Di Jakarta, berbicara dengan menegakan kepala dan saling menatap- tak peduli tua atau muda- sangat biasa. Orang Solo, si muda akan menundukan kepalanya dengan tatapan tertuju pada perut lawan bicara atau jika orang yang dihadapi berumur jauh lebih tua, mata akan tertuju ke lantai.
Suatu ketika saat bertanya arah di Solo, saya dibentak seorang tukang parkir karena tak melepas helm dan masih duduk di atas motor dengan mesin yang masih menyala. Hal tersebut tak sopan dilakukan di Solo. Matikan mesin, turun dari kendaraan, lepas helm-jika menggunakan motor- dan kita aman.
Hal biasa jika kita tetap berjalan dengan badan tegap dan kepala menghadap depan kapanpun saat berada di Jakarta. Hal berbeda di Solo. Tundukan kepala dan bungkukan badan sekitar 30 derajat saat berjalan melewati/ berpapasan dengan orang yang lebih tua.
Langsung memakan makanan kita saat berada di tengah kumpulan orang dalam suatu ruangan adalah wajar di Jakarta. Di Solo, sebelum makanan itu masuk ke rongga mulut, jangan lupa ucapkan ” mari makan/ makan dulu pak/bu/mas/mbak”.
Di Solo, saat berada di sebuah rumah kawan, saya dan kawan tersebut berbicara di kursi ruang tamu. Orang tua si kawan datang dan duduk di karpet karena tak mendapat kursi. Otomatis kawan tersebut langsung turun duduk dikarpet. Akhirnya kami semua duduk lesehan di karpet.
Jika orang dengan usia lebih tua dari kita duduk dibawah, adalah sangat tidak sopan jika kita duduk dengan posisi lebih tinggi darinya. Meskipun di Jakarta sangat biasa, jangan pernah lakukan itu di Solo. Satu lagi, jika ada orang dengan usia lebih tua berada didekat kita, jangan pernah duduk sambil meletakan satu kaki kita diatas kaki yang lain.
Sangat wajar meng-klakson berkali-kali di Jakarta saat macet, tapi tidak di daerah seperti Solo. Meng-klakson berkali-kali adalah sikap arogan dan tidak menyenangkan. Solo akan mengubah pribadi orang Jakarta menjadi lebih tenang dan kalem di jalan raya.
Berkumpul bersama orang-orang dekat sambil tertawa keras di cafe, restoran adalah hal biasa. Itu hak pribadi. “Mulut-mulut gue”. Saya dan beberapa teman melakukan hal serupa di sebuah rumah makan di Solo, dan kami sukses menjadi pusat perhatian. Seorang ibu paruh baya bersanggul menegur kami agar lebih sopan. Karakteristik seolah merasa memiliki tempat umum sebagai tempat pribadi tak baik dilakukan di Solo.
Di Jakarta semua dibicarakan dengan maksud yang jelas dan apa adanya. Tajam, bahkan pada beberapa hal terkesan sadis, tak ada basa-basi. Di Solo saya belajar mengucapkan suatu maksud dengan cara berputar terlebih dahulu.
Ibu penginapan : ” Wah mas pasti betah banget ya di penginapan ini,”
Saya : ” iya Bu, nyaman soalnya.”
Ibu penginapan : ” Iya soalnya ini kamarnya berantakan, pasti kerasan disini udah seperti dirumah sendiri ya mas”
Saya : ” Iya ini, suasananya seperti di rumah, betah sekali disini, penginapan Ibu keren.”
Ibu penginapan : ……
Bagi para wanita, di Jakarta berjalan-jalan di pusat perbelanjaan sambil memamerkan kemulusan paha atau baju belahan dada rendah bukan hal spesial. Cobalah lakukan hal yang sama saat di Solo, jangan protes saat semua mata menatapmu. Berpakaian lebih tertutup di Solo tak akan membuatmu culun.
Mendengarkan musik adalah hak tiap orang. Apalagi jika menggunakan headset dan smaprtphone yang dibeli dengan uang pribadi. orang lain tak bisa mengusik hak itu. Benarkah? Tentu tidak.
Di suatu halte di Solo, saya duduk menunggu bus bersama seorang kawan. Penampilannya memang nyentrik.Celana jins belel, topi menghadap belakang, dan mengenakan headset putih terang. Tiba-tiba dia bertanya jam pada pria paruh baya yang duduk disampingnya.” Mas, tanya yang sopan,headsetnya dilepas dulu!” Pria itu menegur dengan nada tinggi. Kawan saya buru-buru melepas headset sembari minta maaf. Saya hanya tersenyum geli disampingnya.
Saya selalu merasa tak ada orang jahat di Solo. Semua tersenyum dan menyapa dengan ramah. Setelah sebelumnya saya selalu cuek, seminggu berada di Solo tiap bertemu dengan seseorang di penginapan, berpapasan dengan orang di gang sempit atau pada ibu penjual nasi langganan yang mangkal didepan penginapan, saya selalu tersenyum terlebih dulu.
Hal yang janggal jika saya melakukan itu di Jakarta, bahkan mungkin akan dianggap gila.
Menunjuk dengan jari telunjuk adalah hal normal. Di Solo yang menganut adat Jawa, saya belajar menunjuk dengan cara yang lebih sopan-menurut orang Solo-. Tekuk keempat jarimu, dan gunakan jempol untuk memberi tahu sesuatu yang ingin kita tunjukan pada orang lain. Menunjuk dengan jari telunjuk adalah hal tak sopan.
“Gue” dan “lo” wajar digunakan, jika berada di Jakarta. Tentu tak ada aturan larangan menggunakan kata tersebut di luar Jakarta. Namun berada di Solo dimana mereka tak terbiasa dengan kata “gue” dan “lo” mungkin akan lebih bijak jika kita menggantinya dengan bahasa Indonesia yang baik seperti “saya” dan “anda/kamu”.