Taburan bintang menjadi senter kami dari langit. Bisa saya hitung jari, mobil melintasi jalan perbukitan yang membelah perkebunan sawit ini. Suara jangkrik saya saingi dengan album The 2nd Law Muse yang saya putar dari tablet dalam ransel.
Saya kadang berbagi headset dengan Ikbal, teman perjalanan, ketika tak tahu lagi apa yang harus kami bicarakan untuk melawan kantuk.
Sesekali saya berdiri tegak di motor untuk mengatasi pegal. Perumahan penduduk di kedua sisi jalan membuat saya tersenyum.
Baru saja kami taklukkan tantangan Gunung Trans selama satu jam lebih, rute paling berbahaya di lintas Barat-Selatan Aceh.
Adzan subuh bergema di langit Kota Blangpidie, ibu kota Kabupaten Aceh Barat Daya. Namun seketika itu motor kehabisan bensin.
Kami singgah di sebuah kios yang masih buka. Tak ada bensin disitu. Kami berkeliling dan ternyata kedai lain pun tutup. Terpaksa kami kembali ke kios pertama untuk sekadar merebah di bangku kayu sebelum matahari muncul.
Kota kecil ini merupakan tanda bahwa kami hampir sampai perbatasan Aceh Selatan.
Setelah matahari menampakkan wujudnya, kami melanjutkan perjalanan. Tak lama, kami tiba di rumah orangtua Ikbal, di Desa Labuhan Tarok, Kecamatan Meukek.
Motor saya istirahatkan sejenak. Sebuah perjalanan luar biasa jauh dengan medan yang cukup ekstrim, meskipun belum dapat disandingkan dengan pengalaman Che Guevara muda dengan motornya mengelilingi Amerika Latin dalam film The Motorcycle Diaries.
Di jalan, nampak anak-anak desa berangkat sekolah dengan becak khas setempat—mirip bemo di Jakarta tapi berdinding terbuka.
Saya disambut baik oleh orangtua dan keluarga teman kuliah saya itu. Bahkan ibunya menganggap saya bagai anak barunya, setiap pagi menyeduh kopi dan selalu mengingatkan untuk makan jika kami ada di rumah.
Caun, adik termuda Ikbal, bahkan memanggil saya “Abang Baro” yang artinya kakak laki-laki baru bagi dia.
Ikbal belum berhenti menguji adrenalin saya.
Setelah berkendara 10 jam di malam hari, suatu pagi ia menunjukkan menara yang berdiri tegak di antara perkampungannya.
Menara pemancar salah satu operator seluler setinggi 100 meter, tak jauh dari bibir garis pantai desa tempat biasa kami mandi sore.
‘Mengambil gambar dari atas sana pasti luar biasa,’ Ikbal menatap puncak dengna mata berbinar.
Hasrat saya ikut membuncah.
Ingin sekali saya taklukkan puncak menara pemancar itu, melihat keindahan alam Aceh Selatan dari ketinggian.
Pagi itu, setelah meminta izin pada kepala desa, kami menaiki menara pemancar.
Beralaskan sandal jepit dan tanpa sarung tangan, saya mencengkeram satu per satu anak tangga besi.
Di pertengahan, sempat terbesit rasa ingin turun.
Saya teringat petugas listrik yang tewas tersetrum dan terpanggang di menara pemancar ini.
Pun saya teringat orangtua saya sendiri di kampung sana, yang pasti tidak tahu kalau anaknya ini sedang melakukan hal yang takkan pernah diizinkannya. Tapi nyali mengalahkan rasa takut itu.
Akhirnya kami berhasil mencapai puncak!
Potongan-potongan besi yang sebelumnya saya kira bisa mengantarkan aliran listrik, ternyata cukup membantu kami sampai ke puncak, dengan beberapa kali berhenti setiap mencapai lantai pemberhentian.
Gugusan gunung di Kecamatan Meukek yang masuk dalam Bukit Barisan Pulau Sumatera membentang di kiri dan kanan.
Jarak 1 km dari hadapan saya, nampak perahu kecil melaju pelan di atas Samudera Hindia. Sinar mentari mengalir ke seluruh lorong Desa Labuhan Tarok di bawah kami.
Panorama itu membuat saya enggan turun meskipun angin mulai guncangkan tower.
Inilah momen menikmati ketinggian seperti yang juga dilakukan pejalan Indonesia di luar negeri, Barry Kusuma memotret gemerlap malam kota perpaduan Asia-Eropa dari Macau Tower, Yudasmoro merekam kabut selimuti Kota Guangzhou dari Canton Tower, dan Marischka Prudence berfoto selfie di puncak Burj Khalifa Tower berlatar gedung pencakar langit Dubai.
Dan kini saatnya saya berfoto selfie di atas menara pemancar Aceh!
Ya, meski tak setinggi menara yang mereka naiki dengan lift, kenikmatan saya tak kalah dari mereka. Setidaknya saya memanjat, bukan naik dengan lift. Mereka mengagumi keindahan kota, tapi saya menikmati keindahan desa yang mencerminkan keasrian desa-desa terluar di Indonesia.
Lima hari sebelumnya, saya dibujuk Ikbal untuk menjajal sebuah menara suar di bukit bernama Gunung Lampu.Letaknya di lokasi Objek Wisata Tuan Tapa.
Jumat pagi itu, saya sempat khawatir dengan doktrin nenek moyang kami bahwa tidak boleh mengerjakan hal-hal berat sebelum ibadah shalat Jumat kelar.
Karena sudah tiba di lokasi, kami beranikan diri untuk memanjat menara dengan ketinggian sekitar 60 meter.
Perlahan namun pasti, kami sampai di puncak.
Tapak kanan Tuan Tapa membentang di tepi tebing tampak sekecil jempol tangan.
Pandangan saya berhenti lama pada panorama Kota Tapak Tuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Bangunan penduduk menjalar di sepanjang garis pantai, dikepit pegunungan dan Samudera Hindia.
Saya enggan turun.
Suatu atraksi yang tidak masuk dalam daftar rencana perjalanan saya ke Aceh Selatan. Hal yang spontan memang selalu menyenangkan.
Saya menemukan kebahagiaan di puncak dua menara ini. Suatu saat nanti, saya harus kembali ke tempat ini.