“Lo nggak takut mati ditembak tentara gitu? Kan deket banget tuh sama negara-negara konflik dan bahaya” protes teman saya
Itu reaksi teman saya pas dengar cerita kalau saya akan traveling ke Tunisia. Tunisia memang bukan negara konflik, hanya saja lokasinya dekat dengan negara-negara konflik. Justru dari perjalanan ini saya malah bisa membuktikan kalau negara ini aman-aman saja.
You get more when you’re less expecting.
Saya memulai perjalanan dari kota Tunis yang merupakan ibukota Tunisia. Saya bersama teman saya yang untungnya bisa bahasa Arab berkunjung ke National Bardo Museum dengan membayar 11 Dinar Tunisia atau setara dengan Rp. 63.000.
Museum ini merupakan museum kedua di Afrika Utara dan merupakan salah satu museum terpenting yang ada di Benua Afrika. Karena melihat bangunan museum yang mirip dengan masjid lengkap dengan menaranya, saya mengira bahwa museum ini akan menawarkan barang-barang antik khas Timur Tengah yang berbau Islam. Eh, ternyata museum ini menawarkan lebih dari itu.
Museum ini memiliki koleksi bersejarah dari jaman Romawi, jaman Yunani hingga koleksi dari Afrika dan Asia yang lengkap banget.
Saya adalah orang yang sangat menyukai museum dan sejujurnya saya belum pernah masuk ke museum sebesar dan selengkap di sini. Dengan biaya yang menurut saya cukup murah, saya bisa menikmati museum yang mewah. Kalau menurut saya seperti permen nano-nano yang ramai rasanya, saking banyaknya koleksi yang ada. Puas deh!
Dari museum, kami menuju ke kota tua, tepatnya ke Cathedral of St. Vincent de Paul. Tempatnya cantik dan berarsitektur khas Eropa selatan dan meskipun sebuah katedral, arsitektur bangunannya sekilas terlihat seperti Masjid. Selanjutnya kami pergi ke Medina(Pasar Tradisional), yang merupakan salah satu warisan budaya UNESCO di Tunisia dan negara-negara lain di Timur Tengah. Tempatnya luar biasa cantik, apalagi arsitekturnya yang Timur Tengah banget.
Namun, kalau menurut saya Medina ini semacam Tanah Abang-nya Tunisia, karena di sini kita bisa menemukan barang-barang khas mulai dari, tekstil, parfum, dan pernak-pernik lainnya. Berhubung saya ini tipe traveler yang tidak suka membeli oleh-oleh, jadi saya tidak menghabisakan banyak waktu di sana. Repot juga nanti kalau beli banyak barang. Apalagi kalau sampai tas saya kelebihan muatan.
Capek muter-muter Medina tanpa membeli apa-apa, kami akhirnya mampir ke salah satu restoran lokal dan kami memesan couscous dengan yang dibumbui dengan saus harissa,chorba, dan brik (semacam pangsit goreng). Susah mendeskripsikan bagaimana makanan Tunisia, yang jelas makanannya dimasak dengan rempah-rempah khas timur tengah, dan yang paling penting makanannya enak, halal dan pas di lidah jawa saya.
Atas rekomendasi beberapa orang lokal yang kami temui, kami kemudian berkunjung ke Sidi Bou Said, yang hanya terletak sekitar 20km dari Tunis. Kami kesana dengan menggunakan transportasi umum, dan membayar sekitar 4-5 Dinar.
Mata saya terbelalak ketika saya berada di komplek Sidi Bou Said yang kerennya minta ampun. Tempatnya bersih dan cantik, arsitekturnya didominasi oleh warna putih dan biru, jalanannya kecil-kecil dan banyak gangnya. Yang paling saya sukai dari tempat ini adalah suasananya yang Bohemian dan Hippie banget.
Selanjutnya, kami mengeksplor Carthage yang merupakan situs reruntuhan bangunan dari bangsa Romawi Kuno. Di sini saya berasa seperti berada di film 300. Saya sempat menirukan adegan “This is Sparta!!” dengan teman saya. Mungkin karena kepala kami sudah terbakar lama oleh matahari, jadinya imajinasi kami pun menjadi liar.
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di sekitar Tunis, kami memutuskan untuk pergi ke Sousse yang terletak sekitar 140km dari Tunis. Menurut saya,Sousse ini tempatnya tourist-friendly banget dan berhubung saya ini suka banget jalan kaki,saya menghabiskan sebagian besar waktu di sini dengan berjalan kaki sambil bertukar senyum dengan orang lokal.
Saya paling suka ketika kami naik ke Ribbat castle (tiket masuk 5 Dinar Tunisia), sehingga kami dapat melihat seisi kota dari ketinggian. Duduk-duduk di atas Ribbat castle sambil menikmati suasana sekitar dan sunset itu nikmat banget. Rasanya akan lebih nikmat menikmati pemandangannya kalau saya ditemani oleh mbak-mbak cantik Tunisia yang kalau dilihat itu bikin hati adem.
Puas dengan pemandangan kota, kami memutuskan untuk pergi ke barat untuk mencari kitab suci, eh mencari oasis dan gurun maksudnya. Dari Sousse kami berencana untuk naik kereta untuk menuju ke Tozeur, sebuah kota di barat daya Tunisia.
Pas lagi menunggu kereta, eh ternyata kami dapat informasi bahwa kereta yang harusnya kami naiki terhenti di satu kota yang saya lupa namanya, karena “technical problem” katanya.
Jadinya kami pun menginap semalam lagi di Sousse dan pergi pagi hari ke Tozeur via Gafsa. Menempuh perjalanan selama berjam-jam, Kami akhirnya sampai di Tozeur. Kota yang pernah di jadikan tempat syuting film star wars.
Jujur saja, saya sebenarnya bukan penggemar film tersebut, tapi teman saya adalah fans nomor wahid film itu. Alasan utamanya mau menemani saya ke Tunisia itu ya pengen melihat rumahnya Luke Skywalker. Ah entahlah, saya mah ngikut aja. Lagipula dia juga mau sedikit menyeponsori saya selama perjalanan haha.
Panas. Itu adalah hal pertama yang terlintas di pikiran saya begitu kami sampai di Tozeur. Maklum lah, kota ini dekat dengan gurun sahara. Di sini, lebih terasa budaya Tunisia yang kental, arsitektur rumah-rumahnya masih tradisional, dengan batu bata berwarna kuning kecoklatan.
Kotanya sendiri kecil dan di sepanjang jalan saya menemukan cukup banyak Madrasah (Kirain Cuma ada di Indonesia). Dengan membayar 170 Dinar Tunisia (setelah tawar menawar tentunya), kami mengambil paket tur setengah hari ke Gurun Sahara.
Destinasi pertama kami adalah mengunjungi danau Chott El Jerid. Kami cukup beruntung karena bisa menikmati danau ini. Terlebih karena keberadaan danau ini bergantung dari iklim yang ada. Kami kemudian pergi ke Chebika Oasis. Tempat ini memiliki desa kecil, air terjun, dan pohon palem yang mengarahkan kami ke destinasi selanjutnya yaitu Sidi Bouhlel Canyon.
Setelah istirahat beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan ke gurun Sahara. Pas asyik-asyiknya menikmati pemandangan gurun Sahara, jeep yang kami naiki tiba-tiba mogok. Yah terdampar deh kita. Dulu saya sering sekali berpikiran, asik kali ya terdampar di sahara, biar kayak di film-film gitu. Ternyata realitanya tidak sekeren ekspektasi saya. Parahnya, beberapa saat kemudian, ada badai pasir.
Untungnya badainya kecil dan tidak begitu parah.Setelah sekitar satu jam kami terdampar, jeep kami akhirnya bisa berjalan lagi dan membawa kami ke tempat lain yang merupakan salah satu lokasi syuting film Star Wars, lho!
Guide kami mengatakan bahwa sebagian besar setting lokasi film Star Wars dilakukan di Tozeur, tepatnya di gurun sahara ini. Salah satu set lokasi yang paling terkenal adalah di lokasi yang dulunya merupakan set Mos Espa, salah satu kota fiksi pada film Star Wars. Di sana kita juga dapat menemukan set rumah Luke Skywalker, yang sekarang telah menjadi hotel.Puas keliling Sahara kami pun kembali ke pusat kota Tozeur. Beruntung, di sepanjang jalan pulang kami melihat sekeluarga unta yang lagi JJS (Jalan jalan santai).
***
Jujur, perjalanan ke Tunisia bukanlah perjalanan yang terencana dengan baik. Tapi dari situ saya justru bersyukur, karena kalau ini semua direncakan saya mungkin tidak akan mendapatkan pengalaman sekeren yang telah saya alami selama di sana.
Dan siapa juga yang merencanakan kejebak badai pasir disana? Benar yang dikatakan mbak Trinity, seorang traveler di Indonesia, kalau tidak ada hal yang aneh, lucu, atau bahaya, kita justru tidak akan punya cerita yang menarik untuk diceritakan. Dan Itulah indahnya traveling, You get more when you’re less expecting.