Saya Pikir Traveling itu Buruk, Sebelum Saya Mengenal Semarang

Semarang, sebuah kota tenang penuh kenangan. Kenangan yang menjadikanku seorang traveler yang lebih baik.

SHARE :

Ditulis Oleh: Sigit Andrianto

Foto oleh Jatmika Jati

Sama sekali tak ada hal bagus terlintas di kepala saat mendengar kata “traveling”.

Bagaimana tidak? Untuk perjalanannya saja, berapa banyak biaya yang harus di keluarkan. Belum lagi biaya konsumsi, dan lain-lain.

Lalu, berapa banyak bekal yang harus dibawa untuk berjaga agar tak mati kelaparan diperjalanan?  Traveling ke daerah perkotaan masih memungkinkan kita untuk membawa kartu ATM ataupun credit card, tapi untuk daerah terpencil, mau tak mau kita harus membawa perbekalan selain tentunya menggantungkan diri pada alam.

Sepulangnya ke rumah, apa yang kita dapatkan? Tak ada selain rasa capek teramat sangat.

Apa sih hal baik yang di dapat dari travelling? Bisa disamakan seperti perjalanan piknik SMP atau SMA yang setelah itu kita hanya bisa cerita, “ya, aku pernah kesana”. Selesai.

Samasekali tak terpikirkan aku rela menghabiskan uang untuk hal-hal seperti itu.

Itu yang dulu kupikirkan tentang traveling.

Ajakan – lebih tepatnya paksaan – seorang kawan di Semarang mengubah semua persepsiku mengenai dunia traveling.

1. Baik atau buruk, kita tak tahu sebelum mencobanya sendiri

Ini merupakan pertama kalinya aku melakukan sebuah trip ke luar kota. Aku sangat kagum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri kemegahan stasiun Tawang Semarang.

Arsitektur Belanda sangat kental. Setiap sudut ruang menggambarkan betapa kuat karakteristik Negeri Kincir Angin di Stasiun ini.

Akulturasi memang Indah, kolaborasi antara dua budaya mampu menciptakan sesuatu yang sangat disayangkan jika tak dinikmati. Kedatanganku di Stasiun ini disambut bangunan Belanda kuno yang megah lengkap dengan latar lagu Gambang Semarang.

Sebuah lagu khas daerah pesisir yang katanya merupakan tempat tinggal beberapa etnis, seperti tionghoa, arab, dan jawa tentunya. Kolaborasi jawa belanda yang sangat cantik. Seperti nonik keturunan ayah belanda dan ibu pribumi.

Dunia luar ternyata menarik. Dan kesan pertama menjejak kaki di tempat asing tak seburuk dugaanku.

Di stasiun ini hatiku mantap untuk mendeklarasikan diri sebagai seorang traveler Indonesia. Aku tak sabar menjadwalkan kunjungan untuk menjelajah Indonesia.

2. Obrolan singkat dan mengena bersama seorang pemancing

Berjalan keluar, aku menemukan sebuah danau yang dikelilingi banyak orang dengan pancingan, kail, serta lengkap dengan umpannya.

Tak ketinggalan bangunan tua kuno yang tampak disekeliling danau. Disinilah kawasan Kota Lama Semarang berada.

Aku mendekati salah satu pemancing. Dia nampak asyik dan tak terganggu dengan kehadiranku. Obrolan basa-basi menjadi awalan. Dirinya bisa langsung menebak aku bukan warga lokal.

Kami berbincang. Ia mengungkapkan bahwa sudah selama hampir 4 jam ia menghadapi pancingnya dan belum ada satupun ikan yang memakan umpannya. Namun ia tetap menunggu hingga tak berselang lama, mujair berukuran sebesar lengannya ia naikkan ke permukaan.

” Benar kan mas, rezeki ndak akan kemana, orang sabar pasti akan berbuah hasil!” Si pemancing tertawa lepas

3. Traveler sejati selalu menyempatkan waktu untuk mengingat sang Pencipta

Cukup lama berbincang, aku putuskan kembali ke stasiun sembari menunggu jemputan kawanku. Sayangnya tak ada tempat duduk yang bisa aku singgahi karena memang terlalu banyak penumpang saat itu.

Lamanya perjalanan membuat ototku berteriak meminta untuk beristirahat. Dan aku mencoba singgah di mushola stasiun holland ini.

Setelah dipikir-pikir, sudah cukup lama aku tak melaksanakan kewajibanku sebagai umat beragama.

“Ada saja cara Tuhan memperlihatkan keramahan yang membawa hamba-Nya menyinggahi rumah-Nya”

Aku sempatkan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinanku. Nampaknya aku harus lebih bersyukur atas keindahan dan karunia beserta ciptaan yang sungguh luar biasa ini.

Hal yang tak aku dapatkan selama berdiam diri di rumah.

4. Tak ada rasa takut bagi traveler untuk tidak bisa kembali

Usai beribadah aku duduk terdiam.

Melihat beberapa orang dengan wajah letih dalam penantian. Pemandangan yang membawa ingatanku kembali saat pertama kali membayangkan pahitnya traveling, aku takut jika tidak bisa kembali ke rumah.

Aku alihkan pandanganku ke sudut lain. Kulihat sesuatu yang mematahkan rasa takut itu. Tawa lepas para tukang becak, beberapa penumpang akrab bercengkarama membicarakan presiden mereka, si pemancing masih asyik dengan kailnya disana sembari memasang muka sumringah. Dunia ini tak buruk.

Kalaupun tak ada uang mencukupi, yakinlah bahwa

”Naluri seorang traveler akan membawamu ke daerah tujuan dan juga mengembalikanmu ke tempat asal”.

Bagaimanapun caranya, kita akan sampai ke tempat tujuan kita.

5. Pelajaran hidup tak ternilai saat traveling

Tas besar berisi bekal seperti layaknya pendaki gunung, sebelumnya juga menjadi salah satu penghambatku untuk menjadi seorang traveler.

Isi tas yang sangat banyak membuatku berpikiran “Bagaimana aku bisa menikmati perjalananku dengan siksaan yang begitu berat dipunggung?”

Mungkin dari kalian juga pernah membayangkannya.

Kata beberapa kawan, baik traveler ataupun para pendaki, “memang kita akan membawa banyak barang selama perjalanan, tapi ketika pulang, barang-barang itu akan berkurang”.

Memang benar untuk urusan logistik. Barang yang kita bawa akan berkurang ketika kita pulang. Tapi dari sisi pengalaman, pelajaran, dan pengetahuan, akan jauh lebih banyak daripada yang kita bawa ketika baru berangkat.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU