Menjadikan Alam sebagai Kelas dan Masyarakat sebagai Dosen

Traveling memang baiknya nggak cuma menikmati keindahan destinasi wisata aja. Tapi juga tentang pembelajaran hidup, langsung dari alam

SHARE :

Ditulis Oleh: Yuthika N. Addina

Saya masih ingat bagaimana salah seorang teman saya, Didi, bercerita bahwa ia ingin berkunjung ke berbagai wilayah terpencil di Indonesia. Didi, seorang mahasiswa Desain Interior ITB yang lebih banyak menghabiskan waktunya di alam bebas daripada indoor. Menjawab kegelisahannya akan keadaan Indonesia, Didi akhirnya memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan ilmiah yang dinamakannya Semester Alam, perjalanan keliling Indonesia mencari apa yang tak didapatkan di bangku perkuliahan.

 

Bertandang ke kilang pengolahan minyak terbesar di Indonesia, Balongan

Indramayu, kota di Jawa Barat ini seperti tak pernah beririsan dengan hidup saya sampai hari di mana Didi mengajak untuk berkunjung.

Seorang kerabat teman saya datang menjemput untuk menginap di rumah keluarganya di kota Indramayu. Sepanjang sore kami mendengar berbagai cerita tentang Indramayu yang akhirnya cukup membuat saya tertarik untuk tahu lebih dalam mengenai potensi-potensi yang ada di kota tersebut. Salah satunya adalah sebuah unit kilang pengolahan Pertamina Balongan yang ternyata merupakan kilang pengolahan terbesar di Inonesia yang langsung kami sambangi malam itu juga.

Unit tersebut memang bukan main besarnya, seperti sebuah kota industri yang mengingatkan saya pada film City of Ember dimana semua seperti bertemakan steampunk. Benar-benar membuat saya gatal untuk mengabadikan tempat tersebut. Sayangnya, di sepanjang jalan itu kendaraan dilarang berhenti sehingga sulit untuk mengabadikannya. Namun, mengetahui keberadaan potensi tersebut serta melihat kemegahannya mampu mengubah pandangan saya mengenai Indramayu malam itu.

 

Mengintip Tempat Pembuatan Kapal oleh Masyarakat Lokal, Karangsong

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

Di Indramayu, kami sempatkan mengunjungi sebuah tempat pembuatan kapal di bantaran sungai Praja Gumiwang. Tempat ini masuk wilayah Karangsong. Sebuah tempat pembuatan kapal-kapal besar hasil tangan para arsitek lokal berpengalaman yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.

Pak Wirman, salah seorang yang tengah sibuk membuat kapal menjadi teman ngobrol kami. Ia bercerita tentang proses pembuatan kapal, mulai dari bahannya yaitu kayu-kayu dari luar Jawa hingga akhirnya kapal tersebut akan dikirimkan dengan berlayar ke tempat pemesannya.

Kami menyaksikan dan merasakan sebuah proses ‘intim’ antara para pembuat dengan kapal yang dibuatnya, seolah-olah semuanya dikerjakan dengan begitu penuh perhitungan dan kasih sayang.

 

Mengenal Suku Dayak di Indramayu

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

Sekitar 45 menit dari pusat kota Indramayu terdapat sebuah daerah bernama Losarang tempat Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu yang akan kami kunjungi sebagai salah satu kelas dalam Semester Alam. Setelah berjalan tak jauh dari jalan raya, kami menemukan sebuah tulisan yang mengatakan “Padepokan Bumi Segandu”. Sebuah kompleks dengan sebuah gapura berwarna merah muda dengan kukuh menandai keberadaan komunitas tersebut. Ketika Didi akhirnya mengenalkan saya dengan seorang Pak Marji, maka dimulailah kuliah mengenai sebuah komunitas yang sungguh memiliki pandangan menarik mengenai dunia.

