Mendaki gunung sendirian? Untuk mereka yang tidak pernah mendaki atau tidak menyukai hobi bertualang di alam terbuka, pasti selalu berpikiran hobi ini adalah hobi yang gila dan malah ada yang menyebut kita amor fati atau ‘pecinta kematian’.
Bagi saya pribadi, bertualang merupakan aktivitas bagaimana kita mengenal jati diri danjuga belajar menghargai dan menjaga alam. Ketika mendaki gunung saya bisa belajar melewati tantangan dilapangan dan juga mengukur seberapa kuat tekad saya demi mencapai puncak dan kembali pulang ke rumah.
***
Awal bulan Juli lalu, saya memutuskan mendaki seorang diri ke Gunung Sibuatan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Mendaki seorang diri, tak takutkah? Tentu tetap ada rasa takut, namun yang terpenting adalah persiapan matang dan tekad kuat. Saya hanya ingin mencoba pengalaman baru, mengenal lebih dekat Gunung Sibuatan, gunung tertinggi di Sumatera Utara ini.
Jalur menuju puncak Gunung Sibuatan masih hanya ada satu jalur yang dibuka, jalurnya tergolong sangat terjal dan sempit untuk dilalui. Sepanjang perjalanan kita akan melewati hutan yang masih alami. Pohon-pohon tinggi mendominasi dari pintu rimba sampai shelter 3. Kaki hanya dapat memijak pada akar-akar pohon besar saking terjalnya.
Saat menuju shelter 4, saya dikejutkan dengan gumpalan-gumpulan berbentuk aneh berwarna hijau tua, setelah diamati lebih dekat ternyata itu lumut dengan bentuk-bentuk aneh dan menyeramkan.
Gunung Sibuatan memang terkenal dengan hutan lumutnya. Bagi para pendaki hutan lumut ini merupakan hal yang menarik untuk diamati, tentu saat beramai-ramai. Saat sendirian seperti ini ternyata sensasinya menjadi berbeda.
Say lanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan saya hanya melangkah tanpa satu katapun terucap keluar dari mulut. Sesekali saya coba mengabadikan beberapa pemandangan cantik untuk mengusir rasa takut.
Sepanjang jalur pendakian ke Gunung Sibuatan kita bisa menemukan beberapa tumbuhan kantong semar. Kamu akan menemukannya beberapa menempel pada batang pohon.
Sebelum melanjutkan pendakian ke shelter 5, saya mengamati beberapa kantong semar. Suatu tanaman yang mungkin jarang bisa kita temui di gunung-gunung lain. Saya hanya bisa berharap mudah-mudahan tanaman ini dapat terus bertahan dan berkembang, jangan sampai tersentuh oleh tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggung jawab.
Di perjalanan saya coba mengusir bosan sambil mendengarkan musik. Sengaja saya lakukan untuk mengusir rasa takut akan suara gerombolan monyet dengan suara keras yang bersahut-sahutan.
Terkadang saya merasa suara itu semakin keras dan mendekat kearah jalur pendakian membuat detakan jantung lebih cepat dari biasanya. Tapi saya tetap memutuskan untuk berjalan, karena saya percaya mereka tidak akan menggangu selama sayapun tidak memiliki niat berbuat jahat kepada mereka.
Setelah 6 jam 15 menit perjalanan, akhirnya saya tiba di area camp dengan perjuangan yang cukup memacu adrenalin. Dari sekitar area camp saya dapat menyaksikan cantiknya Danau Toba yang membentang luas dilengkapi pemandangan Bukit Gundul atau sering juga disebut Bukit Sipiso-piso. Panorama yang luar biasa, pertama kali saya menyaksikan panorama seindah ini.
Gunung Sibuatan memiliki dua puncak yaitu puncak barat dan puncak timur, titik tertinggi ada di puncak barat. Gunung ini memang masih kalah terkenal dibandingkan dengan Gunung Sinabung dan Sibayak, tapi untuk para pendaki lokal, Sibuatan adalah destinasi pendakian favorit sejak Gunung Sinabung mulai erupsi 15 september 2013 lalu.
Mengawali pagi dengan suhu udara luar biasa dingin dan tiupan angin menembus jaket tebalku, saya coba memanaskan air untuk membuat segelas kopi sebelum melangkah lagi ke puncak timur mengejar matahari terbit. Gunung Sibuatan memang hanya memiliki ketinggian 2457 mdpl, tapi gunung ini terkenal dengan cuaca buruknya pada saat musim hujan.
Hanya ada saya sendiri di puncak gunung tertinggi Sumatera Utara selama 2 hari itu, tanggal 1 sampai 2 Juli 2015. Pagi itu saya dibuat terdiam terpana dengan hamparan lautan awan tebal diiringi munculnya sang surya secara perlahan. Kesendirian itu akhirnya menghilang karena ditemani sang surya yang muncul mulai menghangatkan tubuh.
Rasa syukur kembali terucap buat Sang Pencipta. Semoga keindahan ini selalu bisa terjaga dan kembali tersaji nanti untuk para petualang dan pendaki lain.
Sejenak saya termenung memandangi erupsi Gunung Sinabung yang masih tetap mengeluarkan semburan awan itu. Di dalam hati, saya bertanya-tanya entah sampai kapan erupsi gunung itu berhenti. Sejenak saya berdoa dalam hening di puncak untuk para korban Sinabung, untuk kemudian bersiap melangkah turun ke posko. Terimakasih tak terhingga untuk Sang Pencipta, bumi semesta, gunung yang setia, hutan dan para pohon yang berjiwa. Tetaplah hidup dan lestari.