Pesona Indonesia yang Sesungguhnya: Marsiti dan Landingan dari Bromo

Kebaikan orang yang kita temui di perjalananlah yang membuat kita rindu pada perjalanan itu. Yang membuat sebuah tempat menjadi lebih berkesan dan memesona.

SHARE :

Ditulis Oleh: Windy Ariestanty

Buat saya, manusia yang dalam keterbatasannya tak kehilangan kemurahan hati, rasa ingin tahu, dan keinginan untuk belajar terlihat luar bisa memikat.

Menunggang kuda. Berkuda adalah salah satu transportasi masyarakat Tengger untuk melewati padang pasir. Fotografer: Nico Wijaya

 JOSHI Daniel, teman baru sekaligus fotografer profesional asal India yang diundang oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia untuk menjelajah beberapa destinasi favorit di Indonesia tertawa tertahan melihat saya tak kunjung berhasil mengupas landingan atau petai gunung yang ditugaskan oleh Marsiti. Mangkuk di depan saya masih terlihat kosong sementara timbunan landingan seolah tak berkurang dari ukuran semula.

‘Kau lambat sekali!’ ledeknya.

Saya sama sekali tak terganggu dengan omongannya. Kulit petai akhirnya berhasil terkelupas, biji-biji hijau terlepas. ‘Kau lihat! Aku bisa!’ kata saya dengan nada bangga.

‘Yaaaah. Kau butuh berabad-abad untuk mengupas satu kacang saja.’

‘Kalau begitu, ini coba!’

‘Tugasku memotret. Kau yang memasak!’ sahutnya tenang. Dapur Marsiti terlihat penuh sesak hanya dengan keberadaan seorang Joshi di situ. Ia duduk sambil memeluk kakinya agar celah sempit antara meja dan dinding triplek cukup memuat tubuh tinggi besarnya.

Marsiti, si tuan rumah masuk ke dapur. Ia tertawa melihat Joshi duduk meringkuk di kursi kayu pendek di dapurnya.

‘Pindah ke dalam saja,’ ujarnya sambil melambaikan tangan. Saya menerjemahkan ucapan Marsiti ke Joshi. Joshi menggeleng. Ia memilih berada di dapur bersama kami dan sekaligus memastikan saya bekerja dengan benar, katanya. Kalau tak ingat ia tamu undangan yang didatangkan langsung oleh Kementerian Pariwisata, segenggam landingan sudah saya lemparkan ke wajahnya.

‘Wah, sudah banyak,’ komentar Marsiti ketika melihat mangkuk di hadapan saya. Saya tahu perempuan Tengger itu hanya ingin menyenangkan saya. Mangkuk itu, seperti kata Joshi, masih terlihat kosong. Ia mengambil sebuah landingan, lalu mengajari saya cara cepat mengupasnya. Joshi terkekeh, seperti mengerti apa yang diucapkan Marsiti.

‘Wow! Dia cepat sekali.’

‘Dia bilang aku pintar mengupas.’

‘Sungguh?  Tapi tidak terlihat seperti itu di mataku.’

Marsiti menatap Joshi sambil tertawa. Saya kembali menerjemahkan percakapan kami kepada Marsiti. Buat Marsiti, Joshi adalah orang India pertama yang ia lihat dalam hidupnya. Selama ini ia berpikir orang India hanya ada di televisi. Hanya mitos. Marsiti awalnya tidak tahu sama sekali kalau Joshi berasal dari India. Ia terus berbicara dengan bahasa Indonesia dan Joshi terus saja menanggapi dengan anggukan dan senyum yang tak kentara karena tertutup lebat jenggotnya. Sampai kemudian Marsiti bertanya dan Joshi kebingungan menjawab.

Saat itu saya memberi tahu Marsiti kalau Joshi berasal dari India. perempuan yang setiap harinya menyusuri punggung gunung untuk memetik landingan itu terbelalak. ‘India tenanan—India sungguhan?’ tanyanya dalam bahasa Jawa. Saya mengangguk. ‘Oalaaah. Ora iso ngomong Indonesia, tho?—Oalaaah. Tidak bisa bicara Indonesia, toh?’ Saya menggeleng.

