Saya akan traveling ketika ingin, bukan untuk mengikuti tren
Melakukan sesuatu karena hasrat yang tumbuh dalam diri adalah hal paling menyenangkan. Begitu pula dengan traveling.
Saat si A bercerita tentang matahari terbit di Bromo sangat indah, bawah laut Pulau Alor disebut sebagai “surga yang nyata”, atau gradasi laut di Raja Ampat yang menggetarkan hati, Anda yang awalnya sama sekali tak tertarik dengan alam luar -sebuah dunia yang begitu berbeda dengan dunia awalmu- tetiba ingin mengikuti langkah orang lain hanya karena agar Anda bisa berfoto di tempat tadi, sekadar agar foto-fotomu eksis di sosial media dan mendapat banyak pujian, agar Anda disebut sebagai orang tak ketinggalan zaman, apa yang akan terjadi? Bisakah Anda merasakan kenikmatan yang sama dengan mereka yang memang pergi dengan keinginan sendiri?
Untuk apa mengurusi langkah orang lain? Melangkah kemanapun adalah hak setiap orang!
Mungkin Anda akan berargumen seperti itu. Tentu traveling adalah hak setiap orang, namun jika Anda traveling hanya mengikuti tren, masuk ke “dunia” yang pada awalnya bukan “dunia” Ada, bisakah Anda mencintai “dunia” itu sepenuh hati?
Sebenarnya apa tujuan Anda traveling? Baca tulisan ini
Banyak kasus gunung dan destinasi wisata yang mulai rusak oleh aksi para vandalis ataupun sampah yang menumpuk. Mengapa demikian? Karena mulai banyak orang yang berkunjung hanya untuk mengikuti tren dan tak sungguh-sungguh mencintai destinasi dan alam yang mereka kunjungi. Mereka hanya “penasaran”.
Bukankah jika seseorang benar-benar mencintai sesuatu mereka akan menjaganya dengan sungguh-sungguh?
Makin kreatif anak zaman sekarang. Namun apalah makna pendakianmu hingga ribuan MDPL jika Anda masih menjadi orang yang tidak tahu aturan dan tidak memperlakukan dirimu dengan baik?
Ini tentang menjelajah tempat liar bukan menjelajah halaman belakang rumah. Sudahkah menyiapkan sepatumu untuk menginjak terjalnya jalan setapak dengan kemiringan hingga 45 derajat? Bagaimana dengan pakaianmu apakah sudah safety dan menjagamu dengan baik? Tidak melulu soal kamera yang menjadi inti dari perjalananmu bukan? Tali temali dan peralatan kompas lebih berharga dari hasil cetakan fotomu. Tidak mau pendakianmu sia-sia dan menyebabkan Anda cedera bukan? Perlakukanlah dirimu dengan baik terlebih dahulu, setelah itu Anda akan tahu bagaimana cara memperlakukan alam dengan bijak.
Keprihatinan datang dari para pecinta alam yang merasa bahwa alam mereka telah di rusak oleh anak-anak yang hanya sekedar datang untuk memperkosa tempat-tempat bagus, meninggalkan sampah tercecer, merusak beberapa fasilitas dengan meninggalkan beberapa tulisan.
Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan membagikan tempat bagus agar mereka para pengikut tren tak datang ke destinasi-destinasi wisata?
Berhenti mengeluarkan ajakan provokatif “Ayo Bertualang!”, atau mereka yang tak sungguh-sungguh mencintai alam akan terus berdatangan. Baca tulisan menginspirasi dari Eva Bachtiar ini.
Masalahnya bukan kita mau share atau tidak tempat tersebut. Bagikanlah tempat-tempat indah yang Anda kunjungi, tapi tak perlu mengeluarkan ajakan provokatif.
Belajarlah dari Malaysia. Malaysia melakukan promosi besar-besaran untuk memperkenalkan tempat wisata yang dimiliki. Destinasi wisata mereka tak sevariatif Indonesia, tapi mengapa jumlah kunjungan wisatawan mereka bisa mencapai hingga 25 juta orang, 3 kali lipat negara kita? Dan yang paling mengagumkan, dengan jumlah pengunjung sebanyak itu, apakah destinasi mereka rusak? Justru tempat wisata tersebut sangat terpelihara dan makin berkembang ke berbagai penjuru dunia. Slogan pariwisata mereka Malaysia “Truly Asia” benar-benar menggema ke seluruh dunia.
Berhenti berbagi tempat bagus bukan cara baik menyelesaikan permasalahan ini. Bukan dengan cara menghentikan promosi wisata yang ada di Indonesia, namun dengan menyadarkan diri sendiri terlebih dahulu untuk bisa menjaga ‘rumah’-nya sendiri. Rumah kita bersama lebih tepatnya.