Suatu Hari di Tanah Perbatasan Indonesia

Tiap saat media hanya memberitakan masalah pelanggaran-pelanggaran negara lain atau patok yang bergeser. Tanah perbatasan tak hanya soal itu.

SHARE :

Ditulis Oleh: Prameswari Mahendrati

Sore itu suasana terasa sejuk, angin sore yang berhembus berhasil membuat mataku sangat berat. Saya buka smartphone dan saya foto pemandangan bocah-bocah berseragam pramuka.

Berjarak kurang lebih 10 meter, saya pandangi mereka yang sedang asik bermain lompat tali. Permainan tradisional yang pernah kumainkan saat seumuran dengan mereka.

Tempat ini tak seperti yang orang-orang bicarakan di luar sana. Tidak pula seperti yang digambarkan di berbagai media. Jagoi Babang, sebuah tempat di perbatasan negara yang tertutup aura keindahan alamnya.

“Media tampaknya lebih tertarik dengan pemberitaan mengenai konflik perebutan batas wilayah perbatasan antar negara, sehingga mereka lupa akan potensi keindahan alamnya”

Tak ada alasan khusus saya datang ke tempat ini, hanya sekedar mengikuti ajakan seorang teman yang menjadi guru sukarela di Jagoi Babang.

Sesekali saya ikut membantunya mendidik anak di dalam kelas, namun mungkin karena tak ada bakat mengajar materi pelajaran dalam diri ini, saya lebih tertarik mengajari mereka apa itu berpetualang dan menceritakan indahnya Indonesia.

Ina, gadis lokal berusia 10 tahun,setiap hari menghampiriku dengan sikap antusiasnya yang ingin mengetahui Indonesia lebih jauh. Ia tergolong gadis yang cerdas, apapun yang teman saya ajarkan sangat cepat ditangkap. Untuk ukuran anak berusia 10 tahun, ia juga cukup kritis.

Tak jarang ia bertanya, “ Mengapa tidak banyak orang berwisata ke Jagoi Babang? Apa yang membedakan Jagoi Babang dengan daerah lain? Padahal kabupaten Bangkayang juga memiliki berbagai tempat wisata alam dan budaya? Dan apakah tempat kami pernah masuk televisi?”

Dihujani berbagai pertanyaan dari Ina, si bocah cerdas saya menyebutnya, saya pun sempat mati kutu. Untung saja Sarah, teman yang mengajaku kemari datang dengan membawa air teh tawar.
“Mereka anak-anak cerdas, hanya saja keadaan yang menutupi kecerdasannya” ucap Sarah dengan nada santai. Aku belum begitu menanggapi apa maksudnya, ku seruput teh hangat dengan rasa hambar.

“Kamu tahu mereka di luar sana hanya sibuk memberitakan patok yang bergeser sehingga mereka lupa kalau di sini ada bibit-bibit penerus bangsa, mereka lupa ada potensi wisata alam yang dapat digarap.” Suaranya agak meninggi.
Perhatianku akhirnya tertuju pada kalimat yang dilontarkannya barusan. “Kamu sendiri tahu Sarah, apa yang harus kita lakukan?”

Dia tampak terdiam, hanya raut muka agak kesal yang saya tangkap.
“Saya pun tak tahu Ri, hanya ini yang bisa saya lakukan, berusaha mengajari mereka, memotivasi agar mereka tidak hanya kembali ke ladang seperti orang-orang sebelumnya. Saya ingin ada perubahan di sini, saya ingin mereka bersekolah, menimba pendidikan yang tinggi”

Belum selesai kami berbincang, Ina datang menghampiri kami. Ia membawa seekor kumbang tanduk kecil. Serangga yang sudah sangat jarang ditemu di kotaku.
“Kak, kalau sudah besar Ina ingin jadi penulis, nanti aku tulis tentang Bangkayang dan Jagoi Babang, biar semua orang tau di sini indah, nanti Ina yang jadi duta pariwisatanya.”

Anak ini memang penuh dengan kejutan, saya dan Sarah kembali dibuat tak berkata-kata olehnya. Dari kalimat singkat itu, saya sadar, untuk apa kita hidup? Untuk apa kita traveling sesungguhnya? Malu benar saya dibuatnya, seorang anak yang belum mengenal dunia, belum pernah meninggalkan kota kelahirannya tapi memiliki pemikiran berarti untuk mengembangkan daerahnya agar dikenal di mata dunia.

Satu lagi pelajaran berharga yang tidak saya dapatkan di bangku kuliah.

“Hidup bukan soal seberapa jauh kita melalang buana, tapi bagaimana kita memberikan arti di tanah yang kita pijakan”

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU