Saya Malu Disebut Pendaki Gunung

Pendaki gunung memang keren. Memanggul ransel besar, sepatu boot, dan ikat kepala. Memang keren dan mengagumkan. Namun, rasa kagum hilang ketika ..

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Foto oleh Echigo

Mungkin pandangan saya tentang gunung sudah kuno. Mungkin saya masih tetap hidup di masa lalu

Memanggul ransel di punggung, sepatu lusuh, kemeja flannel, dan ikat kepala ethnic terlihat matching dengan rambut sedikit acak-acakan. Keren dan mengagumkan. Gaya seorang pendaki, selalu bisa membuat hati berdebar. Iya, itulah perasaan yang selalu muncul ketika bertemu pendaki. Mereka keren! Sepertinya, saya sudah jatuh hati pada para pendaki gunung.

Dari mata turun ke hati, saya begitu mengagumi pendaki

Di mata saya, mereka para sesepuh gunung, begitu saya memanggil mereka, memiliki kharisma tersendiri. Orang paling keren waktu itu, Vino G. Bastian, masih kalah keren dari pendaki. Dengan ransel segede kulkas dan sepatu boot, mereka begitu mudah menjadi idola remaja saat itu. Yang namanya fans, pasti selalu ingin tahu tentang idolanya.

“Mas, udah mendaki gunung mana saja?”

Itu salah satu pertanyaan klasik yang selalu saya, si pemula ini, lontarkan. Sekadar ingin tahu, sudah sejauh mana mereka menapakan kaki. Ingin belajar dan memperoleh inspirasi.

Yang namanya fans, selalu ingin terlihat keren seperti idolanya

Saya selalu kepo dengan semua barang keren yang mereka miliki. Lihat saja ransel Deuternya, jaket Mamoot, sepatu boot Salewa, tenda ultralight, belum lagi gear-gear canggih lainnya. Terus terang, saya selalu membayangkan mengenakan dan melengkapi gears gunung seperti mereka. Pasti saya juga bisa keren. Apalagi, waktu itu belum banyak yang tahu apa itu Deuter, apa itu Salewa.

Saya pun menabung mengumpulkan uang hasil kerja paruh waktu untuk membeli alat-alat gunung yang harganya bisa 4 kali lipat dari gaji memberi les privat per bulan. Ini gaji saya yang terlalu kecil atau gearsnya yang terlampau mahal? Mungkin keduanya.

Karena gears sudah cukup lengkap, saya siap mendaki

Deuter Spider biru, sepatu boot Hi-tech, jaket Lafuma, dan ikat kepala oleh-oleh teman dari Ende. Itu semua barang yang selalu saya kenakan tiap mendaki. Sudah terlihat hampir sama seperti idola saya. Sepertinya saya sudah cukup keren untuk penampilan seorang pendaki gunung. Ah, percuma saja keren tapi tak pernah menginjakkan kaki di Gunung Slamet, apalagi belum ke Semeru, pikir saya.

Masa muda yang menggebu, buku catatan saya penuh dengan bucketlist pendakian. Ingin mendaki seluruh gunung di Jawa Tengah, Jawa Barat, Kerinci, dan Rinjani. Impian saya, si pemula, saat itu.

Saya menjadi sering mendaki untuk mencentang bucketlist pendakian. Sebulan bisa 3 kali mendaki. Paling lama, dua bulan sekali. Lebih dari itu, saya bisa sakau. Seperti tak mempunyai gairah hidup.

Jangan Panggil Saya Pendaki

Ada kebanggaan tersendiri karena sering mendaki. Dalam hati saya bangga sudah pernah memeluk puncak-puncak gunung di Jawa Tengah. Kenapa tak Semeru? Karena terus terang dua kali ke sana, saya tak pernah mampu menggapai Mahameru. Saya iri dengan kalian yang berhasil berjumpa dengan’ dia’. Tapi, saya tak berkecil hati. Karena bagi saya puncak itu bukan titik tertinggi gunung yang kita daki. Tapi, titik maksimal di mana kita sanggup menapakan kaki di sana.

Sebangga-bangganya saya dengan gunung, saya tak pernah bangga di sebut pendaki. Bukan karena pendaki tak keren, tapi apa sih saya ini? Pengetahuan pendakian saya pas-pasan, tak pernah ikut organisasi pencinta alam, belajar mendaki pun otodidak. Saya hanya orang yang jatuh hati pada gunung dan pendaki-pendaki keren yang saya temui selama di perjalanan. Saya hanya penikmat gunung yang menikmati setiap lekuk lukisan alam Tuhan yang begitu indah. Saya hanya penikmat wangi tanah gunung yang basah terkena hujan.

Saya Malu Disebut Pendaki

Entahlah, rasa kagum saya pada para pendaki gunung menguap bersama maraknya pendakian. Pendaki berkharisma yang sering saya temukan di setiap tanjakan entah di mana rimbanya. Saya yakin mereka masih ada, namun tak nampak nyata.

Saya merasa kehilangan sosok idola yang dulu saya puja-puja. Semua pendaki kini terlihat sama. Keril besar, sepatu boot, buff, joger pants, action cam. Secara penampilan fisik pendaki yang sekarang masih sama. Namun, saya harus minta maaf, karena dalam pandangan saya, pendaki yang saya temui tak ada lagi yang spesial. Tak lagi membuat hati ini berdegup kencang kagum memandang.

Meskipun saya kehilangan sosok idola, bukan berarti saya juga kehilangan rasa untuk tetap menikmati gunung. Saya masih suka menikmati sunrise dari balik pintu tenda. Menghirup segarnya udara gunung pagi hari. Saya tak pernah kehilangan rasa semangat memasak aneka menu di gunung. Dan kenikmatan menyeruput segelas kopi panas di gunung selalu sama. Hangat.

Gunung, kopi, teman pendakian, dan hal-hal yang tercipta selalu membawa kehangatan. Seperti hangatnya rasa saat di rumah. Iya, karena gunung adalah rumah bagi setiap orang, bagi semua pendaki.

Because, a mountain is home for everyone. It’s not only mine or theirs, but it’s ours

Apakah kalian juga masih memiliki rasa yang sama? Rasa hangat saat di gunung? Beruntunglah kalian, karena sekarang rasa itu perlahan mulai memudar. ‘Rumah’ saya perlahan mulai hilang.

Saya kehilangan hangatnya sapaan pendaki yang dulu saya temui di sepanjang jalan. Tak lagi ada obrolan hangat dengan pendaki di tenda sebelah.

Terlalu banyak yang mendaki. Terlalu banyak pendaki gunung yang sibuk berfoto selfie daripada berinteraksi santun dengan pendaki gunung lain. Yang kadang membuat kesal, ada orang yang tak tahu aturan. Foto selfie di depan tenda tanpa permisi. Memutar musik pagi buta terlampau keras. Tak lagi bertegur sapa.

Sudahlah, mungkin pandangan saya tentang gunung sudah kuno. Mungkin saya masih tetap hidup di masa lalu.

Sosok pendaki idola sudah tak lagi saya temui. Kehangatan rumah di gunung pun sudah tak saya dapati. Kini, saya pun sudah tak lagi mendaki. Karena itu, saya malu jika disebut pendaki.

 

Baca Juga:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU