Bunga tabur beralaskan daun pisang tampak mengisi lorong-lorong di mulut goa. Sebagian sudah kering dan lainnya masih setengah segar. Tak ada satu orang pun yang memasuki goa ini. Padahal, tak ada larangan masuk, tapi juga tak ada himbauan untuk masuk. Kaki ini jadi ragu memasuki lorong gelap yang sekiranya adalah tempat sakral.
Goa Kreo, salah satu situs budaya yang memiliki nilai historis tak kalah dengan objek wisata lain di kota Semarang, namun tak satupun wisatawan asing yang menjamah tempat ini, mungkin mereka belum tahu keberadaannya.
Pada dasarnya, Goa Kreo memiliki banyak kesamaan dengan Pura Luhur Uluwatu di Bali. Apabila Uluwatu menampilkan pura Hindu sebagai icon wisata, maka Goa Kreo menawarkan sebuah Goa sakral.
Baik Uluwatu maupun Goa Kreo, keduanya sama-sama berkonsep wisata budaya dan religi. Keduanya pun memiliki penjaga situs yang sama, yaitu kera.
Layaknya Uluwatu, Goa Kreo juga dihuni oleh ratusan kera ekor panjang. Pengalaman dijahili seekor kera tak lagi terulang seperti kejadian saat saya berkunjung ke Uluwatu.
Kera-kera di area Goa Kreo cukup bersahabat dan jinak. Hampir tak ada kera yang agresif mengejar pengunjung sekalipun membawa makanan.
Berbincang dengan penduduk lokal yang sadar akan potensi wisata memang selalu menyenangkan. Lebih menggugah ketimbang hanya sekedar dating, berkeliling, lalu pergi begitu saja. Berkat perbincangan iseng di warung es degan, saya jadi tahu bahwa sajen-sajen yang ada di mulut goa bukanlah sekedar hiasan belaka.
Terdapat ritual rutin yang dilakukan warga kampong Kandri, Gunung Pati, Semarang. “Biasanya tiap 1 syahwal itu pasti di sini ramai, ada arak-arakan, namanya Ritual Sesaji Rewanda” ucap Bu Suti, penduduk asli yang berprofesi sebagai penjual kacang dan gorengan.
Asal mula kata Kreo sejatinya berasal dari kata ngreho yang artinya penjaga. Konon katanya, dahulu hutan di area Goa Kreo ini dijadikan sebagai petilasan dari Sunan Kalijaga yang hendak mengambil kayu jati untuk membangun Masjid Agung Demak.
Melalui upayanya, Sunan Kalijaga dibantu oleh 4 ekor kera hingga keempat ekor kera ini dinobatkan sebagai ngreho atau penjaga dari kawasan Goa Kreo.
Seiring perkembangan waktu ke waktu, perkembangan kera cukup pesat karena warga sekitar masih menghormati petuah nenek moyang mereka untuk menjaga habitat kera ekor panjang tersebut. Oleh karena itu, kamu jangan heran jika hanya berjarak beberapa langkah akan menemukan kera-kera yang mengelilingimu. Kamu bisa memberikan kera-kera itu kacang kulit yang dijual di warung sekitar.
Ketika Ritual Sesaji Rewanda berlangsung buah-buahan dibentuk menyerupai gunungan, sesaji khas yang wajib disertakan adalah sego kethek yang berisikan sayur, lauk, tahu, dan tempe. Semua sesaji-sesaji itu dipersembahkan kepada kawanan kera sebagai simbol penghormatan terhadap si mpunya penjaga wilayah.
Selain gunungan buah-buah dan gunungan sego kethek, masih ada dua gunungan lain, yaitu gunungan hasil bumi yang terdiri dari jagung, singkong, mentimun, wortel, kacang tanah, serta gunungan lepet dan ketupat sebagai rasa syukur dari masyarakat setempat telah diberikan kesejahteraan.
Ritual Sesaji Rewanda sudah dilakukan oleh para leluhur. Ada tiga tujuan masyarakat kampung Kandri melestarikan tradisi ini. Pertama, bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua untuk mengenang napak tilas Sunan Kalijaga saat ke Goa Kreo yang dahulu merupakan kawasan hutan jati, ketiga untuk menjaga keseimbangan alam, salah satunya menjaga kelestarian kera-kera yang hanya tinggal di kasawan Kreo.
Keharmonisan tidak hanya dapat terjalin dua arah antar manusia, akan lebih baik jika kita juga menjalin dan menjaga keseimbangan dengan alam, termasuk hewan yang tinggal di dalamnya. Sebagai makhluk berakal, tentu akan lebih bijak apabila kita yang memulainya.
Kalau bukan kita, siap lagi?
Baca juga artikel terkait : Aturan Wajib yang Perlu Kamu Ketahui Jika Berkunjung Ke Pura Luhur Uluwatu