Saat ini pariwisata merupakan lahan bisnis yang menggiurkan. Bidang yang menjadi favorit banyak orang di seluruh dunia. Siapa yang tidak butuh liburan. Informasi tempat wisata berceceran di Internet. Tinggal cek di Google nama tempat, judul lokasi, petunjuk arah, tarif hotel, dan masih banyak lagi.
Sudah googling tapi masih merasa kurang asupan informasi? Pergi lah ke toko buku. Di sana wisata dan traveling ada kategorinya sendiri. Beli buku sesuai minatmu dan pelajari seluk beluk tempat wisata yang kamu akan tuju.
Saat ini buku-buku perjalanan sedang menduduki singgasana kategori buku best-seller. Laris manis tanjung kimpul! Seolah-olah seluruh penghuni isi bumi ingin piknik. Penulis tema traveling bermunculan lebih banyak di hari ini dibanding 10 tahun lalu.
Saat kamu membeli sebuah buku perjalanan, tipe buku seperti apa yang kamu sukai? Travel guide alias panduan perjalanan atau Travel Literature alias catatan yang menceritakan rasa perjalanan?
Buku jenis travel guide umumnya menampilkan informasi seputar tempat wisata saja. Buku jenis ini yang terpopuler di dunia adalah Lonely Planet. Di toko buku kita dapat melihat buku-buku sejenis yang berjudul “Keliling Jepang dengan Duit 5 Juta” atau “Jalan-jalan di Vietnam Modal 1 Juta” atau mungkin “Piknik di Lokasi Drama-drama Korea”, “Backpackeran Tiga Hari di Paris” dan sebagainya. Inti sebuah buku travel guide ya sesuai artinya dalam bahasa Indonesia: panduan perjalanan.
Dalam buku travel guide, informasi yang ditampilkan adalah seputar biaya dan tip-tip traveling. Di antaranya pilihan hotel, tarif penginapan, tempat makan yang recommended, juga tip supaya perjalanan lebih hemat dan lebih seru.
Membaca buku panduan perjalanan jauh lebih ringkas dibanding menikmati sebuah karya travel literatur. Tidak perlu kesabaran lebih karena bisa dibaca sekali duduk. Kita dapat memanfaatkan isi bukunyauntuk memandu kita menuju lokasi wisata. Travel guide bisa dikatakan semacam peta wisata.
Sayangnya buku jenis ini punya masa berlaku yang tidak kasat mata. Bahkan buku Lonely Planet pun mengalami revisi. Karena selang beberapa tahun ada harga yang berubah dan munculnya lokasi wisata yang baru berdekatan dengan yang lama. Jadi tidak selamanya buku jenis Travel Guide dapat kita andalkan informasinya.
Kekurangan tersebut yang tidak ada di buku jenis Travel Literature. Buku travel literature karya Mark Twain, misalnya. Masih bisa kita nikmati bahkan setelah 100 tahun bukunya terbit!
Lho, kok bisa begitu ya?
Travel literature adalah catatan perjalanan yang menuangkan rasa dan sudut pandang. Ia tidak hanya menulis keindahan tapi juga kepedihan, rasa cemas, ketakutan, kemiskinan, uang berlebih, rasa cinta, enak dan pahit.
Di Indonesia, penulis tipe buku seperti ini yang cukup terkenal adalah Agustinus Wibowo dengan buku yang ia beri judul Garis Batas. Namun jauh sebelum ia muncul, Gola Gong sudah menancapkan tema perjalanan dalam buku-buku karyanya: Balada si Roy.
Travel Literature dapat juga tampil dalam bentuk fiksi. Ya buku Gola Gong, Balada si Roy itu contohnya. Karakternya bisa jadi karangan, tapi latar lokasi ceritanya benar-benar ada. Novel Supernova di buku ke-2 yaitu Akar dan buku ke-4 yakni Partikel, citarasa travelingnya sangat tinggi. Dee Lestari mengemas lokasi-lokasi tempat Bodhi dan Zarah bertualang dengan drama yang apik. Belum lagi buku-buku Andrea Hirata dalam karyanya berjudul Edensor. Di buku ini malah diangkat dari kisah nyata, Andrea dan Arai mengeliling Eropa dengan modal uang dari bayaran menjadi pemain kostum.
Di buku jenis Travel Literature sangat sedikit informasi yang memaparkan harga penginapan, ongkos kereta api, tip menjadi turis hemat, atau mengejar lokasi foto yang berpeluang mendatangkan 1000 love di Instagram. Travel literature fokus pada rasa perjalanan, melihat sudut pandang lebih dalam orang lain terhadap sebuah tempat, pada pengalaman yang kemasannya bisa jadi dalam bentuk fiksi atau non fiksi. Bisa jadi kamu akan merasakan hal yang sama dengan penulisnya atau malah sebaliknya.
Makanya tidak heran, travel literature karyanya lebih abadi. Ernest Hemingway saja pernah menuliskan kesannya berada di Afrika dalam cerita pendek berjudul The Snows of Kilimanjaro pada tahun 1936. Jika kita membacanya lagi pada detik ini, kita masih bisa menikmati pesona Afrika dari mata Hemingway. Penulis peraih Nobel Sastra, Orhan Pamuk, menulis memoar setebal 554 halaman berjudul Istanbul, kenangan sebuah kota. Ia menceritakan kehidupannya sedari kecilada sebuah kota dengan sangat rinci dari sudut pandangnya sendiri.
Memang kebanyakan penulis travel literature datang dari kalangan sastrawan. Itu zaman dulu, ketika kemampuan literasi hanya bisa diperoleh kalangan tertentu saja. Sekarang, siapa saja dapat menjadi penulis buku bergenre travel literature.
Namun demikian menciptakan karya sastra tema perjalanan bukanlah perkara mudah. Merangkai kalimat seindah Sigit Susanto, penulis buku Menyururi Lorong-lorong Dunia 1-3, dibutuhkan jam terbang tinggi dan sumber bacaan yang amat banyak dan bergizi.
***
Memilih mana jenis buku traveling yang paling saya suka, tentu saja saya menjawab Travel Literature. Tapi ini bukan lah tentang perkara mana karya yang lebih bagus kok. Pada dasarnya pilihan ini kembali ke selera dan terutama lagi nih: kebutuhan masing-masing.
Butuh panduan perjalanan? Beli lah buku travel guide. Butuh cerita tentang rasa kota yang akan kamu kunjungi, beli lah buku-buku travel literature.
Ada baiknya sebelum pergi, baca dulu buku-buku yang membahas negara dan kotanya. Bahkan media sekelas Lonely Planet selalu mencantumkan rubrik Travel Books to Read Before You Go yang isinya terdiri dari buku-buku campuran dari travel guide dan travel literature.
Semakin banyak jenis buku yang dibaca malah makin bagus. Buku memperluas wawasan dan menambah bobot kualitas diri kita sebagai traveler. Setidaknya kita tidak pulang hanya berbekal foto-foto swafoto dan kenalan baru, tapi isi otak yang menggendut, memahami lebih banyak perbedaan, dan memperoleh kebijaksanaan seorang petualang.