Beneran dia mau ikut kita pulang ke rumah saya?’ Marsiti memastikan lagi. Tadi, sewaktu saya bertemu dengannya di ladang yang letaknya tak jauh di belakang penginapan kami, saya bertanya apa isi keranjang yang digendong Marsiti di punggungnya. Marsiti dengan murah hati menunjukkan isi keranjang itu; petai gunung atau biasa disebut oleh masyarakat Tengger dengan nama landingan. Bentuknya sekilas mirip petai cina, hanya saja seukuran kacang kapri. Kulitnya lebih kaku dan tebal. Marsiti menjelaskan kepada saya bahwa landingan biasanya dibuat sambal dan dimakan dengan nasi hangat. Masyarakat Tengger biasanya memakannya dengan aron—nasi jagung. Ia lalu memberi tahu saya cara memasaknya.

‘Mau bawa pulang? Nanti tinggal masak di rumah,’ tawar Marsiti. Saya menggeleng, memberi tahunya kalau saya hanya menginap semalam di sini.  Besok pagi, sebelum bertolak ke Surabaya menuju Bali, saya dan rombongan akan melihat matahari terbit di Penanjakan dan ke kawah Gunung Bromo.

‘Yah, padahal ini makanan kami. Sayang kalau kamu tidak mencobanya.’ Saya bilang saya akan mencobanya pada kunjungan berikutnya ke Bromo. ‘Mau ikut saya pulang dan makan malam di rumah? Saya buatkan,’ ajakan itu terlontar dari mulut Marsiti.

‘Tapi ya, ndak kayak makanan di hotel tempat kamu menginap. Mau?’

Saya melongo lalu mengangguk cepat. Ajakan itu terdengar seperti sebuah tawaran perjalanan gratis ke tempat impian tanpa saya harus melakukan sesuatu. Saya sampai lupa bertanya kepada Joshi apakah ia setuju atau tidak. Padahal, ia ada di di lereng bukit lantaran mengejar saya.

Ketika saya mulai membuntuti Marsiti ke rumahnya, saya baru tersadar dan memberi tahu Joshi bahwa saya mau ikut ke rumah Marsiti untuk belajar memasak kacang-kacang yang ditunjukkannya tadi. Joshi, seperti biasa, mengangguk. Saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh tahu apa yang dipikirkannya, jadi saya anggap anggukannya tanda tak keberatan tanpa bertanya apa yang ia mau.

Pertanyaan Marsiti menyadarkan saya. Ini akan  menghabiskan waktu. Joshi yang tak paham apa yang sedang kami bicarakan membesarkan mata, bertanya ada apa. Mengapa kami berhenti berjalan. ‘Uhm, aku tidak tahu berapa lama aku akan berada di rumahnya. Aku kemungkinan besar akan tinggal di sana sampai selesai makan malam. Kau boleh tak ikut. Kau seharusnya makan malam di hotel,’ kata saya kepada Joshi.

‘Apa?’ Ia membelakakan mata. ‘Tentu saja aku akan ikut kalian. Besok pun aku masih bisa makan di hotel kalau itu alasannya.’

Saya menyampaikan apa yang dikatakan Joshi. Marsiti tersenyum lalu lanjut bercerita soal sinetron Mahabarata yang ditontonnya dan orang-orang India yang dilihatnya di televisi. ‘Nanti malam ada. Akan aku tunjukkan ke Joshi,’ kata Marsiti. Saya tak menerjemahkan hal ini kepada Joshi. Bayangan orang India menonton tayangan India di rumah salah satu suku Tengger di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terasa menarik di kepala saya.

Dan di sinilah kami bertiga. Berdesak-desakan di dapur Marsiti yang beralaskan tanah dan luasnya tak lebih dari 2,5 m x 1, 5 m. Di luar langit sudah gelap. Perlahan-lahan udara dingin Tengger mulai menunjukkan gigitannya. Marsiti menyalakan api di tungku dan menjerang air. Api dari tungku menghangatkan dapur.

‘Joshi suka kopi?’ tanyanya kepada Joshi. Tanpa mengangkat wajah dari landingan saya menerjemahkan. Marsiti terus berbicara kepada Joshi, saya menerjemahkan sambil terus mengupas. ‘Joshi baik, ya?’ kata Marsiti sambil tertawa. ‘Ia betah dan mau bicara dengan saya.’

