Bila orang sedang bergoyang saat musik dangdut melantun, pasti selalu bilang “asyik..!” (sambil merem kemudian jempolnya pun digoyang). Sepertinya irama dan musik dangdut itu merasuk ke dalam jiwa dan raga mereka sehingga keluarlah kata “asyik..!”.
Nah, seperti itulah kira-kira saya menggambarkan Morotai. Se-asyik apa sih sebenarnya Morotai itu?
Jangan terburu-buru membayangkan panggung catwalk ala rumah-rumah mode terkenal dalam pertunjukan fashionweeknya. Dermaga di Pulau Galo-galo berubah menjadi panggung catwalk saat itu. Akbar anak morotai itu pun beraksi di atas dermaga bak foto model. Berjalan ke tepi dermaga di teriknya matahari Morotai dan kembali lagi setelah berada di ujung dermaga. Seakan laut biru menjadi penontonnya dan pasir putih pun menjadi jurinya. Sempat ia berkata “sa (saya) pake jacket di pundak kah, seperti orang-orang di Jakarta itu?”.
Tujuh orang wisatawan asing tiba dengan speedboat di Pulau Dodola besar. Mereka pun turun dengan riang, terlihat seorang laki-laki membawa sebuah bola kaki. Tak lama kemudian rombongan itu melewati kami yang sedang bersembunyi dari teriknya matahari di bawah pohon Kasuari. Sambil mereka berlalu, seorang menyapa kami dengan bahasa Indonesia yang berpasir-pasir, “Selamat siang!” ditambah senyum ramah seorang perempuan berkebangsaan Spanyol itu yang kemudian memperkenalkan asal negara teman-temannya yaitu Meksiko dan Brazil dan mereka berjalan menuju pulau Dodola kecil.
Di pulau Dodola Kecil mereka langsung berenang dan kemudian berjemur. Saat kami melewatinya terdengar lantunan musik latin dari sebuah perangkat musik yang mereka bawa. Mereka terlihat sangat menikmati suasana itu, sepertinya mereka berada di planet sendiri.
Morotai tak hanya menawarkan pantai, laut dan sejarah sebagai tujuan wisatanya, namun ada juga air terjun. Setidaknya menurut informasi yang saya dengar, ada tiga air terjun di pulau Morotai, salah satunya berada di desa Raja. Jarak dari Desa Raja ke air terjun sekitar 5 kilometer berjalan kaki. Anjuran penduduk datanglah lebih pagi, agar bisa santai menelusurinya. Sayang hari itu kami mengunjunginya saat sore hari, sehingga penduduk setempat hanya bersedia mengantarkan kami ke air jatuh. Air jatuh sebenarnya sinonim dengan air terjun, hanya orang setempat ada yang menyebutnya demikian.
Air jatuh yang paling dekat dari desa Raja ini dijadikan tempat pemadian oleh warga. Melihat suasananya memang menyejukkan. Di bawah deretan pepohonan hijau mengalir sebuah sungai yang berdasarkan bebatuan. Hanya suara gemericik air sungai yang berbenturan dengan bebatuan yang terdengar. Air sungai itu akhirnya jatuh ke bawah dan membentuk sebuah kolam bak pemandian bidadari-bidadari dari kahyangan.
Saat sore tiba orang-orang Daruba banyak yang berkumpul di pelabuhan speed. Mulai dari anak-anak sampai yang dewasa. Mereka ada yang sekedar berfoto dengan background sunset, anak-anak yang bermain di dermaga bagoyang, atau yang bertukar cerita pengalaman merantau di sana.
Selain pelabuhan speed yang umum, di sebelahnya ada pelabuhan speed milik pemerintah daerah tepat di belakang taman kota yang juga biasa menjadi spot orang-orang Daruba menikmati sunset. Sepertinya kedua tempat ini menjadi favorit mereka saat sore hari tiba. Mereka mungkin bilang bahwa kami tak perlu repot-repot berjalan jauh, karena hanya melangkah beberapa meter saja dari rumah sudah dapat menikmati senja yang indah.
Perjalanan bukan hanya destinasi semata namun ada juga cerita menarik dari penduduknya. Umi (nenek) dari Rizki dan Akbar yang keturunan Arab itu menjadi teman bercerita saat di Morotai. Sosok yang bersahabat, bahkan bisa menerima orang yang baru dikenal selayaknya saudara.
Selain itu Umi juga memiliki segudang cerita tentang masa mudanya.
“Ngana (kamu) pe (punya) body bak gitar spanyol”, ungkapan pujian ini ditujukan banyak lelaki kepadanya. Lalu ia hanya menjawab “Alhamdullilah, pemberian Tuhan harus kita syukuri”, jawaban yang ia berikan kepada laki-laki itu sebagai isyarat bahwa ia bukan perempuan sembarangan.
Tak ada orang “rese” di kota Daruba, Morotai. Cobalah berjalan sendiri mengelilingi kotanya. Dijamin mereka takkan mengganggu keasyikanmu menikmati pagi atau sore di kota itu. Masyarakatnya ramah dan sopan saat berbicara, saat membutuhkan pertolongan atau sekedar bertanya merekapun tak sungkan menolong. Bercerita langsung walau tak saling mengenal sebelumnya pun bisa memakan waktu lama. Sepertinya ada saja bahan pembicaraan dari mereka.
Rata-rata masyarakatnya adalah pendatang yang berasal dari Sanger, Tobelo, Gorontalo, Bugis, Menado, Jawa dan dari daerah lainnya. Mereka yang sudah lama tinggal sejak lama sepertinya sudah menjadi tuan rumah di sana. Mereka juga saling menghormati satu sama lain. Menurut orang setempat bahwa bahasa daerah mereka sama dengan daerah Galela di Pulau Halmahera. Seperti tulisan di taman kota “Morotai Daloha”, Daloha berarti bagus, jadi tulisan itu artinya adalah Morotai Bagus.
Destinasi-destinasi yang indah dan ditambah lagi dengan masyarakat yang bersahabat itulah Morotai