Sebuah Perjalanan Sunyi Menuju Rumah Tan Malaka

Rumah Tan Malaka menjadi saksi bisu perjuangan seorang yang disebut sebagai 'Bapak Bangsa', namun kerap terlupakan

SHARE :

Ditulis Oleh: Eka Herlina

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

“Benar ini rumahnya?”

Saya membalikkan badan memasang ekspresi setengah tak percaya. Tukang ojek yang mengantar dari Pasar Libonang, Suliki, Payakumbuh ke tempat ini hanya mengangguk. Ia berlalu begitu saja –entah kemana—, membiarkan saya terpaku pada pemandangan di depan. Meninggalkan saya seorang diri. Sebuah bangunan khas rumah adat Minangkabau terlihat usang dan tak terawat. Kesan rapuh melekat pada bangunan yang beratap 5 gonjong terbuat dari seng.

Perlahan saya melangkahkan kaki menuju anak tangga dan membuka pintu rumah. Derik suara dari sela-sela lantai kayu membuat hati berdesir kaget. Gamang saya melangkah.

Sebuah nama : Tan Malaka

“Ia Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia… tapi hidupnya berakhir tragis diujung senapan tentara republik yang didirikannya.” – Tan Malaka

Adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Malaka atau lebih dikenal dengan sebutan Tan Malaka, seorang anak bangsa yang terkenal dengan pemikiran radikalnya mengenai pergerakan kemerdekaan Indonesia dan turut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ketidaktahuan dan keinginan untuk lebih mengenal sosok Tan Malaka menjadi alasan yang membawa saya berani menempuh perjalanan hampir empat jam dari kota Padang ke daerah yang belum pernah saya jelajahi sebelumnya. Untuk mencapai lokasi ini, dari kota Padang kita bisa menggunakan travel minibus tujuan Suliki. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan jasa ojek. Cukup mengatakan :‘’Ke rumah Tan Malaka.”

Perjalanan tak lebih dari lima belas menit dengan menggunakan kendaraan bermotor akan mengantarmu menemui ‘Tan Malaka’. Nama pemuda kelahiran Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh 02 Juni 1897 ini memang tak sepopuler bapak Proklamasi Indonesia, Soekarno, namun sesungguhnya ia adalah konseptor lahirnya Republik Indonesia.

Pahlawan Tanpa Cerita

“Bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama-usang-dan mendirikan masyarakat yang baru-kokoh-kuat.” –Tan Malaka, Madilog

Mata saya mengitari isi rumah gadang yang memiliki ruangan lepas begitu saja. Tak banyak perkakas kecuali beberapa meja yang tampak rapuh. Sebuah foto Tan Malaka terpajang. Kaki saya melangkah lebih jauh. Di sebuah dinding terdapat ranji. Ranji adalah istilah Minangkabau untuk mengungkapkan silsilah keluarga.

Foto yang terpajang tidak terlalu banyak dan diantaranya terselip photo Tan bersama Soekarno. Pikiran saya mencoba menerka cerita yang pernah terjadi semasa hidup beliau. Sebuah cerita yang tak pernah saya temui saat belajar sejarah di bangku sekolah dulu. Namanya pun tak pernah ada di buku sejarah tersebut.

Kosong.

Menguak kisah pilu

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Tan Malaka – Madilog

Adalah Hari Poeze, sejarawan asal Belanda yang menulis secara rinci tentang perjalanan Tan Malaka dalam lima jilid buku berjudul “ Tan Malaka, Gerakan kiri dan Revolusi Indonesia”. Menurut Poeze, sosok Tan belum banyak diungkapkan secara luas mengenai perjalanan dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Kaki saya terhenti disebuah lemari kaca. Beberapa buku pemikiran Tan Malaka terpajang rapi. Saya teringat pada satu bagian di bukunya yang berjudul Madilog. Ketika dalam masa pelariannya, ia sempat mengisahkan membuang lembaran bukunya ke tengan laut.

Banyak rintangan yang dihadapi pendiri partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) ini ketika turut serta memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Hidupnya tak lepas dari pelarian, pembuangan dan pengusiran dari ibu pertiwi. Tan bahkan dituduh sebagai dalang dibalik penculikan Sutan Sjahrir pada Juni 1946.

Pada saat kemederkaan 1945, Tan berperan penting mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah masa pendudukan Jepang untuk mencetus “Revolusi. Baginya seratus persen adalah merdeka.” Sayangnya, ia terbunuh di Kediri pada Februari 1949.

Oleh Soekarno, Tan Malaka ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui ketetapan presiden RI no 53 tanggal 23 Maret 1963. Sangat disayang, namanya menghilang dari catatan buku sejarah –entah karena sebab apa. Tak heran nama Tan Malaka tak sepopuler Bung Hatta.

Saksi Bisu Nama Itu Tetap Ada

“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.”—Tan Malaka

Kaki saya melangkah menghampir sebuah meja yang berada di pintu masuk. Terabaikan begitu saja oleh mata saya saat memasuki rumah ini beberapa menit lalu. Sebuah buku besar polio terbentang di atasnya. Buku yang digunakan sebagai buku tamu. Tangan saya meraba kertas buku berdebu.

Mata saya menangkap nama-nama yang berseliweran di atas kertas yang mulai tampak kusam. Jejak nama yang tertinggal tercatat ada yang perorangan maupun komunitas yang berasal dari daerah yang jauh seperti Jakarta, Salatiga, maupun Malaysia. Bahkan ada yang dari Belanda. Menandakan betapa seorang Tan Malaka berhasil membuat mereka mau melangkah jauh demi rasa penasaran tempat yang pernah membesarkan Tan Malaka ini.

Ragam tulisan tangan mengutip kalimat-kalimat inspirasi Tan Malaka menghiasi kesan mereka. Tan membuktikan kalimatnya, orang-orang mencari ‘keberadaan’nya lewat rumah ini. Ada kerinduan terdalam dari tulisan yang tertinggal tentang sosok yang hingga akhir hayatnya berteman dengan sepi.

Sebuah Harapan pada Rumah Tan Malaka

Foto merupakan dokumentasi pribadi penulis

“Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas” – Tan Malaka

Seperti apa masa kecil yang dilalui Tan Malaka di rumah gadang ini? Tak ada gambaran jelas dibenak saya ketika menelusuri setiap jejak yang tertinggal di rumah tua ini.

Di resmikan pada 21 Februari 2008 sebagai Museum Tan Malaka oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kala itu, tak ada dampak berarti. Maka lupakan khayalan saya tentang kutipan-kutipan perkataan Tan Malaka yang mengetarkan dada tersebut terpaut di dinding rumah.

Seperti sosok Tan Malaka yang terabaikan begitu saja, bangunan tua yang di bangun 1936 beratapan seng dan sebagian dinding dengan anyaman bambu serta dipadu oleh kayu bernasib sama dengan dirinya. Bagi saya tak ubahnya tampak seperti orang tua yang diabaikan oleh anaknya sendiri. Menikmati kesunyian masa tua di tengah alam Payakumbuh nan indah.

***

Saya menarik napas dalam-dalam. Kurang lebih setengah jam menelusuri tiap sudut rumah tua, kaki saya memilih langkah keluar. Melepas pandangan ke alam Payakumbuh. Semilir angin menyapa saya, mengakhiri perjalanan ini, tapi tidak untuk kerinduan yang mendalam terhadap bapak konseptor republik ini.

 

 

Baca juga:

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU