Traveling tak sekadar melangkah, mari buka mata, telinga dan hati
***
“Hampir tiap hari kami menunggu semua siswa datang dulu, baru proses belajar-mengajar dimulai. Karena sekolah ini letaknya terpisah dari perkampungan, sebagian besar anak langsung lari pulang jika melihat kami sudah mengajar. Datang terlambat itu seperti horror bagi mereka, meski kami tidak menghukum. Bagaimana bisa menghukum, sedangkan melihat mereka mau datang saja sudah luar biasa bagi kami,” urai Bapak Martinus, kepala SD Feoria. Usia Pak Martinus telah memasuki ambang senja, namun kelihatan sekali energi dan semangatnya. Bersama empat rekan guru lainnya, Pak Martinus membimbing 30 siswa, yang secara kasat mata amat sederhana namun memiliki pancaran mata yang menyala-nyala. Saya menghafal beberapa nama mereka. Ada Petra, Yesin, Nona, Arma, Anggi dan Seno di kelas 1. Saya tidak melihat foto Presiden & wakil Presiden di seluruh kelas. Ketika iseng-iseng menguji mereka “Siapa Presiden RI?”, Yesin, yang katanya ranking satu itu cepat-cepat mengangkat tangan: “Ir Joko Widodo!” jawabnya. “Mana fotonya?,” tanya saya. “Disini!” kata mereka menunjuk ke sekat pembatas kelas dari bambu. Oh, ternyata ada siswa yang menggambar wajah Jokowi, dan menempelkannya di dinding sebagai foto resmi presiden.
Tulisan di atas adalah petikan dari ‘catatan’ Facebook berjudul ‘DETUKELI is calling us‘, ditulis oleh Valentino Luis, seorang lifetime traveler dan part time writer. Cerita yang menggugah dan menyadarkan saya, bahwa pemerataan pendidikan di negeri ini belum berjalan baik.
“Detukeli ini sebuah kecamatan di wilayah utara kabupaten Ende, dan jaraknya ternyata tidak jauh dari Danau Kelimutu. Bayangkan, sebuah daerah yang tiap hari dikunjungi wisatawan dari berbagai negara namun ‘menyembunyikan’ situasi pendidikan yang terpuruk. Kami mendapatkan kabar tentang anak-anak di Detukeli, lalu melakukan kunjungan untuk melihat keadaan langsung, bertemu dan berinteraksi dengan pihak sekolah, anak-anak, dan warga disana. Dari kunjungan ini kemudian kami bisa tahu apa yang perlu dibantu,” ungkap Valentino.
Detukeli merupakan daerah selanjutnya yang dikunjungi oleh Shoes For Flores setelah sebelumnya mereka mengunjungi anak-anak di pedalaman Kabupaten Sikka, Flores Timur, dan Nagekeo.
Shoes For Flores (SFF) sendiri adalah gerakan sosial volunteering yang digawangi Valentino dan teman-temannya.
“Kami ingi memotivasi semangat belajar, mendorong keinginan bersekolah dan keberanian untuk bercita-cita bagi anak-anak di pedalaman Flores melalui sharing cerita, pemutaran film, dan Kelas Inspirasi. Pendidikan Dasar itu sangat krusial sebab fungsinya sebagai pondasi, jadi kalau kita menanamkan pengaruh-pengaruh baik maka itu akan terbawa. Anak berusia 7-12 tahun punya daya rekam yang kuat.”
SFF juga membantu keterbatasan kelengkapan sekolah anak-anak, seperti sepatu, seragam, tas, alat-alat tulis, buku bacaan karena sasaran kegiatan ini adalah sekolah-sekolah yang keadaan siswanya masih terbatas di daerah pegunungan
Tak hanya itu, SFF mencoba menumbuhkan semangat kepedulian sosial, khususnya komunitas orang-orang muda Flores. Tiap kali SFF memiliki kegiatan dari satu kabupaten ke kabupaten yang lain, mereka selalu berusaha menggandeng orang muda daerah itu.
Selalu ada cerita menarik dibalik sebuah kegiatan sosial seperti ini, termasuk cerita awal mula Valentino terjun di kegiatan SFF.
