Traveling. Kata yang meletup hampir dimana saja kapan saja dan oleh siapa saja. Banyak orang melakukan traveling. Banyak orang gemar melakukan traveling hingga menyebut dirinya traveler, ups, termasuk saya. Sebab travelling itu menyenangkan dan menyegarkan. Banyak orang bergantung hidup dari traveling, entah biro perjalanan, agen travel, pemandu wisata, hotel dan penginapan lain, maskapai penerbangan, kereta api pariwisata, bus pariwista, tentu saja blogger. Traveling telah menjadi gaya hidup, dan…. telah pula menghidupi banyak orang.
Jika bepergian yang disebut traveling itu adalah sebuah rangkaian perjalanan ke suatu tempat untuk melihat sesuatu dengan banyak alasan, maka apakah artinya traveling itu jika tak begitu melekat di jiwa. Tak ada, kecuali dinikmati sesaat setelahnya hilang ditelan masa.
Traveling yang sesungguhnya adalah traveling yang melekat dalam di jiwa. Sebuah rangkaian perjalanan dimana rangkaian itu, entah satu, dua, atau tiga meninggalkan beberapa petik pembelajaran berharga melalui apa yang dilihat dan dirasakan.
Lalu, bagaimana caranya agar traveling ini melekat dalam jiwa? Tak lain, melihat dengan mata jiwa. Meresapi apa yang kita saksikan, mencari tahu/mendalami apa yang kita nikmati. Bersamaan dengan itu, merenungkan dan mengambil hikmah, sesuatu yang saya sebut sebagai Soul Journey.
Soul journey tak butuh persiapan khusus, apalagi tambahan dana. Hanya dengan melakukan hal-hal sederhana yang siapapun bisa.
Suatu waktu saya dan rombongan Komunitas Kompasiana Palembang melakukan Ekspedisi ke Taman Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin yang terkenal dengan mangrove dan burung-burung migran dari Siberia itu. Banyak sekali yang saya lihat dan dapat di sana. Salah satu hal yang paling berkesan sampai detik ini adalah saat saya menyaksikan bagaimana sepasang Mimi dan Mintuna setia saling berdempetan bertahan hidup dihempas gelombang hingga saya membuat tulisan di blog saya yang berjudul, “Mimi si Setia Sampai Mati”.
Menajamkan pengamatan bisa dilakukan kapan saja. Dalam pesawat saat kita harus tugas kantor, memandang awan putih sambil ngopi dan mendengarkan musik, itu memberi kesan mendalam di jiwa hingga melahirkan beberapa tulisan di blog saya. Setiap momen memberi kesan mendalam asal kita bersedia menangkapnya.
Momen matahari terbit tak sekadar kilauan cahaya muncul dari timur. Sesungguhnya dibalik munculnya matahari ketika pagi itu kita merasakan tibanya semangat baru. Seperti sebuah pesan bahwa hidup manusia akan selalu ada fase gelap terang. Untuk menemukan rasa semangat itu, tak akan bisa jika kita sibuk tertawa atau sibuk berfoto selfie misal.
Pada dasarnya, momen matahari terbit atau tenggelam merupakan hal yang sangat biasa karena setiap hari kedua momen itu pasti tiba. Hanya, jujur saja, bila bukan sedang traveling kapankah kita sempat berlama-lama menatap matahari terbit atau tenggelam.
Setiap hari saya keluar rumah dengan terburu-buru ketika hari masih agak gelap, pagi sekali dan pulang ke rumah ketika malam telah tiba, mana sempat memperhatikan matahari terbit dan tenggelam. Hanya saat liburan, saat traveling kita sempat memandanginya berlama-lama. Apalagi bila momen matahari terbit dan tenggelam itu didukung suasana alam yang syahdu, misal di pantai sembari mendengar debur ombak, tambah mendalamkan kesan.
Hasil sampingan dari semua itu? Tentu saja, inspirasi! Bagi blogger seperti saya, traveling pasti menghasilkan inspirasi tulisan.
Life’s a journey, saya sering menggunakan motto ini. Dan sebaik-baiknya perjalanan adalah bila ia menjadi makanan bagi jiwa. Memberi kita sebuah pembelajaran, sesuatu yang saya sebut Soul Journey tadi.
Saya setuju traveling itu penting, tapi tak harus memaksakan diri sering traveling, jika memang sedang tak memungkinkan. Kalau sekadar pokoknya jalan, mungkin tidak akan berkesan mendalam.
Karena makna sebuah perjalanan akan kita dapat saat tak sekadar fisik yang ‘berangkat’, namun juga jiwa kita.
Dokumentasi yang paling gampang adalah merekam peristiwa dalam benak. Hanya, kalau punya setidaknya 1 atau 2 foto perjalanan, itu akan membantu kita ‘memanggil’ kembali kenangan tentang perjalanan itu.
Saat menyaksikan momen matahari terbit di Pantai Sanur dulu, hampir sepuluh tahun yang lalu, saya minta tolong turis yang sedang lewat untuk memotretkan saya -waktu itu belum musim selfie. Foto sederhana itu lama menjadi header blog saya, hampir 5 tahun. Tentu saja mudah saya mengingat kesansaat menyaksikan momen sunrise dan sunset itu ketika saya melihat kembali foto tersebut.
Dokumentasi memang penting, apalagi kalau traveling dilakukan untuk tujuan reportase. Tinggal pandai-pandai mengatur kapan saat harus mengambil foto.
***
Ya, begitulah. Pada saat kita sedang traveling, hakikatnya bukan sekadar fisik yang traveling, tapi jiwalah yang traveling. Perjalanan jiwa, soul journey yang saya sebut tadi. Sebab aktivitas sehari-hari mungkin saja membuat kita jenuh hingga jiwa kitapun membutuhkan makanan. Butuh dicharge dengan traveling.
Soul Journey itu tak mesti sebuah perjalanan spiritual semacam umroh, haji atau perjalanan ke Betlehem bagi yang Nasrani, tak pula harus bersemedi di pantai, atau di puncak gunung (tapi kalau ada yang mau sih, silakan). Traveling biasa pun bisa jadi sebuah soul journey. Kita hanya perlu menajamkan pengamatan, merasakan dan merenungi apa yang dilihat. Kalau dilakukan, pasti menimbulkan kesan mendalam yang tak akan hilang ditelan masa. Sebab ia telah memberi hikmah dan pembelajaran bagi kita.
Sebagaimana saya sebut sebelumnya, tak penting seberapa sering kita traveling, yang jauh lebih penting adalah seberapa sering traveling memberi kesan dan hikmah pada kita dan seberapa besar hikmah itu membawa kebaikan bagi kehidupan.
Have a nice soul journey!