Bali, sambil menghela nafas panjang lagi-lagi kuucapkan bahwa ia adalah salah satu pulau menakjubkan di Indonesa. Sebenarnya saya sudah bosan mengakuinya, tapi inilah Pulau Dewata, harta karun Budaya Indonesia.
Ada satu kelompok yang membuat saya terkagum-kagum dibuatnya, mungkin akan sulit ditemukan di kota-kota lain. Sebuah kelompok yang terbentuk tanpa adanya paksaan, namun bersifat produktif dan konsisten.
Saya menyebut mereka adalah sekumpulan pemuda kreatif Bali. Para pejuang kebudayaan Bali yang sadar akan kearifan lokal serta paham betul bagaimana cara menfiltrasi kebudayaan.
Meskipun Bali adalah pintu masuk hilir mudiknya wisatawan dari berbagai mancanegara, tapi tak pernah sekalipun saya merasa budaya di Pulau Dewata ini luntur.
“Apabila ingin menjadikan daun-daun di pepohonan rindang, mulailah rawat akarnya sejak kecil”
Mungkin pepatah tersebut pantas untuk dijajarkan dengan sistem kebudayaan masyarakat Bali. Memupuk bibit-bibit penerus generasi bangsa, itulah yang dilakukan untuk melestarikan kearifan budaya lokal.
Seperti yang nampak di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Sebagian besar anak-anak di sini telah didik untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal dengan cara memasukan putra-putri mereka ke berbagai sanggar kesenian tradisional, baik seni rupa maupun seni musik. Masa kecil mereka dihabiskan untuk bermain mainan tradisional dan mengembangkan bakat dan minat.
Hampir semua sanggar-sanggar yang saya temui di Bali selalu penuh terisi, tak pernah sepi. Seperti sanggar Tari Kecak, Pendet, seni lukis, hingga tatto art. “Orang tua di Bali kebanyakan seniman, itulah mengapa anak-anak sudah terbentuk bakat, kemauan, dan pola pikir yang tidak jauh berbeda” ucap Putu, teman saya sewaktu Sekolah Dasar yang telah hijrah ke Pulau Dewata.
Dari sekian banyak sanggar yang tersedia, Gianyar lebih populer dengan kerajinan ukir patung kayu.Tidak hanya ukiran khas Jepara saja yang tersohor, Bali pun juga memiliki eksistensi yang kuat terhadap seni rupa bidang ukir.
Jika diperhatikan secara seksama, ciri ukiran patung di sini bertema naturalis dan humanis. Saya memang tidak terlalu paham tentang apa itu seni ukir, tapi yang jelas patung-patung ini memiliki detil ukiran yang begitu rapih.
Harga jual yang tinggi ternyata tidak hanya terpatok pada tingkat kerumitan ornamen ukiran, tapi kualitas kayu yang digunakan. Putu mengambil salah satu potongan kayu dan menyodorkannya kepada saya. “ini kayu Suar, jenis kayu yang paling umum digunakan, selain itu para pengrajin di Gianyar juga menggunakan jenis kayu meranti, waru, sonokeling, ebony, dan bonggol jati, tergantung jenis patung ukiran”. Saya yang masih sangat awam hanya mengangguk seolah paham
“lama pengerjaan sebongkah kayu menjadi sebuah bentuk ornamen patung berbeda-beda, bisa 1-4 bulan” sambung Putu yang ternyata belum selesai menjelaskan.
Ternyata, setiap ukiran memiliki fungsi dan makna guna tersendiri, misalnya yang pertama patung untuk persembahan seperti upacara-upacara sakral. Kedua, fungsi patung untuk dimensi representasi kehidupan sosial masyarakat Bali sehari-hari. Ketiga dimensi-dimensi abstrak sebagai wujud imaginasi seniman yang tanggap akan hakikat, dinamika dan filosofi kehidupan.
Di luar pesanan dan kegunaan untuk upacara, pemuda-pemuda di sini ternyata diberi kebebasan untuk bereksperimen dan menuangkan kreativitas. Tangan-tangan berotot itu tampak sangat lihai dalam menuangkan imajinasi ke dalam bentuk ornamen.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” mengkin itulah yang menggambarkan pemuda-pemuda Bali ini. Semangat, bakat, dan kemauan untuk mengembangkan budaya menurun kepada putra-putri mereka. Benar-benar aset bangsa yang tak ternilai.
Di tengah-tengah modernisasi, ketika jutaan anak muda di Indonesia berlomba-lomba memamerkan gaya ala kebarat-baratan, pemuda Bali ini tetap konsisten atas budaya yang membesarkan daerahnya. Justru mereka memanfaatkan daya tarik budaya untuk menggaet wisatawan asing melalui kreativitas yang ditawarkan.
“Berpegang teguh pada kearifan budaya lokal bukan berarti ketinggalan zaman, justru merekalah sosok inspiratif sebagai pondasi kekayaan bangsa”