Sebagai salah satu negara yang terkenal dengan masyarakatnya yang ramah, tak bisa diingkari, Indonesia kental akan budaya berbagi, termasuk “ritual” memberi dan meminta oleh-oleh sehabis bepergian. Beberapa ada yang hanya diutarakan sebagai basa-basi, namun ada pula yang sifatnya sengaja “menodong”.
Artikel Terkait: 5 Alasan Mengapa Membelikan Oleh-oleh Bukan Kewajiban
Buat saya, budaya memberikan oleh-oleh memang merupakan sebuah bentuk budaya yang baik, dengan catatan: selama itu dilakukan dengan ikhlas dan tanpa paksaan. Beda halnya dengan pengalaman banyak teman yang terpaksa membeli karena “ditodong” atau dilakukan karena terlanjur mengiyakan permintaan.
Nah, ketimbang travelling berubah jadi hal yang membebankan, inilah beberapa cara saya mengakali si “penodong” oleh-oleh tanpa harus berbohong atau pura-pura lupa!
Buat saya, memenuhi titipan oleh-oleh yang sifatnya spesifik dan terkadang melebihi bujet, adalah hal yang membebankan. Dahulu, pada banyak kasus, saya memang sering kali merelakan bujet pribadi untuk menutup kelebihan biaya oleh-oleh. Tetapi bagaimana jika suatu saat permintaan oleh-oleh membeludak hingga tak sanggup lagi ditutupi?
Jika kita seorang travel budget yang terkendala dana pas-pasan, jangan ragu untuk meminta si penitip “membayar” barang titipan mereka terlebih dahulu. Saya yang awalnya ragu dan merasa “tidak enak” mendapatkan tips ini dari seorang teman. Setelah dijalani, ternyata jadi tidak membebankan, lho. Hal ini juga berguna, untuk meminimalisir risiko mereka akan membatalkan titipan setelah kita membeli barang, bahkan lupa bahwa mereka pernah menitip!
Ingat, cara ini tidak serta-merta menandakan kita pelit. Kita hanya belajar hemat dan memanfaatkan uang dengan bijak.
Karena persoalan “membeli oleh-oleh” jadi hal yang membebankan bagi sebagian orang, ada banyak toko maupun situs online yang kini menawarkan solusinya.
Bisa dengan mudah kita temui toko yang menjual oleh-oleh dari dalam maupun luar negeri, mulai dari gantungan kunci, magnet kulkas, kaos, kain tenun, bahkan barang-barang antik. Selain harga yang relatif terjangkau, kita juga diuntungkan, karena tak perlu repot mencari barang dan membayar bagasi tambahan.
Lalu bagaimana soal kualitas dan keasliannya? Jangan lupa, beberapa produk yang diklaim sebagai oleh-oleh luar negeri (kaos, misalnya) pun juga merupakan produksi lokal yang diekspor ke negara lain.
Seorang tetangga yang baru naik haji blak-blakan membuka rahasia oleh-oleh yang berkardus-kardus jumlahnya. Tak usah repot-repot, rupanya sebagian besar oleh-oleh, dari kurma hingga air zam-zam ia beli di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Toh, menurutnya sama saja karena penjual di Tanah Abang itu juga mengimpor barang-barang tersebut langsung dari negeri asalnya.
Jika seorang teman masih ngotot minta dibelikan oleh-oleh “aneh” sementara waktu dan bujet minimal, minta ia memesan sendiri barang yang diinginkan lewat jasa titip barang via online, seperti bistip.com.
Kita bisa menjelaskan, betapa mudah, aman, dan efektifnya menggunakan jasa ini. Mereka hanya perlu memilih jenis oleh-oleh, lalu minta tolong dibelikan oleh para pejalan yang kebetulan ada di wilayah tersebut.
Di sini kita akan langsung tahu siapa yang benar-benar menginginkan barang tersebut, dan siapa yang hanya ingin menodong semata. Percayalah, mereka yang hanya ingin barang gratisan akan berpikir dua kali begitu tahu, jasa ini tidak gratis!
Sepucuk daun atau setangkai bunga sakura yang gugur saat musim semi di Jepang bisa jadi oleh-oleh indah yang menyimpan banyak cerita. Kita juga bisa membagikan foto-foto cantik hasil perjalanan. Sebuah foto tentang sunset di Pantai Kuta, atau foto yang menangkap senyum kelompok bocah pencari karang saat surut tiba, tetap bisa, kok, jadi oleh-oleh perjalanan yang menyenangkan.
Seorang adik yang melihat foto tentang perjalanan saya ke pusat kerajaan Majapahit di Trowulan, dengan mata berbinar meminta saya menjelaskan tiap detailnya. Kami bertukar cerita dan pengetahuan. Ia yang mengetahui dari bacaan buku IPS ternyata sudah puas mendapat oleh-oleh foto dan cerita dari saya yang berkesempatan melihat Trowulan dari dekat.
Percayalah, mereka—orang-orang yang peduli pada kita—pada akhirnya tidak akan mempermasalahkan apa oleh-oleh yang kita bawa. Entah itu sebuah barang branded keluaran terbatas atau justru sekadar cerita hangat yang disampaikan dengan sambil tergelak lepas, apa pun yang kita bawa akan selalu memberi kesan yang sama untuk mereka.
Catatan, jangan bawa oleh-oleh yang melanggar etika ya, semisal setangkai bunga edelweis, atau justru pecahan peninggalan situs yang dilindungi.
Bicaralah dengan jujur dan beritahu apa kendala kita saat teman meminta oleh-oleh yang menurutmu butuh waktu dan bujet ekstra. Jika perlu, tunjukkan itinerary yang sudah kita rancang, dan bila itu begitu padat, bilang pada si penitip bahwa kita tidak punya waktu yang cukup. Dalam beberapa perjalanan saya biasanya mengatakan, “Nggak janji, ya” atau “nanti kalau mampir, ya” pada segala permintaan oleh-oleh yang “aneh”. Sebagai gantinya, saya akan menawarkan oleh-oleh yang menurut saya masih realistis dan mudah ditemukan, seperti makanan ringan atau pernak-pernik kecil lainnya.
Jangan ragu atau takut. Sebab, jika mereka menganut paham “apa pun oleh-olehnya, akan diterima dengan senang”, mereka pasti akan mengerti, kok.