Uniknya Kebudayaan Lokal Pantai Rowo, Kebumen

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki segudang budaya pesisir yang telah dilakukan turun-temurun sebagai wujud syukur.

SHARE :

Ditulis Oleh: Rizqi Y

photo from facebumen.com

Pantai Rowo, salah satu pantai yang terletak di dekat rumahku, tepatnya di Kecamatan Mirit, bagian Kebumen paling timur.  Tak ada yang spesial dari pantai ini. Sama seperti pantai selatan lainnya, ombaknya begitu besar, apalagi ketika sedang pasang.

Sering kali ketika aku pulang ke rumah, kusempatkan waktu mengunjungi pantai ini. Di sini lingkungannya masih alami, terjaga, dan cukup bersih. Gunduk pasir atau gunungan pasir di pinggir pantai juga terjaga dengan baik, bahkan saat ini sudah ditumbuhi oleh ribuan vegetasi cemara.

Lahan gunduk pasir di Pantai Rowo ini dijadikan lahan penelitian oleh mahasiswa UGM sejak beberapa tahun lalu. Beruntungnya, hingga saat ini masih terpelihara dengan sangat baik. Cukup unik untuk dijadikan spot foto, karena kita bisa mengambil background di dalam hutan cemara, namun berlatar belakang pantai. Selain itu, di sepanjang hutan cemara ini terdapat laguna, atau masyarakat lokal menyebutnya “segoro anakan”.

Salah satu adat unik pada masyarakat lokalnya adalah “Grebeg Rowo”, dan juga adat sedekah laut. Sejak aku dan orang tuaku tinggal menetap di daerah kecil ini, adat Grebeg Rowo dan sedekah laut itu sudah ada, bahkan hingga saat ini.

Adat Grebeg Rowo ini bisa dikatakan sebagai ajang silaturahmi sekaligus wisata. Adat ini bahkan sudah menjadi acara tahunan yang dianggap sebagai rangkaian adat bagi masyarakat Kecamatan Mirit dan sekitarnya.

Setiap tanggal 7 atau 8 bulan syawal kalender Jawa, masyarakat akan berbondong-bondong datang ke Pantai Rowo. Istilah lokal lain yang aku tahu untuk acara ini adalah “tontonan segoro”.

Tak banyak aktifitas yang dilakukan, ada yang sekedar duduk di pinggir pantai, mandi di laut, berenang di laguna, ada yang hanya sebatas jalan-jalan di bibir pantai, yang jelas pada hari itu Pantai Rowo ini begitu padat oleh lautan manusia.

Sisi positifnya adalah terjalinnya hubungan yang baik antara masyarakat yang satu dan yang lainnya. Selain itu bisa mendatangkan penghasilan tambahan bagi masyarakat sekitar dengan banyaknya orang yang datang.

Aku pernah beberapa kali ikut dalam acara ini. Seingatku, waktu itu aku datang bersama paman ku. Kami hanya berjalan-jalan, namun kami tak mau membuang energi hanya untuk jalan-jalan tanpa menghasilkan.

Kami berkeliling sambil menjual kantong plastik. Tentu akan sangat banyak yang membeli untuk wadah pakaian basah dan kotor, atau untuk tempat sampah, meskipun kami menjual dengan harga yang cukup mahal.

Saat acara Grebeg Rowo berlangsung, kerap terjadi kecelakaan hingga menelan korban jiwa. Seringnya karena terseret ombak sewaktu berenang di laut. Kurangnya pengawasan dan pengamanan terhadap ribuan pengunjung ini juag cukup menjadi salah satu alasan terjadinya kecelakaan tersebut.

Terlepas benar atau tidak, sebagian orang meyakini bahwa korban jiwa itu adalah tumbal yang diminta oleh Ratu Kidul atau Nyi Roro Kidul.

“Isu yang merebak, ketika kita menghadiri acara Grebeg Rowo, kita dilarang menggunakan baju berwarna hijau, dan banyak juga masyarakat yang mempercayai isu tersebut”

Beralih ke lain adat, di pantai Rowo ini juga ada sebuah acara adat tahunan yang digelar oleh masyarakat yang bermatapencaharian nelayan.

Kalau Grebeg Rowo dilakukan di tanggal 7 atau 8 Syawal, maka acara sedekah laut ini dilakukan pada hari Selasa atau Jumat Kliwon penanggalan Jawa di awal bulan Suro.

“Tujuan diadakannya sedekah laut ini adalah untuk memberikan rasa syukur untuk apa yang mereka terima dan dapatkan dari laut selama setahun. Selain itu, sedekah laut ini juga ditujukan untuk memohon keselamatan selama para nelayan melaut”

Prosesi upacara adat sedekah laut ini diawali dengan pelarungan sesajen. Berbagai kelengkapan sesajen yang disiapkan antar lain adalah sepotong kepala kambing yang sudah dibungkus dengan kain putih (mori), bunga setaman, kelengkapan ageman (pakaian) dan alat kecantikan wanita, tujuh rupa buah, tujuh rupa pisang, dan tidak lupa tumpeng.

photo from beritakebumen.info

Pemilihan kelengkapan sesajen tersebut dilakukan atas dasar keyakinan bahwa benda-benda itu adalah benda kesukaan Ratu Kidul. Masyarakat lokal sangat percaya bahwa Ratu Kidul ada sebagai perantara Tuhan untuk menjaga laut kidul (laut selatan) beserta isinya.

Pelarungan ageman atau pakaian biasanya lengkap, mulai dari ageman batik, tusuk konde, dan juga alat kecantikan untuk bersolek. Sosok Ratu Kidul ini digambarkan begitu anggun seperti putri raja atau putri keraton pada umumnya.

Proses pelarungan sesajen ini dilakukan oleh para keluarga nelayan dan dilakukan di tengah laut. Pagi-pagi sekali para keluarga nelayan akan melakukan arak-arakan sesajen dari desa menuju sungai Wawar, yaitu sungai yang menjadi akses untuk menuju ke laut. Setelah itu puluhan perahu nelayan akan beriringan menuju laut untuk melarung sesajen tersebut.

Budaya dan adat masyarakat lokal Kecamatan Mirit tersebut haruslah dihormati dan dijaga sebagai bentuk kekayaan budaya di Indonesia.

“Di berbagai kawasan pesisir lain di Indonesia ini tentu terdapat adat dan budaya yang berbeda juga untuk melakukan sedekah laut. Apalagi negara kita memang dikenal sebagai negara maritim, yang sebagian besar masyarakat di daerah pesisir bekerja sebagai nelayan” 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU