Menjadi Peluru Manusia dan Superman di Pulau Dewata

Bali tak hanya pantai, wisata uji adrenalinnya pun layak kamu coba.

SHARE :

Ditulis Oleh: Johan Vembrianto

Foto dari DawnAroundThe World

Beberapa hari setelah lebaran tahun lalu, Gogon -nama aslinya Fariz, karena rambutnya yang gondrong dia dipanggil Gogon, tertawa mengejek saat mendengar saya berencana pergi ke Bali karena masih memiliki jatah liburan lebaran dari kantor.

Kaya anak SMA aja, mau study tour?’

Bali, kini mulai dianggap mainstream. Setidaknya di tiap rumah, ada satu anggotanya, yang minimal pernah berkunjung ke Bali sekali seumur hidup dan itu biasanya saat SMA atau SMP, untuk keperluan study tour. Itu teori Gogon.

Perjalanan bukan tentang mainstream atau tidak, selama saya suka dan menikmatinya, beratus kali saya datangipun tak masalah.

Dan ngapain juga berjemur di pantai, pamer perut chubby?’ Makin keras si Gogon tertawa.

Bali nggak cuma pantai bro‘ saya menanggapi tawa Gogon sembari sibuk memindahkan pasta gigi yang baru saya beli ke botol obat tetes mata yang saya modifikasi agar hemat tempat di ransel. Satu jam lagi saya sudah harus tiba di bandara dan harus segera bergegas karena saya bukan pejabat negeri ini yang jika terlambat pesawatlah yang akan menunggu kedatangannya.

Pantai memang bukan tujuan utama saya kali ini. Saya berencana mencoba tempat-tempat yang belum pernah saya datangi selama ini di Bali, wisata adventure!

Sensasi menjadi peluru manusia di wahana slingshot Tuban

Di dalam bola kerangkeng besi  seperti bola pokemon  dengan tali karet yang terikat ke dua menara penopang setinggi gedung 10 lantai ini ada dua ekspresi yang sangat kontras. Vita, wanita berambut lurus panjang sepinggang teman kuliah yang kali ini bertugas sebagai tour guide saya -dia asli Bali, senyum-senyum menunggu kerangkeng besi ini diluncurkan ke langit. Saya luar biasa tegang. Keingat dingin menetes dari tangan. Bahkan saya sendiri tak bisa membayangkan betapa anehnya ekspresi saya saat ini. Vita melirik saya dan tertawa.

Santai, ini asyik kok! Dulu aku pernah coba dan ketagihan,’ Dia coba menenangkan saya.

Ego angkuh seorang pria tiba-tiba muncul. Tentu aneh jika dia yang wanita saja sangat santai sementara saya begitu tegang seperti mahasiswa yang ketahuan titip absen oleh dosennya.

Haha aku santai kok! Mukaku memang kaya gini dari dulu.

Vita tertawa mendengar jawaban saya.

Siap ya, 1…2..,‘ Si penjaga bertopi safari tiba-tiba meneriakan aba-aba bola kerangkeng ini siap diluncurkan ke langit.

Aaaaaaaaaaaaa!’

Saya segera menggenggam erat pegangan pengaman di bagian depan. Badan saya seperti disentak keras ke belakang. Bola kerangkeng berputar balik saat mencapai titik tertingginya. Kami berdua seperti peluru yang diluncurkan menggunakan ketapel raksasa ke langit. Saya mual, bahkan tak bisa lagi berteriak, membuka matapun tak berani. Disamping saya, Vita tertawa keras dengan puas, dia nampak sangat menikmati.

‘Woi buka matanya dong, pemandangannya bagus banget dari atas!’ Vita berteriak-teriak sambil tertawa sehingga rambut panjangnya sesekali masuk ke mulutnya. Saya tertawa melihatnya. Polah tingkah Vita yang konyol membuat saya lebih rileks. Setidaknya 4-5 kali kami membal naik turun di dalam bola kerangkeng ini. Saya mulai menikmatinya dan bisa ikut tertawa lepas.

Bagaimana, ketagihan kan, cuma di Bali bisa seperti ini, ayo coba lagi!‘ Vita menepuk bahu saya.

Saya benar-benar ketagihan. Kami berdua mencoba kembali hingga tiga kali karena wahana sedang sepi.

Menjelajah alam ala Afrika di kegelapan malam di Bali Safari & Marina Park Gianyar

Trem berterali besi ini mulai berjalan pelan. Hawa cukup dingin, saya yang menggunakan jaket dobel kaus menggigil. Di tengah perjalanan petugas membagikan kantong makanan.

Silakan, anda bisa mencoba memberi makan para binatang,’ kata seorang petugas muda bertubuh kurus dengan rambut cepak.

Saya mengintip keluar.

Tiba-tiba ada seekor harimau melompat ke arah trem. Dia tenang,tak mengaum. Saya dan seorang bapak tua di sebelah saya berteriak kecil. Kami kaget bukan kepalang, karena posisi kepala harimau tepat dia diatas kepala kami berdua.

Seorang ibu yang menggendong seorang anak kecil bertopi rajut memberinya sekerat daging dari celah terali besi. Si harimau menggunakan lidahnya untuk menjangkau daging merah itu. Dia mengunyah pelan.

Beberapa penumpang lain mengikuti si ibu. Harimau bertubuh dua kali besar pria dewasa ini nampak sangat tenang dan tak takut pada manusia.

Menjelang akhir perjalanan, ada sebuah pertunjukan musik bertema Afrika. Irama perkusi rancak terdengar. Gerakan penari kompak terlihat, atraksi api mereka membuat saya takjub tak sempat berkedip.

Tak salah Bali jadi destinasi utama wisata Indonesia,’ gumam saya.

Pertama mendengar tentang “night safari” dari Vita, yang tergambar di benak saya adalah penelusuran hutan di malam hari, dengan kaki yang bentol-bentol karena digigiti serangga, serta sebuah kamera infra merah dari panitia untuk dapat melihat kegelapan malam.

Ternyata saya salah besar! Night safari mengusung konsep yang jauh lebih modern dari ekspektasi saya sebelumnya. Tanpa kehilangan unsur petualangannya, night safari adalah wisata petualangan yang tak meninggalkan unsur kenyamanan pengunjungnya.

Menjadi Superman di Ceningan Jumping Cliff

Ceningan, tempat ini tak asing bagi para adrenaline addict di Bali. Lokasinya 30 menit menyeberang dari Pantai Sanur menggunakan kapal cepat. Saya datang pukul 09.00 WITA, setengah jam sebelum keberangkatan kapal cepat.

Matahari terik menyengat,  debur ombak terdengar jelas. Area cliff jumping masih sekitar 100 meter dari area parkir, namun samudera luas terbentang jelas di depan mata.

Meski tak sempat riset sebelumnya, ternyata saya datang di saat yang tepat. Menurut penjaga, waktu terbaik untuk cliff jumping memang pada bulan Agustus – September, saat ombak lebih tenang dan cuaca lebih cerah.

Saya berdiri di tepi tebing setinggi gedung 4 lantai dari permukaan laut, jantung saya berdebar keras. Warna biru jernih lautan di bawah sana benar-benar menggoda. Penjaga memberi kesempatan untuk 2 kali lompatan.

Setelah mendapat aba-aba dari petugas saya berlari dan meloncat sembari berteriak keras. Semuanya sangat cepat, hanya beberapa kedip dan tiba-tiba saya merasa pantat saya sangat perih. Bunyi “pyaaaak!” keras terdengar. Ternyata saya melakukan pendaratan tidak sesuai prosedur dengan pantat terlebih dulu menyentuh air.

Dengan alasan keselamatan dan sempat mendapat teguran petugas karena saya tak bilang bahwa saya belum pernah mencobanya, saya hanya diizinkan melompat dari ketinggian 9 meter, tingkat paling bawah. Saya hanya nyengir kuda melihat ekspresi marah petugas sembari turun ke tingkat bawah.

Loncatan kedua saya sukses. Ternyata jika prosedurnya benar, dengan membuat badan seperti paku, tak ada bagian tubuh yang terasa sakit.

Cliff jumping yang benar-benar luar biasa, saya akan menunjukan foto loncatan saya pada Gogon untuk membuatnya iri.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU