Pertama menjejak kaki di kawasan Pal Tuding, Gunung Ijen pukul 02.00 WIB, saya cukup kaget dengan hawa dingin yang sangat menusuk. Saya segera memakai penghangat kepala, masker, sarung tangan tebal dan merapatkan tudung jaket REI hasil pinjaman ini.
Tentu semua gunung dingin, hanya saja saya kaget karena sebelumnya meremehkan tinggi Gunung Ijen yang tak seberapa sehingga berpikir hawa dingin yang ‘normal’.
Ternyata meremehkan gunung benar-benar hal buruk.
Saya merasa menjadi turis asing di negeri sendiri. Meski masih banyak orang Indonesia asli, namun jumlah turis asing yang tak kalah banyak membuat saya sempat berpikir ini bukan Indonesia.
Banyak bahasa berlalu-lalang di telinga. Tak hanya bahasa Inggris, bahkan bahasa yang benar-benar asing dan baru kudengar pun ada. Seorang pria tinggi besar mengenakan jaket merah -saya langsung terbayang sosok Yao Ming, pemain NBA asal Tiongkok saat melihatnya, menggunakan bahasa tersebut dengan seorang wanita berambut putih cepak.
Lagi-lagi karena faktor meremehkan tinggi Gunung Ijen yang tak seberapa, saya tak melakukan pemanasan dan persiapan sebagaimana mestinya. Perut saya sangat mulas dan terasa melilit saat pendakian.
Beberapa kali saya terduduk di pinggir jalur -hal yang sebenarnya sangat tak disarankan saat mendaki karena justru dapat menambah beban pada tubuh.
Seorang wanita mengenakan topi merah dengan jaket terikat di pinggang duduk di sebelah saya dan bertanya ‘ kau baik-baik saja?’ menggunakan bahasa Inggris.
Saya bilang saya baik-baik saja. Saya hanya butuh duduk sejenak agar kondisi perut membaik.
Tak disangka dia menawarkan bantuan untuk menemani mendaki karena dia melihat saya mendaki sendirian dan kebetulan dia pun ditinggal rombongannya.
Kami tak sempat berkenalan, namun kami mengobrol banyak hal di tengah jalur pendakian berbau belerang dan kondisi gelap karena dia tak membawa senter. Hanya ada sebuah senter kecil yang saya pegang.
Dia mahasiswi Singapura yang sedang berlibur di Indonesia.
Sebelum ke Bali, dia menyempatkan diri melihat penampakan ‘api biru’ yang legendaris bersama teman-temannya. Namun, karena terlalu lama di toilet, rombongannya meninggalkannya.
Obrolan-obrolan ringan dengan bahasa Inggris saya yang pas-pasan cukup mampu menghilangkan nyeri perut.
Ditengah perjalanan dia bercerita, alasannya menghampiri saya karena mengira saya kakaknya yang juga ikut bersama rombongan yang meninggalkannya.
Setelah beberapa saat dia sadar salah orang, dan karena malu mengakui, akhirnya dia sekalian menawarkan untuk jalan bersama.
Saya hanya tertawa mendengarnya.
Di tikungan terakhir sebelum medan datar, dia bertemu rombongannya kembali.
Dia menawarkan untuk berjalan bersama, saya menolak karena tak enak jika nanti menghambat rombongannya karena perut yang masih terasa nyeri.
Pertemuan singkat yang cukup berkesan.
Saya sendiri tak begitu yakin dia jurnalis atau bukan. Hanya saja, wanita tersebut terus bertanya pada seorang penambang dengan gaya ala wartawan dan terus memegang alat perekam, membuat saya berkesimpulan bahwa dia adalah wartawan.
Jalur pendakian Gunung Ijen, meski tak terlalu tinggi, namun cukup terjal.
Si wanita beberapa kali harus berhenti, penambang yang sedari tadi ditanya di wanita berbaik hati mau menunggu si jurnalis wanita, bahkan memberinya minum dan terus menyemangatinya untuk sampai atas.
Hal cukup aneh yang pernah saya dapati saat pendakian. Sekumpulan anak laki-laki SMP mendaki menggunakan helm, celana sekolah dan rokok di tangan.
Memang jalur pendakian cukup pendek dan mungkin mereka anak-anak lokal yang terbiasa mendaki Gunung Ijen. Namun tetap saja mendaki menggunakan helm bagi saya adalah hal yang benar-benar ‘baru’.
Saya memilih tak turun ke kawah karena ingin memandang api biru dari sudut pandang berbeda.
Pilihan yang tepat. Kawan saya yang turun ke kawah untuk melihat api biru dari dekat justru menyesal karena tak sesuai ekspektasinya.
Dari atas, panorama ini mengingatkan pada pertunjukan sendratari ramayana Candi Prambanan. Tiga titik api biru berkobar, menyala memancarkan semburat warna biru yang luar biasa indah. Uap panas dari kawah membumbung tinggi ke langit bagai jembatan menuju dunia para dewa diatas sana.
Sorot cahaya senter para turis disekitar api biru yang menembus tipis uap panas menambah semarak pertunjukan Sang Pencipta malam itu.
Bagi saya ini bonus luar biasa.
Yang saya tahu sebelumnya dari Kawah Ijen sebelumnya adalah api birunya yang melegenda. Ternyata, lautan bintang di atas Gunung Ijen pun tak kalah luar biasa.
Langit benar-benar cerah, milyaran bintang menjadi pelengkap sempurna. hawa dingin sekilas terlupa karena saking indahnya lautan bintang diatas sana.
Menjelang pagi, suasana semakin ramai. Banyak penambang yang berjualan suvenir hiasan yang dibuat dari belerang.
Saya sempat mengobrol dengan beberapa dari mereka. Banyak ilmu baru yang saya dapat, salah satunya, rajin mengkonsumsi belerang untuk menjaga kesehatan tubuh.
Cara menyantapnya adalah menggunakan buah pisang, kunyah perlahan, setelah itu gigit sedikit potongan belerang. Memakannya dengan buah pisang akan menyamarkan rasa belerang yang sedikit pahit.
Saat pendakian, bagian menuruni gunung adalah favorit saya karena saya tak akan kehabisan nafas seperti saat naik.
Lutut pegal itu pasti, namun itu lebih baik daripada perut nyeri dan dada sesak karena kehabisan nafas.
Saya sempat kaget menghindar saat mendengar derap lari dibelakang saya. Ternyata seorang wanita berambut cokelat dan berkulit putih, mengenakan kaos hitam bertuliskan huruf mandarin turun dengan cara berlari kecil seperti orang joging. Sebuah handuk putih tersampir di leher. Dia tak membawa tas atau apapun.
Saya hanya tersenyum kecil melihat aksinya. Terkadang tingkah para pendaki lain bisa menjadi hiburan tersendiri.