Kali ini saya mengangkat wajah, mengamati raut Marsiti yang sumringah karena senang mendapati dapur rumahnya didatangi orang India; bangsa yang selama ini dianggapnya hanya tontonan di televisi. Ia tinggal sendirian di rumah ini. Anak semata wayangnya telah menikah, tinggal tak jauh dari rumahnya bersama istri dan cucu satu-satunya juga. Suami Marsiti sudah lama berpisah dengannya gara-gara perempuan lain.

‘Saya pengin belajar bahasa Inggris, supaya bisa ngomong dengan lebih banyak orang asing,’ lanjut Marsiti. ‘Kayaknya senang kalau bisa ngomong langsung, kayak kamu dengan Joshi.’

‘Ibu bilang apa?’ Joshi penasaran.

‘Dia ingin bisa bicara bahasa Inggris supaya bisa ngobrol langsung dengan kamu, juga dengan lebih banyak orang asing.’

‘Bilang ke Ibu, dengan dia begini saja, ada banyak orang yang akan suka berbicara dengannya. Tak harus bicara pakai bahasa Inggris.’

Saya menyampaikan kepada Marsiti. Perempuan yang dulunya belajar bahasa Indonesia lewat siaran radio itu tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar. ‘Mosok—Masak?’

‘Dia tak percaya,’ kata saya ke Joshi.

‘Minta dia percaya. Buktinya, dari tadi aku dan dia berbicara.’

‘Ya, dan kau tak membantuku sama sekali mengupas kacang-kacang ini.’

‘Itu pekerjaanmu. Kau bilang kau mau belajar memasak.’

Saya mencebil. Marsiti tertawa. ‘Kamu sudah lama berteman dengan Joshi?’ Saya menggeleng. ‘Baru lima hari. Dia teman seperjalanan saya.’

Marsiti, sang perempuan Tengger. Keramahan dan kemurahhatian Marsiti adalah pesona Indonesia yang sesungguhnya. Fotografer: Joshi Daniel

KATA-kata Joshi tak mengurangi niat Marsiti belajar bahasa Inggris. Sambil mengulek biji-biji landingan, saya mengajarinya angka-angka. Ia belajar dengan cepat. Saya tak heran sama sekali mengingat dulu ia belajar bahasa Indonesia dari siaran radio saja. Sebelumnya, ia hanya bisa berbicara dengan bahasa Jawa Tengger.

‘Kalau mau bilang dalam bahasa Inggris, “Saya Marsiti”, bagaimana?’

‘Seperti bilang “Ayam”,’ kata saya, ‘A yam Marsiti.’

‘Ooooooh!’ Marsiti tertawa lalu berkata, ‘A yam Marsiti.’

‘Nah, Yam-nya, Ibu ubah jadi “Yem”.’ Saya turut tertawa melihat kesenangan di wajahnya. ‘A yem Marsiti.’

‘A yem Marsiti,’ tirunya.

Saya mengacungkan jempol. ‘Nanti kalau ada Joshi, Ibu bilang begitu, ya, ke dia.’ Joshi kebetulan pamit pulang sebentar ke hotel. Ia bilang ia ingin mengambil sesuatu. Saya iyakan saja mengingat ia tak membantu saya sama sekali mengupasi landingan.

Marsiti tertawa. ‘Isin—malu,’katanya. ‘Tadi kamu bilang “later” ke Joshi. Itu apa artinya?’

‘Nanti.’

Saya memandangi landingan yang sudah saya tumbuk dan diberi terasi, gula, garam, dan cabai oleh Marsiti . ‘Beri airnya sekarang, Bu?’

Later,’ jawab Marsiti.

Saya terperangah lalu mengacungkan jempol kepada perempuan yang saban hari  berhasil mengumpulkan 3 hingga 5 kg landingan untuk kemudian dijual ke pasar. Kebanggaan tak bisa ia sembunyikan. Senyum lebar menghiasi wajah kecokelatannya.

JOSHI kembali. Ia melongok dengan membungkukkan badannya di pintu dapur Marsiti.

‘Katamu tadi aku harus membantu Ibu mengangkat beras dari warung?’ tanyanya.

Saya bertanya kepada Marsiti apakah ia jadi pergi ke warung untuk mengambil beras pesanannya. Joshi akan membantunya mengangkat karung beras itu.

‘Ah, tak usah. Tadi saya sudah minta tolong ke tetangga untuk mengantarkannya kemari,’ sahutnya. ‘Sini duduk. Sebentar lagi kita makan,’ panggilnya kepada Joshi. Marsiti mengeluarkan lauk pauk; ayam goreng, empal, perkedel jagung. Katanya itu makanan sisa dari Hari Raya Karo yang baru selesai beberapa hari lalu. Ia meminta saya menggorengnya dengan minyak yang membeku akibat suhu udara terlalu dingin.

Sambil menata meja makan, Marsiti menyarankan saya kembali berkunjung ke Bromo sewaktu Hari Raya Karo. Akan ada perayaan dan makanan beraneka ragam pada hari raya adat suku Tengger ini. ‘Kalau pas Karo, kamu ndak akan disungguhi yang sisa-sisa begini,’ kata Marsiti sambil tertawa kecil.

‘Kalau saya ke Bromo lagi, nginep di sini boleh?’

‘Boleh! Nanti Ibu ajak kelilingan ke rumah-rumah orang-orang Tengger yang lain.’ Kata Marsiti upacara Karo diadakan selama seminggu penuh. Layaknya Hari Raya Idul Fitri, setiap orang saling bertandang ke rumah tetangga atau sanak saudara untuk bersilaturahmi.

Kami duduk melingkar di meja dapur. Sambal landingan adalah menu utamanya. Selain aron (nasi jagung) yang menjadi makanan khas penduduk Tengger, Marsiti pun menyajikan nasi putih. Ia khawatir, teman barunya yang berasal dari India nanti tak merasa kenyang hanya dengan memakan nasi jagung yang berbentuk balok-balok itu.

‘Sebentar aku cari sendok dulu. Aduh, apa tadi bahasa Inggrisnya?’ tanya Marsiti sambil menepuk jidat. Saya menjawab. Tadi kami sempat belajar soal sendok-garpu-piring-gelas.

Alaaah! Lali akuuu. Iyo. Spoon.– Alaaah! Aku lupa. Iya. Spoon.’ Ia tak menemukan sendok di dapurnya. Marsiti menatap dengan pandangan khawatir. ‘Bilang padanya, aku sangat ingin makan pakai tangan.’ Joshi seperti memahami apa yang tengah terjadi.

Saya menarik Marsiti duduk. ‘Kami akan makan sebagaimana cara Ibu makan.’

‘Pakai tangan?’ tanyanya kepada Joshi. Joshi menggoyang-goyangkan kepala sambil menyodorkan piring. ‘Lah? Piye, tho?—Lah? Bagaimana ini?’ Tak urung disendokinya juga nasi hangat, Aron, dan sambal landingan ke piring Joshi.

Bertiga, kami makan dengan lahap menggunakan tangan. Marsiti menatapi Joshi tanpa berkedip dan sesekali menggeleng-gelengkan kepala. Dari ruang tamu, sayup terdengar suara-suara dari televisi yang menayangkan ‘Mahabarata’. Marsiti mencolek tangan saya, senyuman di wajahnya melebar. Rupanya, ia ingin segera menunjukkan tontonan itu kepada kawan barunya.

***

Bromo pada pagi hari. Berduyun-duyun wisatawan dari seluruh dunia datang ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk menyaksikan kemegahan gunung ini. Fotografer: Nico Wijaya

BROMO tak pernah seistimewa ini buat saya sebelumnya. Namun, Marsiti-lah, yang kini membuat salah satu destinasi top Indonesia di Jawa Timur ini terasa berbeda. Dengan semua keterbatasan yang dimilikinya, baik bahasa dan fasilitas, ia tak kehilangan keramahan kepada siapa saja, termasuk orang-orang asing.

‘Kau tahu apa yang membuat Indonesia memesona?’ tanya Joshi dua hari sebelumnya ketika kami menyusuri trotoar Malioboro, Jogjakarta, pada pagi hari seusai berburu foto di Pasar Beringharjo. ‘Orang-orangnya,’ lanjut dia.

Selagi saya menulis ini, wajah Marsiti terus terbayang, menerbitkan rasa senang mengingat apa yang terjadi petang itu di Desa Sukapura, Probolinggo. Kebaikan-kebaikan tak terduga dari orang-orang asing yang saya temui di perjalananlah yang lebih kerap membuat saya merindukan perjalanan itu, yang membuat sebuah tempat menjadi sangat berkesan dan memesona.

Dan, pada orang-orang seperti Marsiti, pesona Indonesia yang sesungguhnya terpancar. [13]

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU