Ada satu fakta yang sebelumnya tak pernah diceritakan oleh Elizabeth Gilbert (penulis Eat, Pray, Love) pada orang-orang. Setelah beberapa tahun novel dan film Eat, Pray, Love rilis, ia akhirnya memutuskan untuk menuliskannya di media online CnTraveler dan diterbitkan 1 Maret 2016 lalu.
Di Indonesia, Elizabeth tak hanya menemukan cinta sejatinya. Tetapi juga bertemu seorang wanita Indonesia yang berhasil mengubah pandangan hidupnya. Wanita itu bukan tokoh termasyhur atau orang-orang yang terkenal, namun seorang wanita yang tinggal di pulau terpencil.
Pertemuan Elizabeth Gilbert dan wanita itu diawali dari keputusan Elizabeth menginap di sebuah pulau terpencil yang bisa ditemukannya di peta. Ia menyewa penginapan berdinding bambu selama sepuluh hari. Elizabeth berpikir untuk mengasingkan dirinya sendiri. Dia ingin kabur, ingin melupakan segala masalah yang menimpa.
Seperti yang diceritakan dalam novel dan diilustrasikan film Eat, Pray, Love hidup Elizabeth benar-benar buruk setelah berpisah dengan suami, kehilangan rumah, bangkrut, kehilangan teman, dan bahkan kehilangan jati dirinya sendiri.
Selama 10 hari di pulau itu, Elizabeth bagai mayat hidup. Kesunyian meliputi dirinya. Elizabeth pun berpikir bahwa ide pengasingan akan membuat luka di jiwanya tersembuhkan. Setidaknya, pulau kecil tanpa akses internet atau transportasi yang memadai diharap mampu membuat Elizabeth seolah-olah raib dari dunia.
Namun yang ada, Elizabeth justru makin terpuruk. Hari-hari penuh depresi di pulau asing membuat Elizabeth lebih sering menyendiri. Pada subuh dan senja Elizabeth akan berjalan mengelilingi pulau kecil tersebut, mencoba untuk bermeditasi namun seluruh kegagalan bertubi-tubi yang menimpanya, membuat Elizabeth justru mendebat pikiran sendiri, yang akan selalu berakhir dengan tangisan tersedu-sedu. Elizabeth tak melakukan apa pun selain menangis; dia tak makan, tak berjemur di pantai seperti para turis kebanyakan, dan bahkan jarang makan. Dia tak mempunyai kegiatan lain yang bisa mengalihkan pikirannya.
Tak seperti turis lain yang menikmati acara liburan mereka di Indonesia, Elizabeth justru mengurung diri sendiri dari sumber-sumber kesenangan.
Sampai akhirnya Elizabeth bertemu dengan seorang wanita lokal, satu dari sedikit penduduk pulau, ketika tengah berjalan mengeliling pulau. Dia merupakan istri seorang nelayan dan seorang muslim. Dialah orang pertama di pulau itu yang memberikannya senyuman manis, setelah para pasangan turis dan masyarakat sekitar hanya melayangkan pandangan aneh pada dirinya yang selalu tampil kusut.
Senyuman itu, membuat Elizabeth ikut tersenyum, meski agak dipaksakan. Sejak saat itu, tiap kali Elizabeth berjalan melintasi rumah wanita itu, dia selalu menemukan wanita itu berdiri di depan rumah, seolah menunggu kehadirannya. Wanita lokal itu Elizabeth perkirakan berusia sama dengan dirinya, yaitu 30 tahunan. Wanita lokal itu memiliki anak kecil yang selalu mengekori langkahnya atau bergelayut manja di kakinya.
Pada malam ke-8 di pulau itu, Elizabeth jatuh sakit. Sama sekali tak bisa bangun dari ranjang. Dia demam, tubuhnya menggigil kedinginan dan ketakutan mulai merasuki dirinya. Hal paling buruk yang bisa terjadi saat mengasingkan diri adalah jatuh sakit.
Beberapa kali Elizabeth bolak-balik ke toilet di kegelapan malam dan terus-menerus menyesali keputusannya mengasingkan diri. Tidak ada orang yang peduli dengannya di sini, lantas kenapa dia datang ke sini? Keadaan Elizabeth tak membaik keesokkan harinya hingga membuatnya berpikir bahwa dia akan mati dan ibunya pun tak akan tahu apa yang terjadi.
Tetapi kemudian, saat petang datang, terdengar ketukan di pintu. Ternyata istri nelayan itu datang berkunjung. Melihat keadaan Elizabeth, wanita itu sangat khawatir. Karena tak bisa bahasa Inggris, wanita itu menggunakan bahasa tubuh. Wanita itu mengisyaratkan Elizabeth untuk menunggu sebentar ,kemudian berlari keluar, cepat.
Wanita itu pergi, namun kembali lagi satu jam kemudian. Dia membawa sepiring nasi, sayur-sayuran, dan air putih. Elizabeth dengna lahap memakan makanan yang dibawa wanita itu.
Ketika wanita itu merangkulnya, Elizabeth tak bisa menahan diri lagi, ia menangis sekencang-kencangnya. Dia merasa kehangatan yang luar biasa seolah wanita itu adalah ibunya. Wanita itu terus menemani Elizabeth selama satu jam lamanya. Tak ada ucapan yang tercetus dari bibir, sebab keduanya tak memahami bahasa satu sama lain. Namun bahasa tak pernah jadi masalah. Dengan duduk menemani dan merangkulnya, wanita itu seolah berkata: “Aku melihatmu. Kamu ada. Aku akan bersamamu dan memastikan kamu baik-baik saja.”
Saat itulah Elizabeth merasa, bahwa yang dibutuhkannya selama ini bukanlah pengasingan diri, tetapi justru menjalin hubungan dengan orang-orang.
Sampai kini, Elizabeth selalu teringat pada wanita itu. Wanita yang membuat pandangan Elizabeth tentang hidup pada umumnya, dan muslim (Elizabeth sempat memiliki pandangan negatif tentang orang muslim) berubah drastis. Salah satu wanita terbaik yang pernah ditemuinya di dunia yang mengajarkannya banyak hal. Wanita yang tahu apa yang Elizabeth butuhkan meski mereka adalah orang asing yang tak saling kenal.
Indonesia akan selalu punya tempat di hati Elizabeth.