“Kegiatan SFF ini dimulai tahun 2014 lalu, berawal dari postingan foto-foto di Facebook tentang anak-anak SD sebuah kampung yang ke sekolah dengan bertelanjang kaki. Kemudian saya tautkan ke Facebook saya dan mendapatkan banyak reaksi. Dari sinilah kemudian saya terdorong untuk mencari cara bagaimana membantu. Nah, karena saya sadar tidak bisa melakukannya sendiri, maka saya meminta anak-anak muda lokal untuk sama-sama bergerak. Nama “Shoes For Flores” pun dipilih karena kasus pertama yang menyangkut sepatu itu, meskipun yang didonasikan tak hanya sepatu,” terang Valentino.
“Apa yang kamu dapatkan dengan melakukan semua itu?” Saya sungguh penasaran dengan hal ini.
“Saya merasa bermanfaat. Saya merasa kehadiran saya di dunia ini ternyata ada gunanya untuk orang lain. Itu valuenya melampaui materi. Ada ‘space’ untuk berbagi- pengalaman saat bepergian ke banyak negara, dan hal-hal positif yang saya lihat di negara-negara tersebut bisa saya sampaikan di sini. Saya juga jadi punya banyak keluarga di tiap daerah di Flores, itu kerennnnn…karena sebagai traveler, orientasi saya sebenarya ke gunung, bukit, dan kampung-kampung adat, ketimbang kota. Saya suka mendengarkan legenda-legenda, tidur dalam pondok kayu, berada di tempat yang tinggi serta bersuhu dingin, minum kopi. SFF telah melebarkan pintu untuk mendapatkan semakin banyak keluarga, semakin intens untuk terhubung dengan alam. Ada pembelajaran untuk mensyukuri hidup, pembelajaran tentang kerendahan hati. Saya bersyukur dipertemukan dengan teman-teman volunteers dari berbagai latar belakang, mereka mau secara sukarela memberi waktu dan tenaga. Luar biasa,” Valentino lugas menjawab.
Bagi kamu yang tergerak untuk ikut dalam gerakan SFF, Valentino menjelaskan caranya.
“Bisa jadi volunteer, bergabung dalam proses kegiatan ini secara langsung. Kita senang ada orang-orang baru, dengan keinginan tulus berbagi. Tidak harus materi, tapi dengan sumbangan ide, tenaga, waktu. Sudah beberapa kali kegiatan SFF melibatkan traveler yang datang ke Flores untuk memotivasi anak-anak. Atau menjadi LDV (long distance volunteer), dengan menyebarkan semangat berbagi Shoes For Flores, menghubungkan kami dengan pihak-pihak yang punya semangat yang sama. We appreciated that.”
Untuk tahu kegiatan-kegiatan Shoes For Flores bisa dilihat di akun Facebook dan website mereka.
Menurut Valentino, minat traveling orang-orang Indonesia tahun-tahun belakangan ini -khususnya orang muda- sangat luar biasa. Media sosial sangat berperan menyebarkan virus traveling. Kalau dibikin statistik, lonjakannya sangat besar.
“Sepuluh tahun lalu berapa banyak remaja Indonesia yang mau bepergian dari satu pulau ke pulau lain? Nyaris nihil. Sekarang, di Flores sudah tampak lumrah bertemu grup anak muda Indonesia dengan kain tenun yang diikat di kepala..hahaha…”
Jika bicara tentang efek negatif, menurut Valentino hal yang paling bisa dilakukan adalah terus-menerus mengkampanyekan traveling yang peduli pada alam, yang respek terhadap kultur daerah yang dikunjungi, yang memikirkan dampak jangka panjang, bukan sekadar kesenangan sesaat.
“Saya sendiri sering dilematis karena saya juga seorang travel writer, menulis tentang tempat-tempat indah. Antara keinginan untuk memperkenalkan sebuah obyek dan kekhawatiran akan rusaknya obyek itu akibat ulah traveler yang belum cukup dewasa. Yang bisa saya lakukan adalah memasukkan pesan-pesan sosial dalam artikel yang saya tulis.”
***
Traveling dengan cara seperti apapun memang hak tiap orang, namun rasanya akan lebih menyenangkan jika jalan-jalan kita juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Semua bisa dimulai dari hal kecil: mengobrol dengan warga lokal. Mari menjadi traveler yang peduli pada sekitar.