Berbeda dengan Suku Dayak di Kalimantan, Suku Dayak di Indramayu ini lebih cocok jika disebut sebagai komunitas. Suku Dayak Hindu Busha Bumi Segandu Indramayu nama lengkapnya, namun kata ‘Suku’ di sini tidak sama dengan arti kata suku bangsa atau etnik. ‘Suku’ di sini diambil dari bahasa Jawa yang artinya adalah kaki dan mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan sendiri di kaki masing-masing sesuai dengan keyakinannya untuk mencapai suatu tujuan.

Suku Dayak Segandu ini merupakan sebuah komunitas yang mulai banyak dikenal masyarakat sejak Pemilu tahun 2004 di mana komunitas ini menyatakan golput. Komunitas ini memang sama sekali tidak memiliki kartu indentitas, karena menurut mereka identitas utama mereka adalah diri mereka sendiri. Komunitas ini sendiri memiliki penampilan yang cukup unik. Rambut panjang, bertelanjang dada, memakai celana berwarna setengah hitan-setengah putih, serta untaian aksesoris kalung dan gelang membuat komunitas ini cukup mudah untuk kita kenali.

 

Menemukan Kebenaran Melalui Alam dan Memuliakan Perempuan

Didi dan Pak Marji. Foto merupakan dokumen Semester Alam

Komunitas ini memiliki ajaran yang disebut “Sajarah Alam Ngaji Rasa” di mana mereka mencari kebenaran dengan cara menyatukan diri dan memuliakan alam, mengabdi kepada keluarga, memuliakan perempuan, serta selalu berperilaku jujur dan sabar. Semua hal itu terangkum dalam nama komunitas ini sendiri.

Selain arti kata ‘Suku’ yang telah dijelaskan sebelumnya, kata ‘Dayak’ dalam nama komunitas ini berasal dari kata ‘ayak’ yang berarti menyaring. Maknanya adalah menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Lalu Hindu yang berarti kandungan atau rahim, dimana setiap manusia dilahirkan dari kandungan seorang perempuan.

Kemudian kata ‘Budha’ berasal dari kata “wuda’ yang berarti telanjang. Maknanya bahwa seseorang dilahirkan dalam keadaan telanjang dan tak tahu apa-apa. ‘Bumi’ bermakna sebuah wujud dan Segandu yang bermakna sekujur badan ketika disatukan memiliki makna filosofis sebagai kekuatan hidup. Sedangkan kata ‘Indramayu’ sendiri memiliki sebuah makna filosofis bahwa seorang perempuan adalah sumber hidup.

Sesuai dengan makna yang dikandung oleh namanya, Suku Dayak Segandu memang menitikberatkan segala ajarannya pada alam. Selain itu Suku Dayak Segandu ini memang sangat memuliakan serta menghormati perempuan. Hal tersebut sangat tercermin dalam ajaran dan kehidupan mereka sehari-hari, di mana seorang pria harus mengabdikan diri kepada keluarga dan istrinya. Seorang pria di dalam komunitas ini mengabdikan dirinya dengan selalu melaksanakan dan menjaga segala kebutuhan di dalam rumah tangganya. Pak Marji pun sempat membagi pandangannya mengenai Indonesia yang seringkali disebut dengan Ibu Pertiwi, menegaskan bahwa memang sosok Ibu-lah simbol yang tepat untuk sesuatu yang perlu kita jaga, rawat, dan muliakan sama seperti kita menjaga, merawat, serta memuliakan alam.

Satu kalimat Pak Marji yang begitu lekat dengan ingatan saya, “Manusia itu jangankan saat kurang, saat berlebih saja tetap merasa kurang.”

Perjalanan saya bersama Didi bertemu Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu telah meninggalkan banyak pelajaran serta rindu teramat untuk jadi bahan bakar perjalanan berikutnya. Kini ketika saya tengah menuliskan perjalanan kami, Didi tengah melanjutkan Semester Alam-nya di kelas-kelas berikutnya di berbagai pelosok Indonesia. Kamu bisa mengikuti perjalanannya di akun Instagram @xpdc_semesteralam

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU