‘Semarang kaline banjir, jo semelang ojo dipikir, e yak e, yak e, jangkring genggong…’
Itu sepenggal lirik yang dinyanyikan Waljinah di lagu Jangkrikg Genggong. Lagu ini sudah saya dengar sejak saya SD. Sejak itu saya membayangkan, Semarang itu kota yang seperti apa ya? Apakah benar sering banjir?
Keingintahuan saya terhadap Kota Semarang akhirnya terjawab. Pekan lalu, seorang teman yang berdomisili di Semarang mengajak saya menikmati kota di tepi pantai utara Jawa ini. Ah, saya begitu bersemangat.
saat itu saya tak punya waktu banyak, sehingga saya menyusun jadwal agar bisa keliling Semarang dalam 6 jam. Waktu yang realtif singkat, namun nyatnaya saya berhasil melakukannya, dan menikmati perjalanan ini.
***
Pukul 10.00 WIB. Saya sampai di Semarang, matahari sudah mulai tinggi. Teman baik saya sudah menunggu di depan pemberhentian travel.
Dia langsung berujar, ‘Gimana kabar? Pertama kita ke Lawang Sewu ya yang deket.’
Siap! Aku bersemangat banget nih.’
Kami langsung menuju Lawang Sewu. Beberapa saat di Semarang, saya langsung menyadari suhu udara kota ini lebih panas dibandingkan tempat tinggal saya di Jogja.
Saya menyeletuk,’Oi, kalian keren ya? Bisa bertahan hidup dengan suhu udara sepanas ini’.
Teman saya hanya tersenyum lebar.
Kami sampai kompleks Lawang Sewu. Tiket masuk ke area ini, sepuluh ribu rupiah saja, dan bisa berfoto sampai puas. Lawang Sewu ini merupakan Jawatan Kereta Api swasta sejak masa pendudukan Belanda dan masih menjadi kantor KAI hingga detik ini.
Saya penasaran dan mencoba mengulik berbagai hal tentang Lawang Sewu pada teman saya.
‘Katanya ada yang angker ya? Kok bisa? Sebelah mana?’
Lagi-lagi teman saya tersenyum dan bilang, ‘Ada, di bawah tanah, dulu katanya bekas penjara. Teman adikku yang indigo bahkan lihat aliran darah di ruangan itu. Tapi kita nggak kesitu, aku juga belum tahu persisnya dimana di kompleks ini.’
Kabarnya, setelah sempat tidak lagi difungsikan sebagai jawatan kereta api, Lawang Sewu digunakan penjajah Jepang untuk memenjarakan tawanannya.
Kurang lebih satu jam kami mengitari area Lawang Sewu, kesan pertama saya pada tempat ini, ini tempat yang indah dan beruntung pemerintah masih merawat tempat ini, semoga bangunan ini akan terus bertahan hingga waktu yang lama.
Lawang Sewu ini menarik karena bentuk bangunan yang tinggi memungkinkan sirkulasi udara keluar masuk dengan bebas. Saya yakin sejak dulu, bangunan ini selalu memberikan kesejukan untuk siapa saja yang ada di dalamnya. Selain itu, hampir semua bagian dari Lawang Sewu tidak ada yang menghadap ke arah matahari, sehingga panas dari matahari tidak langsung mengenai bangunan.
Pukul 11.30 WIB. Kami menuju ke Gereja Blenduk di kawasan Kota Lama. Saat itu matahari sedang terik-teriknya. Tak apa yang penting saya bisa melihat langsung seperti apa Gereja Blenduk itu. Bentuk blenduk di bagian atas gereja ini mengingatkan saya pada arsitektur gaya Baroque di Eropa, mungkin ini terkait. Terbatasnya waktu yang mendorong saya hanya bisa mengumpulkan info, Gereja Blenduk merupakan gereja Kristen dan tidak dibuka untuk umum. Ada jadwal tertentu dimana kebaktian dilangsungkan.
Setelah itu, kami menikmati lunpia Lina di sekitar Kota Lama. Yuhu, lunpia ini rasanya renyah, manis dan gurih.
Teman saya, ‘Kamu doyan?’
‘Enak kok, cuma isinya terlalu manis menurutku.’
Lunpia ini kami nikmati di warung lunpia Lina yang dikelilingi pohon rindang. Aih, ini menjadi oase untuk kami yang kepanasan.
Pukul 13.00 WIB. Kami langsung menuju Masjid Agung Semarang untuk sholat. Saya asal menyebut destinasi ini, tapi ternyata saya tidak salah memilih. Perjalanan yang jauh dan panas tidak membuat kami berhenti. Usaha kami berpanas ria terbayar, karena arsitektur masjid Agung Semarang yang menarik dan areanya luas, jadi kami bisa beristirahat sebentar.
Di kompleks masjid ini ada area basement untuk parkir, basement dalam untuk toilet-tempat wudu-penitipan sepatu dan beberapa ruang lain. Lalu ada semacam selasar ketika kita menaiki tangga dari basement.
Pukul 14.30 WIB. Kami melanjutkan perjalanan ke Sam Poo Kong. Saya sudah berharap bisa memotret dewa dewi yang ada di kelenteng tersebut. Saya sendiri senang melihat arsitektur kelenteng yang didominasi warna merah dan kuning.
Kami membeli tiket seharga 3 ribu Rupiah. Namun sayangnya bagian yang banyak patung dewa dewinya ditutup untuk umum. Saya mengerti karena area tersebut untuk bersembahyang. Ya setidaknya saya tidak terlalu kecewa karena masih bisa memotret bagian lain dari kelenteng ini.
Pukul 16.00 WIB. Kami kembali ke tempat pemberangkatan agen perjalanan yang akan membawa saya kembali ke Jogja.
Meskipun panas, Semarang cukup menarik untuk saya. Banyak destinasi wisata yang ternyata mengagumkan; Lawang Sewu, Gereja Blenduk, Masjid Agung dan Sam Poo Kong hanya beberapa diantaranya.
Ayo berkunjung ke Semarang!