal. Muka kusam dan penuh peluh. Saya dan Jonas hanya memakai kaos dan celana pendek. Sedangkan Veerle masih mendingan. Ia mengenakan baju terusan dengan motif etnik. Memang tidak mungkin bagi kami untuk kembali ke penginapan dan berganti baju, kami tidak memiliki banyak waktu karena pukul delapan malam kami harus berangkat ke pantai untuk menanti penyu.
Dan hal yang terjadi setelahnya benar-benar mengejutkan kami semua. Tak disangka mereka menyambut kami dengan antusias dan cukup berlebihan bagi saya. Tuan rumah mempersilakan kami duduk dan membawakan pengantinnya keluar. Hanya demi kami. Kami disuguhi beberapa piring penuh jajanan. Hati kami berbunga. Di panggung pengantin keluarga mereka meminta untuk berfoto dengan Veerle dan Jonas. Saya rela yang menjadi tukang fotonya malam itu, malam yang menyenangkan. Kami dianggap seperti keluarga jauh yang datang. Saat pamit pulang ucapan terima kasih tak hentinya kami lontarkan kepada kedua pengantin dan keluarga.
Kedua tamu saya suka cita. Kami menggenggam jajanan di tangan saat kami berjalan ke dalam kegelapan jalanan menuju penginapan, menjauhi dentuman musik pesta perkawinan. Tak hentinya Jonas dan Veerle memuji betapa kita, orang Indonesia, begitu ramah dan berhati mulia. Hal semacam itu tak akan terjadi di negeri mereka.
Kami menikmati jajanan di tangan. Rasanya sangat manis, semanis suara binatang malam yang kami dengar selama perjalanan menuju penginapan.
Semanis udara malam yang menyejukkan, menggantikan udara panas siang. Semanis keramahan penduduk desa dan senyum mereka. Semanis rasa syukur saya menjadi manusia yang tumbuh dan besar di bumi nusantara.