Pendakian Gunung Slamet beberapa tahun lalu sebelum gunung itu ditutup hingga tulisan ini dibuat, pendakian yang membuat saya jatuh cinta dengan alam dan petualangan.
Mendaki gunung, membuat kita berada sangat dekat dengan alam. Waktu itu benar-benar pertama kalinya saya mencoba mendaki gunung. Saat itu saya masih dipandu oleh teman untuk menyiapkan perbekalan. Masih terus bertanya apa yang perlu di bawa dan apa yang tidak perlu dibawa. Kadang ada perbekalan yang menurut saya penting untuk di bawa, tetapi ternyata tidak harus dibawa. Saat itu saya berpikir untuk membawa pakaian ganti dan baju hangat sebanyak yang muat di carrier, dan ternyata hal tersebut tak disarankan. Teman-teman menyarankan saya membawa secukupnya, agar carrier masih memiliki ruang untuk barang lain yang lebih penting. Bahkan saat itu saya sempat berpikir untuk membawa ransel biasa sebelum saya tahu saya membutuhkan carrier yang kuat untuk membawa barang-barang. Dan lagi, saya samasekali tak berpikir untuk membawa sleeping bag dan matras, hingga teman saya menggeleng-gelengkan kepala melihat saya.
Jujur, saya harus banyak berterima kasih pada teman-teman saya kala itu yang sangat sabar menjelaskan dan membantu saya menyiapkan segala sesuatunya. Mereka membantu mencarikan matras, juga mengajari packing yang benar. Matras ternyata dijadikan kerangka agar tas bisa berdiri. Selain itu, perlu trashbag sebagai wadah perbekalan yang di bawa agar tidak basah. Perpaduan antara matras dan trasbag itu untuk mencegah embun masuk dalam tas sehingga menjaga perbekalan yang dibawa tetap kering. Kemudian perbekalan di tata dengan memperhatikan keseimbangan berat tas ketika dibawa. Perbekalan yang dirasa kurang sering digunakan diletakan paling bawah. Pakaian ganti atau selimut -ini akibat saya tidak memperoleh sleeping bag, sehingga terpaksa membawa itu, menurut saya nantinya kurang sering digunakan sehingga di letakan di paling bawah.
Mendaki gunung, bukan seperti orang migrasi dari kota lalu ke gunung. Pendakian ini membuat saya belajar bagaimana harus menghemat dan mengestimasi kecukupan dari perbekalan untuk beberapa hari. Apalagi direncanakan 3 hari 2 malam nge-camp di gunung. Tentu harus menyiapkan perbekalan yang cukup. Yang terpenting untuk dibawa si air mineral dan makanan sumber energi. Ketika itu saya membawa 2 botol air mineral 1,5 L ditambah 1 botol air mineral 600 ml dan 1 botol air berasa. Ya, menurut teman saya memang diusahakan membawa minuman berasa atau yang menambah ion tubuh. Untuk makanannya saya hanya membawa mie instan, dan 1 bungkus roti isi. Selain itu ada satu hal yang cukup penting, teman saya menyarankan untuk membawa coklat, karena coklat dapat seketika menambah energi dan cukup simpel untuk dibawa.
Di hari ke-2 pendakian, air mineral yang saya bawa dan beberapa teman-teman saya yang lain sudah cukup banyak berkurang. Saya paham hal baru, jika ternyata saat pendakian hal yang cukup sulit dikontrol adalah pengelolaan bekal air. Beruntung di pos 5 rombongan kami menemukan sumber air. Teman saya yang sudah beberapa kali mendaki Gunung Slamet dengan cekatan mengumpulkan botol-botol kosong dari anggota rombongan dan mengisinya di sumber air tersebut.
Air dari sumber air ini dingin dan menyegarkan, sanggup menghilangkan lelah di badan.
Meski demikian, mungkin karena pengelolaan bekal kami yang tak begitu baik, saat turun hanya tersisa 1 botol yang harus kami bagi ber-7. Dari inilah saya belajar untuk mengestimasi apa yang menjadi prioritas dan apa yang tidak.
Bicara tentang medan pendakian, medan yang harus ditempuh mengingatkan saya pada masa kecil di desa dulu saat saya masih sering bermain di sungai dengan medan yang harus naik-turun bukit. Tetapi, medan gunung slamet ini saya merasa lebih landai atau tidak terlalu terjal. Waktu itu kebetulan sedang musim kemarau, sehingga medan tidak terlalu licin atau becek untuk dilalui.
Sewaktu menuju puncak, dengan medan bebatuan, teman saya menyarankan untuk berhati-hati dalam menapaki batu, agar tidak salah pilih jalur karena kanan-kiri adalah jurang-jurang. Di sini saya belajar tentang kewaspadaan dan konsentrasi penuh dalam mengambil keputusan.
Saya mendapat nilai-nilai luar biasa di pendakian pertama, yang tak pernah saya temukan sebelumnya. Ini yang saya anggap sebagai “bonus pengalaman”.
Kebersamaan yang sesungguhnya
Fisik saya belum sekuat mereka yang sering naik gunung. Saya masih lebih sering mencuri waktu untuk sekedar mendiamkan kaki saya sejenak. Belum lagi cuaca dan medan yang harus ditempuh tidak selalu bisa diprediksi. Mendaki gunung tidak semudah bayangan saya.
Berkali-kali teman saya menyampaikan jika lelah, berhentilah, istirahatlah dulu. Dia mengatakan jangan terlalu ngoyo, nikmatilah perjalanan, kendalikan tenagamu.
Bukankah kita datang kemari untuk menikmati alam, dan bukan berlomba?
Kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang. Mereka yang sudah sering mendaki gunung tetapi tetap bersedia menunggui saya yang belum sekuat mereka. Tiada alasan bagi saya untuk mengeluh. Mereka selalu menyemangati. Perasaan saya memang ingin segera sampai ke tujuannya yaitu puncak, tetapi bukan seperti itu esensinya. Tetap mengontrol energi agar bisa tetap terjaga sampai tujuannya nanti. Banyak belajar dari perjalanan ini, dan banyak belajar kebiasaan mereka yang sudah sering mendaki gunung.
Memandang alam dari sudut pandang yang berbeda
Hal yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya. Lebih dekat dengan awan, biru langit, sejuk angin. Sejauh mata memandang, bentang alam lebih indah, menyihir pikiran saya. Terkagum dengan samudera awan yang sebelumnya lama ku dengar dari teman yang sering mendaki gunung.
Keindahan matahari terbit dari puncak gunung pun punya terasa berbeda. Belajar dari mentari pagi, kehadirannya selalu dinantikan untuk bisa menghangatkan. Dari sisi inilah, saya bersyukur dan memahami setiap alam yang tercipta untuk mengindahkan bumi ini.
Bertemu mereka para pendaki lain yang ramah
Tegur sapa dengan para pendaki lain, seperti menjadi sebuah tradisi. Saya masih mempelajari hal ini, membedakan antara tradisi dengan keramah tamahan yang memang ada dalam setiap orang. Mereka seperti bertemu dengan kerabat jauh. Tak jarang mereka sering menyapa, tersenyum, sedikit-sedikit memberi semangat dan saling menyemangati. Tidak hanya tegur sapa, terkadang sering bertanya asal dan pengalaman.
Saat itu teman saya berkenalan dengan tiga orang pendaki yang sudah cukup senior, hingga kami mendaki mencapai puncak bersama. Baru sebentar berkenalan rupanya sudah menciptakan suasana seperti sudah kenal lama. Hingga tak sungkan meminta tolong untuk memotret perjalanan saat di puncak. Melihat saya dan teman saya tidak ada yang membawa kamera bagus, sehingga mereka mau memotret kami. Abadikan setiap momen, kata mereka.
Saya mengamati banyak pendaki yang turun membawa sampah dari atas. Ini salah satu yang menjadi tradisi di pendakian. Sekecil apapun sampah dipunguti, dikumpulkan dan dibawa turun. Saya masih menganalisis dan terus mempelajari apa-apa yang ada dalam dunia petualangan dan pendakian ini.
***
Kesan ingin mendaki lagi, selalu muncul setelah pendakian pertama. Inilah kesan dari pendakian pertama saya ke Gunung Slamet yang membuat ingin kembali mendaki lagi ke tempat yang sama atau menjelajah suatu tempat.