Sudah 5 kali putaran burung itu terbang tepat di atas posisi kami. Tubuhnya kekar, bentangan sayapnya lebar, dilihat dari jarak sedekat ini, elang memang benar –benar salah satu jenis burung yang paling menawan.
Pemandangan langka ini menjadi penghibur berharga ditengah kelelahan fisik dan mental yang tengah kami alami kala menapaki punggungan bukit di kawasan Gunung Sawal yang masih liar.
Perjalanan ini benar-benar berat, liarnya belantara Gunung Sawal sukses menelanjangi kebodohan dan keteledoran kami, para pendaki pemula yang coba menjelajahi alam liar tanpa persiapan matang.
Meski demikian, jika renungkan dengan lebih dalam, perjalanan ini juga memberi banyak pelajaran teramat berharga bagi saya.
Jika dilihat dari ketinggian, Gunung Sawal yang tengah kami jelajahi jelas tak ada apa-apanya dibanding Cikuray, Gede, Pangrango, apalagi Ciremai yang berdiri gagah sebagai atap tertinggi Jawa Barat. Sawal, sebuah pegunungan dengan titik tertinggi yang’ hanya’ 1.764 mdpl, dan puncak Bongkok yang kami tuju, berada pada ketinggian sekitar 1.400-an mdpl saja.
Namun ternyata ketinggian tak selalu mencerminkan tingkat kesulitan. Medan naik turun, vegetasi hutan yang masih sangat lebat, serta tak adanya jalur pendakian resmi merupakan sebagian rintangan yang harus dihadapi di gunung ini. Berkali-kali kami disesatkan dengan jalur bercabang, bahkan sempat pula terjebak di jalur milik babi hutan. Suara-suara hewan liar di kejauhan, serta perubahan cuaca yang tak dapat diprediksi menambah ketakutan di hati.
Dari beberapa gunung tinggi yang pernah didaki, gunung setinggi kurang dari 2.000 mdpl ini benar-benar mengajarkan saya tentang pentingnya menjaga ‘rasa rendah hati’ saat mendaki. Ia seperti mengingatkan: “jika meremehkan alam, alam tak akan segan pada kita”.
Saat berencana mendaki gunung ini, kami tidak banyak melakukan cukup riset dan observasi karakteristik serta medan gunung ini. Kami teledor karena menganggap telah mengenal gunung ini hanya karena sering berkemah di kaki-kakinya. Alhasil, setelah benar-benar melakukan penjelajahan, dan masuk ke tengah belantaranya, kami baru sadar ternyata kami sama sekali tak mengenal medan dan karakteristik gunung Sawal yang sebenarnya!
Di awal-awal perjalanan, medan yang kami temui masih berupa hutan pinus dan tanaman perdu, saat itu suasana masih terasa sangat kondusif, saya dan kawan-kawan masih melangkah dengan enteng dan percaya diri. Namun setelah mulai masuk hutan belantara, tiba-tiba suasana langsung berubah drastis.
Tanah lembab khas lantai hutan yang jarang terkena sinar mentari, pepohonan besar yang gagah berdiri di kanan kiri jalur, serta suara-suara binatang liar di kejauhan entah kenapa terasa sangat mengintimidasi, membikin nyali saya tiba-tiba menciut. Adrenalin mulai terpacu seiring rasa waswas dan takut yang mulai menjalar ke seluruh tubuh. Sejak itu, langkah kami menjadi semakin hati-hati, saya yang kebagian jalan paling depan segera mengeluarkan pisau tebas sebagai alat untuk membuka jalur sekaligus senjata jika tiba-tiba harus berhadapan dengan hewan liar.
Sebenarnya di gunung-gunung lain yang pernah didaki, medan hutan belantara sudah biasa saya temui, namun rasanya baru kali ini saya benar-benar terintimidasi. Entah apa alasannya, mungkin karena hutan di gunung ini sangat jarang dilewati manusia, mungkin juga karena saat itu hanya ada kami berlima saja di tengah-tengah belantara yang luas.
Sering mendaki di gunung-gunung yang punya jalur resmi membuat saya terlena hingga melupakan skill dasar yang penting untuk dikuasai para pendaki, yakni ilmu medan peta kompas (IMPK) alias navigasi darat.
Di gunung ini, saya menyadari betapa pentingnya ilmu navigasi darat bagi setiap pendaki. Tanpa kemampuan navigasi, peta dan alat pendukung lainnya, berkali-kali saya dan kawan-kawan kehilangan arah dan disesatkan oleh jalur yang tak jelas dan bercabang.
Beruntung kami masih bisa keluar dari situasi tersesat tersebut dan selamat sampai pulang kembali ke rumah, coba kalau kemungkinan terburuk yang terjadi, saya pasti mati konyol gara-gara meremehkan ilmu navigasi darat yang seharusnya wajib dikuasai.
Selain karena kurangnya persiapan soal navigasi, faktor lain yang membuat ‘gagal’ di pendakian kali ini adalah lemahnya mental yang kami miliki.
Tak ada jalur resmi, kondisi medan yang menyulitkan, dan berkali-kali tersesat hilang arah jelas-jelas telah sukses membuat mental kami drop sampai titik paling rendah. Saat mental sudah melemah, rasa panik dan takut mulai datang, semangat pun perlahan hilang. Saat itu, tak ada keinginan apapun selain ingin segera bisa menemukan jalan pulang dan kembali dengan selamat.
Cerita perjalanan ini memang bukan cerita dramatis tantang perjuangan antara hidup dan mati seperti dalam film-film, namun perjalanan ini telah memberikan banyak pengalaman baru yang sangat berguna untuk jadi bahan pembelajaran. Setelah melakukan perjalanan ini, saya jadi sadar tentang pentingnya menguasai ilmu navigasi darat, saya merasa diingatkan untuk tidak sombong dan meremehkan gunung manapun yang akan dituju, saya juga belajar untuk melatih mental agar menjadi lebih tangguh dan kuat untuk menghadapi setiap tantangan dan bahaya yang sewaktu-waktu datang menghadang.