Pendakian Prau: Sensasi Jalur ‘Neraka’ di Musim Kemarau

Pendakian Gunung Prau, sebuah pendakian setelah vakum mendaki selama 13 tahun. Sensasi jalur neraka saat musim kemarau ternyata telah menanti.

SHARE :

Ditulis Oleh: Annisa Andrie

Musim kemarau tengah menyambangi alam Indonesia. Para petualang yang sebelumnya mati-matian menahan diri dan menahan kaki selama musim hujan pastilah sudah bersiap memenuhi panggilan gunung-gunung di seluruh penjuru negeri. Tak ada salahnya para kekasih semesta mencicipi keseruan lain di balik keringnya tanah gunung Prau di musim ini.

Pendakian pertama setelah vakum 13 tahun

Foto oleh Annisa Andrie

Kami memulai perjalanan ketika matahari mulai bergerak rendah meninggalkan hari. Sebelumnya, rombongan yang terdiri dari 11 orang mulai menginjakkan kaki di tanah Dieng tepat saat adzan Asar usai berkumandang. Sembari sejenak melepas lelah setelah tiga jam perjalanan dari Magelang, kami melaksanakan Sholat Ashar di masjid yang terletak tak jauh dari Basecamp Pathak Banteng.

Waktu belum genap menunjukkan pukul empat sore, tapi suasana saat itu seperti hampir Maghrib. Mungkin karena kabut tipis sudah mulai turun menyelimuti sebagian bangunan masjid. Hawa dingin bukan saja hanya menusuk kulit, tapi seolah telah merobek-robek jaringan di bawah kulit. Terlebih, air wudhu yang ada di masjid ini dinginnya sudah seperti air es yang baru saja mencair dari dalam freezer.

Menjelajah alam liar samasekali bukan piknik! Baca cerita mengenai Pendakian Gunung Talang oleh Fransisca Arnoldi ini

Saat itu awal September 2014, puncak musim kemarau dimana cuaca sedang dingin-dinginnya. Kami melakukan pendakian ke Gunung Prau melewati jalur Pathak Banteng. Di antara 11 orang rombongan, ada lima cewek yang sama sekali belum pernah mendaki gunung. Maka tak heran jika mereka sempat salah kostum pendakian dengan memakai sepatu keds, bukan sepatu trekking untuk melakukan perjalanan menuju puncak Prau.

Usai sholat dan lapor ke petugas yang ada di Pos Pathak Banteng, kami mengisi perut terlebih dulu di angkringan yang ada di dekat pos. Jangan khawatir dengan harga. Untuk makan, minum, dan ngemil ber-sebelas orang di angkringan ini, kami hanya mengeluarkan uang total 55 ribu rupiah. Setelah perut terisi penuh dengan nasi kucing, teh hangat, dan gorengan, kami pun siap melakukan pendakian menuju puncak Gunung Prau yang memang sedang hype.

Bagi saya, ini adalah pendakian pertama setelah vakum selama 13 tahun. Maka tak heran, jalur Pathak Banteng terasa cukup berat di musim kemarau.

Sepanjang jalan menuju Pos 1 hingga Pos 3 hampir tak ada jalan landai untuk bisa berjalan santai. Jalurnya terus naik, bahkan dengan kemiringan hampir 45 derajat.

Baru sekitar lima belas menit berjalan setelah meninggalkan permukiman terakhir warga, kami sudah disuguhi dengan jalan menukik berupa ratusan anak tangga yang dibuat oleh warga setempat. Dengan beban cukup berat dalam carrier yang kami panggul, jalan berupa tangga ini sangat menguras energi. Beberapa kali kami harus berhenti untuk menstabilkan kembali jalan napas yang sudah kembang kempis. Tapi bagaimanapun kami harus semangat. Perjalanan masih dua jam lagi, itu pun kalau tak banyak berhenti.

Setelah meninggalkan Pos 1 dan menuju Pos 2, siapkan saja energi lebih. Kenapa? Dengan kemiringannya yang ekstrem, berjalan di jalur ini harus sering-sering merangkak. Selangkah demi selangkah, tangan-tangan ini harus mencengkeram tanah di depan yang sejajar dengan dada. Kami harus sering berhenti mengingat banyak anggota rombongan yang baru pertama kali mendaki.

Sampai di Pos 3, hari sudah gelap. Senja baru saja habis di horizon barat. Satu per satu senter dan headlamp dinyalakan. Jalur sepanjang jalan ini masih ekstrem kemiringannya, bahkan lebih. Pohon-pohon yang menjulang di kanan kiri jalur pendakian membuat malam semakin pekat. Hey, tidak terlalu pekat, ternyata.Perlahan cahaya dari bulan yang sedang purnama menghujani tubuh-tubuh pendaki yang masih berjuang melewati jalur ini.

Dan, sampailah kami di jalur ‘neraka’ itu

Foto oleh Annisa Andrie

Sebuah jalur berupa tanah miring sepanjang puluhan meter yang sangat licin. Licin bukan karena becek, melainkan karena butiran tanah kering yang beterbangan ditiup angin gunung. Saking licinnya, kaki manapun yang menginjak tanah tersebut pasti akan meluncur turun.

Ada satu jalur yang sangat licin dan luncurannya berkelok-kelok. Tepat di bagian kelokan, sebelahnya adalah tebing curam. Saking berbahayanya jalur ini, di sini telah tersedia tali tambang yang diperuntukkan pendaki untuk berpegangan. Tanpa tali ini, siapapun yang lewat jalur tersebut pasti merosot lagi ke bawah. Dan bila tali putus, jurang di tiap kelokan telah siap menjemput bersama maut.
Aku takut …,” ujar salah salah satu anggota rombongan yang baru pertama mendapat pengalaman seperti ini. Suaranya bergetar, mungkin benar ia ketakutan. “tapi aku sukaaa …,” teriaknya kemudian, sembari tertawa lepas. Kalimat terakhirnya membuat semangat kami kembali menyala, bahkan lebih gila.

Peraturan dibuat bukan untuk dilanggar. Baca cerita inspiratif tentang pendakian Gunung Merapi ini

Kurang lebih satu jam kami harus melewati jalur ‘neraka’ karena malam itu sangat ramai pendaki. Bahkan untuk bisa melangkah di jalur mengerikan ini kami harus antre. Melangkah satu dua tapak, setelah itu berhenti lagi sembari berpegangan kuat-kuat pada tali. Tumit-tumit kaki yang menahan kaki agar tak merosot turun sebenarnya sudah sangat lelah melakukan tugasnya. Namun kami tak mungkin menyerah. Kaki-kaki ini harus terus melangkah, meski napas kami setengah-setengah.

Pukul delapan malam kami baru sampai di tujuan. Ratusan tenda pendaki sudah berdiri di puncak Prau yang lapang. Kami sempat kesulitan mencari area kosong untuk mendirikan tenda, tapi akhirnya dapat tempat di dekat sekumpulan Daisy yang sedang mekar-mekarnya.

Selanjutnya? Bercengkerama dengan kawan-kawan sembari menikmati tusukan dingin adalah obat termujarab memanggil hangat. Jangan lupa cukupkan istirahat, esok pagi sambutlah golden sunrise dengan hati yang lebih bisa menerima bahwa sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan untuk memperkaya jiwa, dari apa pun yang datang menyentil kita.

Foto oleh Annisa Andrie

Ingat, sensasi jalur ‘neraka’ masih akan kamu nikmati jika kembali melakukan perjalanan turun melalui jalur Pathak Banteng. Perjalanan turun lebih berbahaya, sehingga beberapa teman yang tidak menggunakan sepatu trekking akan turun dengan cara duduk lalu merosot karena berdiri pun tubuh mereka pasti terbanting.

Sudahkah hilang rasa duduk sama rendah berdiri sama tinggi d kalangna pendaki? Baca tulisan mengenai pendaki senior vs pendaki junior yang ramai diperbicangkan di forum-forum backpacker ini

So, jangan pernah melakukan pendakian tanpa menggunakan perlengkapan dan peralatan sesuai standar. Jangan lupa, ada nyawa yang kita bawa.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU