Pendakian gunung kini menjadi sangat populer.
Mungkin bisa dikatakan pendakian mulai menjadi populer karena pengaruh film 5 cm, dimana film tersebut mengambil setting lokasi di Gunung Semeru, Jawa Timur – gunung yang menjadi impian banyak pendaki.
Di film tersebut, pada menit-menit menuju puncak Mahameru, para pendaki disuguhi fenomena yang sering kita sebut samudera awan. Penorama yang membuat semua mata terpana, takjub akan kebesaran alam.
Kini, orang-orang seperti berlomba mendaki gunung dengan berbagai macam alasan. Misalnya untuk menaklukan diri sendiri, untuk menikmati puncak, atau bahkan sekadar ingin memamerkan hasil jepretan pemandangan diatas gunung yang begitu indah -percayalah ini manusiawi.
Pendakian bukan hanya tentang carrier merk ternama, celana levis sobek-sobek -agar keren dan lain sebagainya.
Hal yang lebih penting, fisik dan keterampilan seseorang ketika berada di Gunung. Misal, ketika seseorang yang tersesat di Gunung, hal apa yang harus dilakukannya? Kemudian, bagaimana cara menangani orang yang terkena hipotermia? Karena kejadian tersebut tidak akan pernah kita duga akan terjadi.
Saat itu saya pergi bersama rekan saya menuju gunung yang terletak di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Dayeuh Manggung yaitu Gunung Cikuray.
Gunung Cikuray menyuguhkan pemandangan samudera awan yang menakjubkan di puncaknya. Jalur pendakian gunung ini memiliki jalur yang curam dan licin terlebih lagi ketika mendaki di musim penghujan, istilahnya, “kita mendaki capainya dua kali”.
Ketika kontur tanah bercampur air menjadi licin dan diperlukan tenaga ekstra untuk menaklukan trek. serta hutan yang masih rapat, yang menjadi gelap ketika pendakian dilakukan di sore hari. Jalur pendakian Cikuray sangat tidak direkomendasikan bagi seseorang yang ingin mengawali untuk kegiatan mendaki gunung.
Singkat cerita, saya memulai pendakian dari pos pemancar pukul 16.00 WIB. Jalur di kebun teh saja sebenarnya sudah cukup menyulitkan ditambah beban kerir yang dirasa over capacity.
Sambil berjalan di tanah licin ditemani rintik hujan, saya beristirahat terlebih dahulu, untuk memulihkan stamina. Kami sampai di trek yang licin, gelap. Akar pohon menghiasi sebagian jalur ini.Di pos 3, kami istirahat sejenak sambil ngopi-ngopi, kebetulan saya membawa air termos yang masih panas.
Tidak jauh dari pos 3, kami menemukan 2 orang pendaki, pria dan wanita. Terlihat jelas di wajah wanita itu tampak kelelahan yang mungkin diakibatkan karena persiapan fisik yang belum optimal. Saya sempat menyapa dan berinisiatif bertanya,
‘Kenapa mas temannya? Butuh bantuan?‘
‘Ini mas teman saya kelelahan, cedera engkelnya kambuh. Oh iya mas tidak usah, ini hanya masalah biasa kok,’ si pria menolak tawaran kami dengan gestur aneh.
Dalam hati saya berkata, kok bisa si mas tersebut mengatakan cedera engkel itu biasa. Bagi saya itu tidak. Karena pengalaman saya cedera engkel itu bisa pulih sekitar 1 minggu pulih dan tentunya tidak bisa pulih secara total dalam waktu singkat.
‘Mas ini mau turun atau mendaki?’
‘Saya mau naik mas, tapi ini tunggu kondisi teman saya dulu.’
Saya mencoba memastikan agar teman wanitanya itu dalam keadaan baik-baik saja.
‘Benar mas itu temannya tidak apa-apa?’
‘Tidak kok mas, ini bentar lagi juga sembuh.’
Tiba-tiba si wanita berkata dengan nada tinggi.
‘Kamu bilang nggak apa-apa? Kakiku ini sakit tahu, ini semua gara-gara kamu!’ si wanita memasang wajah jengkel.
‘Saya dipaksa untuk naik kesini, katanya pemandangannya bagus ada samudera awannya, dan katanya jalurnya itu nggak terlalu sulit’ berkata kepada saya.
Sebenarnya saya bingung mau menjawab apa, karena tidak jika saya mengatakan bahwa persiapan fisik mba yang belum siap, hal itu akan menyinggung perasaan teman prianya yang menjadi sosok yang bersalah walaupun memang salah.
‘Ya sudah, sekarang Mbak istirahat dulu saja ada baiknya bangun tenda dulu aja daripada kedinginan nanti akan memperparah kondisi mbak.’
Sudah percakapan itu saya langsung meninggalkan mereka untuk melanjutkan perjalanan.
Kejadian tadi menjadi pelajaran.
Saat mengajak seseorang untuk mendaki gunung, dengan obsesi bisa berfoto berdua dengan pacar apalagi, serta latar samudera awan -yang sebenarnya harus menaklukan jalur yang sulit, mungkin kita harus berpikir seribu kali.
Karena persiapan fisik dan mental itu tidak bisa dicetak dengan sekali jadi, harus ada proses. Artinya kita tidak bisa memaksakan teman atau bahkan pacar untuk menjadi partner mendaki gunung secara dadakan tanpa persiapan.
Saat mendaki jangan pernah berpikir untuk menaklukan alam. Ingat alam tak akan pernah bisa ditaklukan. Jadikanlah pendakian sebagai ajang untuk mengenal batas diri kita.