Tips Menikmati Makanan ala Backpacker

Jangan pernah menyepelekan makan saat perjalanan. Makanan bermasalah akan berpengaruh pada perjalanan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Retno Dina Setyarini

Harus diakui, selera saya akan makanan tidak terlalu bagus.

Sepertinya semua makanan itu enak-enak saja di lidah.

Sampai seorang teman berkomentar, “Apa, sih, yang nggak kamu makan? Batu?” Saya cuma bisa tertawa. Kalau saya ini balita, nampaknya Ibu saya akan sangat sayang karena saya tidak susah makan dan grafik di Kartu Menuju Sehat-nya naik drastis.

Tabiat saya itu justru banyak menyelamatkan hidup, meski ini bukan macam skill bertahan hidup di alam bebas.

Saya hanya akan berbagi sedikit cerita bagaimana perkara mengisi perut bisa jadi penyelamat dalam sebuah perjalanan.

Saya bukan seorang maniak traveler, tapi pengalaman di jalan baik kala sendiri atau bersama kawan, cukuplah memberi gambaran bagaimana mengakali soal makan-memakan agar bisa menyelamatkan dan menghindarkan diri dari mood yang rusak dan perjalanan yang canggung.

Perut lapar bisa jadi perkara serius.

Pahami Tujuan Makan

Ada beberapa orang kawan yang merupakan langganan teman perjalanan saya, dan kami menyebut diri sebagai PSSI (Pemuda Seneng Soro Indonesia, dari bahasa Jawa yang kalau diartikan, Pemuda Gemar Repot Indonesia).

Saat bepergian bersama mereka, kriteria makanan yang dipilih cenderung yang berporsi besar, dan murah kalau bisa, apapun itu jenis makanannya. Karena saking aktifnya kami, maka bisa mendapat asupan energi bagai kuda menjadi poin utama.

Jargon kami adalah: ‘sikat duluan, komentar belakangan.’

Tapi karena inti kami makan adalah energy recovery, enak tidaknya menu yang disantap bukan perkara utama.

Maka pahami kenapa harus makan. Iseng kah? Coba makanan baru kah? Atau macam saya dan kawan-kawan, biar pulih tenaga kah?

Toleransi

Saat jalan dengan lebih dari dua orang dalam rombongan, sangat tidak mungkin untuk bisa menuruti selera masing-masing kepala. Yang paling aman adalah cari menu yang sekiranya merupakan selera masal.

Masih di rombongan PSSI, kawan saya yang bernama Wulan punya masalah dengan gerahamnya yang berlubang akut. Tentu agak merepotkan karena sakitnya yang bisa muncul tiba-tiba dan kesulitannya untuk mengunyah sesuatu yang berpotensi selip di gigi.

Maka yang saya dan kawan lain lakukan untuk ini adalah berkompromi dengannya. Atau yang paling gampang, Wulan yang akan memilih menu.

Namun dia pun tidak serta merta jadi bossy dengan tidak tahu diri selalu memilih makanan yang lembek. Dia cukup toleran dengan pesan makanan berkuah untuk dirinya sendiri di setiap waktu isi perut tiba.

Bawa Senjata Andalan

Karena sebelumnya toleransi menjadi penting, maka agar bisa ikhlas dan senang melakukannya, ini yang saya pegang : ‘punya senjata andalan!’

Saya terbiasa makan makanan pedas. Sesi makan tanpa sambal artinya kantuk akan datang lebih cepat.

Sayangnya, tidak semua tempat makan punya menu yang pedasnya sesuai selera saya. Atau yang mengenaskan, di rombongan saya jalan, rupanya cuma saya yang pecinta cabai akut.

Maka demi menyelamatkan hari, kemanapun saya jalan akan selalu ada cabai bubuk dan sambal terasi sachet di dalam tas. Dengan begitu saya bisa setiap saat menikmati makanan pedas dengan santai.

Pantang Takut Mencoba

Jika sudah sering melakukan perjalanan, maka dengan sendirinya lidah dan perut punya setelan manusia petualang.

Meskipun ada saja masa dimana, ‘mending makan mi goreng aja deh, aman’, lewat di benak, berani mencoba adalah hal lain yang menjadi penyelamat di perjalanan kala pilihan yang ada hanya makan walau terasa ‘beda’ dan tidak makan dengan resiko lemas karena lapar.

Toh, kesempatan tidak selalu datang berulang.

Ketika saya di Banyuwangi dulu pilihan saat itu adalah menghabiskan Rujak Soto, atau saya akan lapar selama beberapa jam ke depan di perjalanan dari Kalibendo ke Banyuwangi Selatan.

Tampilan rujak soto memang tidak biasa, karena sayur mayur isian rujak dengan bumbu kacang yang kental gurih pedas akan disiram dengan kuah soto ayam berkaldu yang mengepul dan segala isiannya.

Cukup mencurigakan. Namun mau bagaimana lagi, saya putuskan untuk menandaskan semangkuk rujak soto yang merupakan rujak soto pertama yang pernah masuk ke perut.

Rasanya? Boleh juga.

Dan beruntunglah saya memakannya, karena selepas Kalibendo baru sekitar 5 jam kemudian saya kembali bertemu nasi.

Menjadi netral

Karena bahkan ayam tepung di gerai makanan waralaba saja tidak mutlak sama rasanya dari satu gerai ke gerai lain, maka ketika ada di suatu keadaan dimana saya tidak punya pilihan lain selain langusung menelannya walau terasa ‘beda’.

Saya memposisikan lidah untuk menjadi netral dan tidak membandingkan satu rasa makanan dengan rasa makanan lain.

Setiap kali makan merupakan momen pengalaman baru untuk lidah, meskipun saya sudah tau akan seperti apa rasa makanan tersebut.

Dengan begitu, otak saya tidak puya kesempatan untuk berkata bahwa, ‘saya pernah mencoba semanggi sebelumnya’, katakanlah, sehingga keluarlah referensi rasa semanggi yang yang berbumbu sambal ubi.

Pengalaman dengan rujak soto sebelumnya pun adalah momen kala saya juga harus menerapkan ini. Memori saya terlanjur sudah merekam bagaimana rasa soto dan bagaimana rasa rujak. Keduanya tidak bersisian.

Tapi menghadapi rujak soto, yang ketika saya lihat penampakkannya untuk kali pertama pun saya berkomentar ‘absurd’, saya bicara ke diri sendiri, ‘ini bukan rujak. Ini bukan soto. Ini makanan baru yang rasanya pun baru. Ini rasa baru.’

Sekarang saya punya memori baru di suatu tempat di otak saya, yang kalimatnya berbunyi: ‘rujak soto itu unik!’

Makan ala lokal

Pikiran yang netral di kepala tentang makanan akhirnya selalu membawa saya berhasil untuk bersantap ala warga lokal. Dengan begitu pengalaman lidah pun bertambah karena saya tidak memilih makan makanan umum yang bahkan mudah ditemukan di tempat saya berasal.

Rugi jika tidak makan dengan sambal tempoyak ketika sedang berada di Palembang, apalagi jika keukeuh memilih ayam tepung McD disbanding ayam tangkap ketika sedang berada di Aceh, misalnya.

Di samping itu, dengan menerima untuk makan apa yang menjadi khas suatu tempat, secara tidak langsung ada kontribusi yang diberikan kepada warga lokal yang menyediakan makanan tersebut.

***

Sekali lagi, rewel perkara makan itu benar-benar tidak asyik.

Percayalah, kita tidak akan sampai manapun kalau masih ribut soal doyan tidaknya sambel tempoyak dan seduhan daun kopi.

Jadi, ayo habiskan apa saja yang tersaji di piring, dan bersenang-senang.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU