Apa yang saya pikirkan pasti inilah yang ada dipikiran orang lain.
‘Perjuangan mendaki, tentang kebersamaan, kekompakkan, tadzabur alam, dan sebuah hadiah di puncak telah menanti.’
Itulah ekspektasi dari pendakian menurut saya sebagai pemula.
‘Kamu belum terlihat keren kalau belum mendaki gunung?’
saya mendengarnya dari seseorang.
Benarkah seperti itu pandangan orang? Malam ini bisa menjadi pembuktian. Saya bersama ribuan pendaki dengan ransel besarnya, jalan beramai-ramai mengantri untuk melintasi jalur pendakian. Jalan kecil yang terjal, membuat kami harus sabar menunggu pendaki sebelumnya berhasil melewati medan tersebut. terlihat seperti antian penonton konser.
Mereka begitu antusias dengan pendakian ini, termasuk saya. Besoknya adalah tanggal 17 Agustus. Untuk apa lagi kalau bukan untuk mencari bahan foto untuk ditampilkan di medsos. Benarkah? Tidak, tidak. Tidak semua pendaki berpikiran seperti itu.
Tanggal kemerdekaan hanyalah sebuah kesempatan untuk mengabadikan momen yang tidak biasa.
Di sepertiga malam terakhir, tibalah saya dan rombongan di tempat perkemahan. Selamat datang di Pasar Bubrah yang sudah sangat ramai mirip seperti pasar. Hampir di sudut tempat landai sudah terisi dengan tenda-tenda dari 1600 pendaki.
Dinginnya malam menjelang pagi tidak begitu sepi. Hiruk pikuk manusia saling bersahutan. Menunggu sunrise tiba, saya tidak bisa memejamkan mata. Matras saya tidak mampu melindungi saya dari bebatuan terjal yang ada di bawahnya. Semua badan terasa sakit.
Tidak hanya pendaki dari dalam negeri saja. Ada satu pendaki warga asing yang mengalihkan pandangan saya. Ia sedang mengobrol dengan pendaki Indonesia lainnya. Saya sempat menguping untuk mengorek info. Kebetulan tenda kami berdekatan, dan saya sedang bertugas untuk menjadi penunggu tungku.
Turis tersebut datang sendiri tanpa membawa tenda. Hanya barang-barang seadanya yang ia bawa di ransel. Beruntung ia bertemu dengan pendaki lain yang mau berbagi tempat tidur dan makanan.
Pendaki dari Indonesia terdengar tidak terlalu lancar berbahasa Inggris sedangkan turis asing tersebut tidak pandai menggunakan bahasa Indonesia. Tapi mereka terlihat berbincang bersama dan sesekali tertawa.
Hal yang paling membuat saya sedih ketika saya harus menahan buang air kecil. Karena di dataran luas ini, tidak ada tempat yang aman untuk mencari tempat persembunyian. Apalagi di tengah kondisi ramai seperti ini.
Mulai pukul 6 pagi, puluhan bahkan ratusan manusia sudah terlihat berbaris seperti semut untuk naik ke puncak garuda, puncak tertinggi dari merapi. Padahal sudah ada himbauan, kecuali mereka yang berkepentingan untuk melakukan penelitian, dilarang untuk mendaki sampai ke puncak.
Tapi itulah kreatifnya orang-orang di sini. Peraturan ada untuk dilanggar. Apakah mereka terlihat gagah setelah berani melakukan pelanggaran? Apakah terlihat keren? Tidak.
‘Ayo nanjak, mumpung kita di merapi?’ ajakan itu datang dari teman saya sendiri.
‘Lupa himbuan dari pengurus di basecame kemarin ya?’
‘Lihat itu, puncak ramai. Udah nggak papa, ayo jalan.’
Saya melempar pandangan sekaligus pertanyaan ke Mas Ipat. Dia mengerti apa yang saya maksud.
‘Aku nggak deh. Puncak ramai gitu. Bahaya.’
Saya setuju pendapat mas Ipat. Okelah, dari 7 orang tersisalah kami berdua menjadi kuncen tenda. Membayangkan orang-orang mengantri untuk mencapai puncak, berpasir licin, dan tentu saja asap kawah merapi yang berbahaya membuat saya tidak bernafsu untuk ke sana.
Kami lebih memilih bermain kartu dan menyiapkan sarapan untuk teman-teman.
Semakin siang puncak merapi semakin tebal mengeluarkan asap. Saya mulai cemas ketika teman-teman tak kunjung tiba. Semua masakan sudah siap. Mulai dari nasi yang setengah gosong, mie instans, empek-empek, dan nugget.
Kami semakin mengantuk dibuatnya. Ketika tengah hampir tertidur, mereka mulai datang satu persatu. Mereka kelaparan. Untunglah kami sudah menyiapkan sarapan. Mereka makan dengan lahap.
‘Ada yang cedera di atas. Kejatuhan batu besar. Untung tidak mengenai kepalanya.’ salah satu dari mereka bercerita.
Mereka juga menambahkan bahwa orang yang mengalami cedera kemungkinan mengalami patah tulang. Terpaksa dari pengelola merapi harus membawanya menggunakan tandu.
***
Aturan tersebut ada untuk keselamatan kita. Karena mereka peduli maka mereka membuat aturan. Sayangnya, kita kerap mengabaikan keselamatan demi hal-hal yang tidak bermanfaat.