Saya terlahir dan dibesarkan dari lingkungan keluarga Jawa. Untuk itu saya terbiasa oleh adat-adat orang Jawa yang kadang tidak bisa saya pahami dengan logika.
‘Kalau kamu mau nikah nanti, Nduk, jangan jadi orang yang matre. Kamu itu harus mau belajar susah bareng. Sama seperti Bapak dan Ibumu dulu. Bapak dulu ndak punya apa-apa sewaktu nikah sama Ibu.’ Sambil meracik masakan, ibu terus saja menasehatiku yang sedang membantunya.
‘Satu lagi, kalau ada orang yang jahat sama kamu, didoakan saja supaya orang itu cepat sadar. Kamu nggak perlu membalasnya jahat.’
‘Nanti dia jadi semena-mena sama aku dong, Bu.’
‘Biar gusti Allah yang ngebales.’
‘Kerja itu jangan terlalu ngoyo, Mbak. Rezeki sudah ada yang ngatur.’ Laki-laki yang usianya beberapa tahun di atas saya tersenyum sambil memasukkan belanjaan ke kantong.
Laki-laki itu bekerja sebagai seorang penjaga toko di minimarket dekat dengan rumah saya. Seharusnya lelaki seumuran dia sudah berkeluarga. Baginya, hidup itu adalah mengikuti arus. Yang penting jangan pernah berhenti berdoa dan berusaha walaupun gaji yang diterimanya pas-pasan.
Sewaktu kecil dulu, setiap sore banyak orang lebih suka duduk-duduk di teras rumah dan sambil nunggu magrib. Kebiasaan mereka adalah mencari kutu dari anak-anaknya.
Zaman dulu hampir semua anak kecil memiliki kutu rambut, termasuk saya, dan dengan sabar orangtua saya mencarikan kutu dan beberapa telur-telurnya di waktu senggang. Mungkin karena saya dan anak-anak lain memiliki pola bermain yang berbeda dengan zaman sekarang. Dulu, cenderung kita berada di luar seharian dan bermain kotor-kotoran.
Bagi saya dan orang Jawa, salah satu cara menghormati orangtua adalah dengan cara berjalan membungkuk ketika melewatinya. Saya sendiri tidak begitu memahami asal-usul dari hal ini. Namun saya memang merasakan perbedaannya. Orang yang lebih muda akan terlihat lebih sopan. Jika kamu melihat seseorang berjalan agak membungkuk saat melewati orang yang lebih tua, kamu bisa pastikan orang tuanya pasti orang jawa tulen.
Saat kecil, saya sangat suka pecel buatan Mbah Suwir dekat rumah saya yang harganya kala itu Rp 200,- perpincuk. Pecel buatannya sangat enak. Dengan dipincuk, saya bisa lebih leluasa untuk makan pecel tanpa repot.
‘Bapak sampun tindak kantor dereng, Bu? Kondur jam pinten’ (Bapak sudah berangkat belum, Bu? Pulangnya jam berapa?).
‘Uwes, Nduk. Koe mangkat dewe wae’. (Sudah Nak. Kamu berangkat sendiri)
Sejak kecil orang tua mengajarkan tentang unggah-ungguh ( tata krama ), ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, selalu gunakan bahasa krama ( bahasa halus ).
Sebenarnya saya juga tidak bisa menghindar dari perasaan seperti ini. Seringkali apa yang saya ingin bertolak belakang dengan tindakan saya. Saya lebih mementingkan orang lain karena hanya perasaan ‘tidak enak’ jika menolaknya. Namun di belakangnya saya sering ngedumel sendiri kenapa saya melakukan itu.
Mungkin benar seperti kata orang yang mengatakan bahwa keris orang jawa terletak di belakang. Artinya, meski di depan terlihat manis dan baik, kita tak tahu apa yang ada didalam hatinya.
Sewaktu kakak saya hamil, saya ikut ribet sendiri mendengar pantangan-pantangan yang sering orangtua bicarakan. Salah satunya si ibu tidak boleh menjahit atau mengikat apa pun. Sedangkan untuk si calon ayah, tidak boleh membunuh atau melukai hewan apa pun. Mereka percaya, apa yang mereka lakukan akan berdampak pada anaknya.
‘Bu, sayapnya mana? Aku mau.’
‘Nggak usah makan sayap. Makan daging saja. Biar ibu yang makan. Pamali.’
Tidak hanya sayap, namun saya juga dilarang untuk makan brutu (pantat) ayam. Kalau dipikir logika sebenarnya tidak ada hubungannya. Tapi mungkin, orangtua tidak mau anaknya makan yang bagian-bagian yang tidak banyak daging. Saya pun menurut.
Sewaktu mbak saya hamil, disarankan oleh orangtua untuk melakukan syukuran sewaktu usia kandungannya 4 bulan. Karena saat 4 bulan, ruh calon bayi baru ditiupkan ke jazadnya. Lalu untuk tujuh bulanan itu adat biasa.