Tidak Perlu Menjadi Kaya untuk Traveling

Traveling selalu dikaitkan dengan 'banyak uang'. Di Indonesia, traveling kadang dianggap hanya milik sebagian kalangan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto leh Faiz Jazuli

Andika Rahmawati -akrab disapa Akid, seorang penulis, baru-baru ini menulis cerita tentang kehidupannya tentang dirinya yang memilih keluar dari kantornya agar tak terikat jam kerja dan bebas traveling kapanpun dia mau.

Latar belakang keahliannya adalah IT dan digital marketing. Dia memilih bekerja sebagai pekerja lepas.

Sebuah hal yang tak biasa di Indonesia. Keputusannya bisa dibilang sangat berani. Berani keluar dari jaminan ‘hidup aman’ dari sokongan gaji bulanan.

Pada dasarnya, tanpa keluar dari pekerjaan pun semua orang dapat tetap traveling -dengan diburu waktu.

Akid menjelaskan dalam salah satu bagian tulisannya, ‘Untuk pertama kalinya, saya benar-benar merasa menikmati perjalanan. Tidak sekadar berkunjung ke tempat-tempat wisata saja, tetapi menikmati banyak hal yang terlewatkan pada perjalanan-perjalanan sebelumnya karena saya harus berjalan cepat-cepat.’

Perbedaan itulah yang dia dapat saat traveling dimana dia masih menjadi seorang pekerja kantor, dan setelah keluar dari pekerjaannya.

Semua punya hak untuk traveling

Seorang kawan berkomentar, ‘semua itu hanya bisa dilakukan jika kita punya tabungan atau investasi selama tidak bekerja. Bukan untuk yang baru meretas karir.’

Dia mungkin benar, mungkin juga salah.

Kuncinya adalah ‘berani memilih’ atau ‘tak pernah memilih’.

Hidup adalah tentang bagaimana kita memilih cara untuk menjalaninya.

Akid telah berani memilih. Namun hampir sebagian besar orang -termasuk saya mungkin, tak pernah berani memilih dan terus menjalani semuanya mengikuti arus.

Bukan persoalan tentang investasi, tabungan, ataupun lamanya karir. Semua orang, siapapun itu, bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang Akid lakukan.

Tentu beda cerita jika yang dimaksud ‘traveling‘ adalah tentang menginap di resort mewah, berpindah dari satu tempat ke tempat lain menggunakan pesawat kapanpun kita mau atau fasilitas spa dan sauna di penginapan.

Jika konsep ‘traveling’ harus seperti itu, hanya segelintir orang beruntung yang bisa ‘traveling’.

Dina dan Ryan, pemilik brand Duaransel.com , benar-benar menginspirasi saya tentang konsep ‘traveling‘.

Mereka tak memiliki rumah, atau nomaden sejak 2009 lalu. Selalu berpindah tempat, dari 1 negara ke negara lain.

Dalam salah satu tulisan mereka berjudul ” 10 Tips Mendanai Traveling Jangka Panjang ” ada sebuah pertanyaan menggelitik yang sangat khas ditanyakan pada orang yang traveling keliling dunia :

‘Apakah kalian orang kaya?’

Dina menjawab, ‘Tidak, kami bukan orang kaya. Bahkan kami sempat bokek ketika masih kuliah, dan harus mengambil pinjaman mahasiswa. Seperti banyak anak muda yang lain, kami juga mulai dari nol! Bekerja, dan menabung. Dan satu lagi, kami memang memprioritaskan cara hidup nomadik kami.’

Begitupun pada artikel Duaransel berjudul “Apakah Arti Backpacking Jangka Panjang Mancanegara Ala RTW?” Dina membuat paragraf pembuka dengan, ‘Apakah mereka kaya? Tidak harus! Namun berkelana jangka panjang ini memang butuh persiapan yang matang. Persiapan, pengorbanan, dan kemauan. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, bagaimana cara membiayai perjalanan jangka panjang?

Tidak semua orang siap untuk berkorban. Mereka, Dina & Ryan memilih untuk melakukannya.

Semua kembali pada satu hal, berani memilih atau tidak.

Silakan kunjungi Duaransel.com untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka berdua.

Berani memilih

Akid, pada akhir artikelnya menulis, ‘apapun pilihan Anda, pastikan Anda sudah melalui proses panjang berpikir dan mempertimbangkan. Karena setiap pilihan, datang bersamaan dengan segala resikonya.’

Akid tak pernah menyuruh orang lain melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan.

Akid hanya menawarkan cara hidup baru, cara yang agak berbeda dari orang kebanyakan.

Dalam forum-forum backpacker, saya menemukan banyak orang dengan berbagai latar belakang. Ada yang memiliki kecukupan materi, adapula yang pas-pasan. Bahkan ada yang masih berstatus mahasiswa.

Mereka saling berbagi bagaimana mendapat tiket murah, penginapan fasilitas bintang lima harga kaki lima, itenerary terbaik agar bujet tak membengkak dan bahkan cara berhemat.

Tak semua traveler orang kaya, namun berdasar pengalaman saya, traveler-traveler yang saya ketahui sepak terjangnya adalah mereka seorang yang pandai mengelola keuangan.

Mereka melakukan manajemen prioritas. Mereka tahu cara membuat sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan mereka.

Baca lebih jauh tentang tips berhemat di sini.

Tidak ada yang tidak mungkin

Kawan tersebut menutup komentarnya dengan kalimat,’happy traveling, saya masih ada istri dan juga rumah yang harus dibeli.’

Saya tercenung. Saya ingin membalas, sayapun ada adik-adik yang harus saya biayai pendikan dan kehidupannya.

Namun saya teringat sesuatu. Manajemen prioritas.

Tidak semua orang menempatkan traveling dalam prioritas utama. Itu pilihan masing-masing orang.

Hanya saja, pernyataan dia yang secara tak langsung berkata bahwa,’traveling hanya milik kalangan orang mapan dan berduit’ agak mengganggu.

Jika berdasar kriteria kawan saya tersebut, saya mungkin bukan orang yang layak traveling. Banyak kebutuhan hidup yang sebenarnya harus lebih diutamakan.

Namun, mengapa saya tetap menempatkan traveling dalam prioritas atas?

Seperti tagline dari Matador Network, ‘travel is people’.

Saat traveling saya bertemu banyak orang baru yang menyenangkan.

Wanita Singapura yang memberi semangat saat perut bergejolak dan hampir membuat saya menyerah ‘hanya’ karena mendaki Gunung Ijen, seorang mahasiswa Jogja yang memilih naik kereta api ekonomi karena bosan naik pesawat, seorang pemilik penginapan di Jogja yang keluar dari pekerjaannya sebagai public relation sebuah hotel internasional di Jogja karena jenuh dengan segala beban pekerjaan, atau juga seorang pria bernama Veri yang memilih keluar dari pendidikan perguruan tingginya di Semarang dan bersepeda ke Sumatera karena merasa tak mendapat apapun saat kuliah, dan masih banyak orang lagi.

Saya mendapat wawasan baru dari orang-orang yang ditemui diperjalanan, dan juga sebuah jaringan. Jaringan yang saya yakini akan berguna suatu hari nanti.

Banyak hal baik yang saya dapatkan daripada keburukannya.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU