Tari Gandrung Banyuwangi sempat mendapat penolakan dipertunjukan pada acara Festival Gandrung Sewu 2018 ini. Penolakan dilayakan oleh salah satu ormas islam kontroversial, FPI (Front Pembela Islam) Banyuwangi.
Penolakan tak berdasar ini tentu menimbulkan tanda tanya bagi siapa saja. Pasalnya, Tari Gandrung Banyuwangi telah dikenal luas sebagai suatu produk kesenian dan budaya, yang tak hanya memiliki nilai-nilai filosofis, namun juga berperan besar pada sektor perekonomian dan pariwisata Indonesia.
Daripada melayangkan sesuatu yang belum jelas ujung pangkalnya, mari mengenal lebih dalam perihal apa sebenarnya Tari Gandrung Banyuwangi itu.
Tahukah Anda bahwa tarian Gandrung telah diakui dunia sebagai tarian asli Banyuwangi. Pada gelaran tahunan Festival Gandrung Sewu, ajang ini sekaligus menjadi pembuka jalan untuk memperkenalkan tari gandrung secara lebih luas lagi.
Menilik dari asal-usulnya, Tari Gandrung Banyuwangi sudah lama dikenal oleh masyarakatnya. Tampak dari pakaiannya, Tari Gandrung banyak dipengaruhi budaya Bali semasa Kerajaan Blambangan.
Kerajaan Blambangan sendiri berdiri pada abad ke-16 yang merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Kerajaan itu berpusat di ujung Pulau Jawa.
Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Tari Gandrung adalah khas Banyuwangi yang merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat setelah panen.
Pada mulanya tarian ini adalah bentuk syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Padi. Gandrung juga berarti ‘yang disenangi atau digandrungi’ sehingga tarian ini mengungkapkan suka cita.
Menurut tulisan Scholte tahun 1927, Tari Gandrung mulanya ditarikan oleh pria yang berdandan seperti wanita. Instrumen utama tarian ini adalah gendang atau gamelan khas Osing. Ketika agama Islam masuk wilayah Blambangan, penari Gandrung laki-laki mulai perlahan hilang.
Dalam buku ‘Roepa, roepa, tjerita Radja Blambangan namanja Pangeran Pateh’ yang ditulis oleh Hendrik Arkelaus Gerrits pada 1871 disebutkan bahwa agama Islam sudah masuk wilayah Jawa. Pada buku itu ditulis ‘Egama Mohamat’ atau Agama Nabi Muhammad.
Kini Tari Gandrung dipentaskan oleh wanita. Gerak gemulai yang meriah dengan pakaian dominan merah dan emas Tari Gandrung bisa memukau siapapun penontonnya.
Pada perkembangannya, Tari Gandrung Banyuwangi telah berhasil menggaet wisatawan asing untuk antusias melihat dan mempelajari kebudayaan Indonesia dan sekaligus berwisata ke Indonesia. Ini tentu suatu hal yang baik bagi kemajuan banyak sektor, termasuk bagi perekonomian warga Banyuwangi.
Mari kita mengenal terlebih dahulu akar budaya kita supaya bijak dalam setiap menanggapi persoalan yang ada. Akar budaya adalah cerminan dari jati diri bangsa Indonesia yang kaya dan ramah akan keberagaman.