5 Pengalaman Luar Biasa yang Hanya Akan Kamu Dapat di Jayapura, Papua

Tiga tahun tinggal di Jayapura membuka wawasan baru tentang kehidupan. Banyak pengalaman luar biasa yang di dapat di bumi cenderawasih.

SHARE :

Ditulis Oleh: Melya Findi Astuti

Mbok jangan cari kerja jauh-jauh,” pinta Mama saya ketika saya akan ditempatkan di Jayapura. Namun kapan lagi pikir saya bisa mendapat kesempatan mengunjungi pulau paling timur Indonesia ini. Dan akhirnya Mama saya pun mengizinkan.

Tiga tahun berada di Jayapura, Papua, menjadi pengalaman berharga bagi saya. Bagaimana tidak, di tempat ini saya mendapat wawasan dan suasana baru yang jauh berbeda dengan tempat asal saya di Muntilan, Jawa Tengah.

Kota ini menyimpan beragam daya tarik yang membuat saya dan beberapa teman selalu rindu untuk kembali. Pasalnya hampir setiap akhir pekan tiba, saya dan beberapa teman selalu menyusun agenda mengunjungi tempat-tempat menarik di Jayapura dan sekitarnya.

Namun bukan hanya tempat menarik saja yang selalu saya rindukan. Tradisi, budaya dan kearifan masyarakat setempat memiliki ruang tersendiri untuk dirindukan.

Mengikuti Acara Pesta Bakar Batu

Foto oleh Abdul Kholiq

Tradisi Bakar Batu adalah salah satu ritual penting bagi masyarakat Papua. Tradisi ini merupakan perayaan ucapan syukur terhadap sesuatu hal. Saat itu saya berkesempatan bisa mengikuti tradisi Bakar Batu ini dalam kegiatan peresmian tempat ibadah di sebuah Gereja.

Dinamakan bakar batu karena untuk memasak makanannya menggunakan batu yang dibakar hingga panas, yang kemudian ditimpakan di atas makanan yang akan dimasak.Makanan yang biasa dimasak adalah daging babi. Namun bisa juga di ganti dengan daging ayam atau daging sapi apabila ada tamu khusus yang tidak mengkonsumsi daging babi.

Kebetulan pada acara bakar batu yang saya ikuti, mereka menggunakan daging babi dan daging ayam. Setelah matang, daging ini dibagi-bagikan kepada semua peserta yang hadir. Bagi masyarakat Papua, tradisi ini merupakan simbol solidaritas dan kebersamaan mereka.

Ikut memeriahkan Perayaan Minggu Palma

Foto oleh Melya Findi Astuti

Saat itu adalah pekan suci memasuki Hari Raya Paskah. Bagi umat Katolik, hari Minggu sebelum Hari Raya Paskah dirayakan sebagai hari Raya Palma. Awalnya saya mengira perayaan perarakan akan berlangsung seperti biasa sebagaimana perayaan Minggu Palma di tempat lain. Namun ternyata perayaan ini dimeriahkan dengan pawai budaya dari berbagai daerah di Papua, baik Sentani, Jayapura, Wamena, Merauke, dan Kepulauan Kei.

Terkadang masyarakat lokal sini cukup sensitif apabila ada orang asing yang mengambil gambarnya, namun pada acara ini kita diizinkan untuk memotret dengan bebas.

Suasana sangat meriah. Penduduk lokal menari membawakan tarian perang Wamena menggunakan koteka. Saya sangat beruntung bisa menyaksikan masyarakat Jayapura mengenakan pakaian tradisional mereka, pasalnya mereka sudah tidak menggunakan koteka sebagaimana saudara mereka di Wamena, kecuali hanya saat perayaan adat.

Tinggal bersama warga lokal di Desa Waris

Foto oleh Melya Findi Astuti

Bekerja di bidang pelayanan masyarakat, menjadikan interaksi dengan masyarakat menjadi salah satu hal yang penting. Saya mendapat tugas live in di rumah penduduk lokal selama dua minggu. Masyarakat di Desa Waris tempat saya tinggal sangat ramah, hal ini membuat saya mudah beradaptasi.

Saya tinggal di sebuah rumah sederhana milik Bapa Petrus May di Desa Waris. Berbeda dengan Wamena, di sini masyarakat tidak tinggal di rumah honai. Mereka tinggal di rumah-rumah papan, bahkan beberapa sudah ada yang dari bangunan batu.

Kegiatan saya sehari-hari adalah membantu Mama Petrus memasak, dan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang ada di desa. Di Desa Waris inilah menjadi pengalaman pertama saya makan daging rusa. Rasanya enak seperti daging sapi, tapi harus dicuci bersih agar tidak amis. Dan ternyata untuk makan daging, baik babi maupun rusa mereka harus berburu di dalam hutan.

Desa ini cukup dekat dengan perbatasan Papua Nugini. Seringkali saya menjumpai masyarakat Papua Nugini yang melintas untuk berbelanja barang-barang kebutuhan pokok di Desa Waris. Bapa Petrus dan keluarga juga memiliki beberapa kerabat dari Papua Nugini yang seringkali menginap di rumah mereka. Kata Mama Petrus “Kita harus lebih bersyukur kalau melihat mereka.” Sebuah pesan indah yang hingga kini masih saya pegang dari Mama Petrus untuk selalu melihat ke bawah saat mengalami suatu kesulitan.

Terkadang saya juga ikut membantu Mama Petrus, berjualan sirih dan pinang di pasar sore. Pasar ini hanya buka 2 atau 3 kali dalam seminggu. “Mace anak angkat baru kah?” tanya seorang ibu di pasar kepada Mama Petrus sambil tertawa.

Meski terlihat “sangar” dari segi penampilan, namun warga lokal di sini sangat ramah. Saya benar-benar betah tinggal di sini.

Mencoba makan sirih pinang

Foto oleh Frederick Roynaldi Sembiring

Teman kantor saya pernah berkata “Kalau kamu ingin gampang diterima oleh mereka coba dulu makan sirih pinang.” Sirih pinang dalam tradisi masyarakat setempat merupakan alat pemersatu. Hampir setiap masyarakat lokal di Jayapura dan bahkan seluruh Papua pasti hobi mengunyah sirih pinang yang biasa mereka campur dengan kapur. “Ini bisa bikin gigi kuat,” kata salah seorang teman Papua saya.

Di salah satu kunjungan saya di sebuah rumah penduduk, saya ditawari sirih pinang sebagai jamuan mereka pada tamu yang datang. Karena tidak enak menolak, akhirnya saya mencobanya. Karena ini pengalaman pertama saya mengunyah sirih pinang jadi belum begitu menikmati, rasanya kesat dan sedikit panas, mungkin karena pengaruh kapur. Sirih pinang biasanya dicampur dengan kapur dan dikunyah-kunyah hingga akhirnya berwarna merah. Cairan merah ini biasanya mereka ludahkan. Maka tak jarang saya jumpai tempat-tempat di Jayapura dengan papan peringatan “Dilarang Meludah Sirih Pinang di Sembarang Tempat”. Bahkan lucunya, peringatan ini juga dipasang di dalam pesawat pada salah satu maskapai penerbangan lokal.

Merasakan suasana natal yang penuh kerlap kerlip

Foto oleh Melya Findi Astuti

Mayoritas masyarakat Papua beragama Nasrani, sehingga tak heran apabila perayaan Natal di sini menjadi begitu meriah. Memasuki masa Natal adalah masa yang paling saya tunggu. Pasalnya di jalan-jalan pasti kita jumpai pondok-pondok Natal yang cantik. Pondok Natal ini adalah penggambaran sebuah kandang tempat Tuhan lahir pada saat itu. Namun yang membuat menarik adalah masyarakat menghiasnya dengan ornamen- ornamen khas Natal serta lampu-lampu yang berkelap-kelip.

Malam itu saya dan teman-teman berkeliling Jayapura pada malam hari hanya untuk melihat pondok-pondok Natal yang cantik-cantik. Uniknya, di sini biarpun ditinggal begitu saja, tidak ada atribut atau lampu-lampu yang hilang. Beda cerita jika di kota besar, pasti langsung hilang tak berbekas.

***

Tinggal 3 tahun di Papua, saya belajar banyak dari mereka dan memahami bagaimana pola hidup masyarakat setempat. Hingga pada akhirnya, tiga tahun tersebut terasa sangat singkat. Sudah saatnya saya untuk pindah ke tempat lain, pulau lain karena faktor pekerjaan.

Rumah adalah tempat dimana hatimu berada. Dan Papua akan selalu menjadi rumah kedua saya untuk selalu kembali lagi

 

Artikel ini juga bisa dibaca di Malesbanget.com

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU