– Naik gunung zaman dahulu itu penuh perjuangan. Mau nanjak ke Semeru aja, kayak sekarang pengen jalan-jalan ke Raja Ampat – Rajin Pangkal Pandai (Aka. Bunder)
Beruntunglah kamu yang sekarang bisa menikmati gunung dengan begitu mudahnya (meski tetap butuh perjuangan, setidaknya sekarang lebih mudah, akuilah). Tidak seperti zaman dahulu, ketika mendaki gunung adalah hobi yang ‘berat’ karena minimnya akses pengetahuan, peralatan, dan uang.
Kamu yang sekarang hobi naik gunung, alat apa aja yang sudah kamu miliki? Ransel (carrier), sepatu gunung, tenda, sleeping bag, headlamp? Kalaupun belum punya semua alat itu, paling nggak kamu bisa menyewa. Toh sekarang banyak banget persewaan alat gunung.
Dahulu, nggak banyak toko yang menyewakan alat gunung. Mau membeli pun nggak mampu. Karena harganya yang sangat mahal. Paling mentok ya sewa. Seringnya sih pinjam teman. Saling pinjam meminjam alat gunung sudah jadi hal yang wajar.
Jangan tanyakan ke-safety-an. Peralatan gunung yang minim membuat pendakian jauh dari kata aman. Hanya berbekal ransel alpina pinjaman teman, tenda pramuka, dan SB, para pendaki lawas menjejakan kaki di tengah belantara.
Belum ada ransel dengan back system yang oke senyaman osprey. Atau tenda seringan tenda ultralight naturehike. Dulu, Ransel Alpina jadi idola. Bagian pinggang terbuat dari besi dengan tali yang tebal.
Bisa bayangkan kan, betapa beratnya menggendong ransel yang berisi logistik dan kebutuhan pribadi saat mendaki? Tapi, pendaki lawas sangat menikmatinya, tidak mengeluh, bahkan bersyukur bisa naik gunung.
Sekarang pun masih ada beberapa pendaki yang pakai sepatu Caterpilar. Mungkin mereka salah satu pendaki lawas yang setia dengan Caterpilar.
Kalau kamu perhatikan, pada ujung sepatu Caterpilar terdapat besi sebagai penahan. Nah, supaya nggak sakit saat mendaki, besi tersebut diambil.
Kalau nggak mampu beli Caterpilar, sepatu kasogi hunter jadi pilihan. Jadul banget kan? Tapi banyak juga lho yang pakai sandal jepit. Saking pengin mendaki tapi nggak mampu beli sepatu. Lhah sekarang, ada yang punya sepatu, eh mendaki pakai sandal jepit. Serba kebalik ya.
Perjuangan mendaki masih belum berakhir. Kurangnya pengetahuan menjadi tantangan. Saling berbagi pengalaman antar sesama pendaki jadi salah satu sumber informasi.
Buku catatan adalah barang terpenting selain tenda, sepatu, sb, atau jaket. Semua informasi seputar gunung tercatat rapi di dalamnya. Termasuk nama teman, daerah asal, dan nomor telepon (bila punya).
Memang nggak mudah dan cenderung ribet sih. Tapi, justru dalam keterbatasan para pendaki lawas jadi sangat dekat satu dengan lainnya.
Pernah ada yang posting di facebook tentang susahnya cari partner pendakian yang asik. Sama, dulu juga sulit dapat teman mendaki. Tapi, sesulit-sulitnya cari teman pendakian, paling tidak sekarang sudah ada facebook, twitter, dan instagram yang selalu ada untuk membantu.
Tidak seperti dulu, teman pendakian dikenal saat ketemu di gunung atau basecamp. Ngobrol dan kenalan secara langsung.
Mau janjian nanjak bareng pun susah. Ah, boro-boro facebook, handphone 3315 aja nggak punya. Nggak ada gadget canggih untuk komunikasi.
Salah satu caranya dengan kopdar alias kopi darat. Saling menyepakati kapan dan dimana akan naik gunung bareng. Harus selalu menepati janji. Sekali saja ingkar, bakal jadi bulanan-bulanan dan nggak dipercaya pendaki lain.
Naik bus jadi transportasi yang cukup mewah. Mereka yang punya budget lebih, akan memilih naik bus. Sedangkan mereka yang naik gunung dengan uang pas-pasan, nebeng mobil bak terbuka jadi pilihan. Bahkan, bila nggak menemukan mobil tebengan, pendaki lawas ini rela jalan kaki berkilo-kilo.
Uniknya, cara mereka tahu mobil bak tersebut menuju ke kota mana adalah dengan menghafalkan plat nomor kendaraan. Misalnya, saat ingin naik gunung Lawu, ya mereka harus nunggu mobil dengan nomor polisi AD XXXX D.
Bayangkan saja, ketika menuju basecamp Gunung Merapi, pendaki lawas harus jalan kaki lho. Kalau kamu pernah naik Gunung Ungaran, pendakian dimulai dari Jimbaran lalu berjalan kaki menuju basecamp mawar!
Itu baru sampai basecamp lho, baru pemanasan. Belum mulai pendakian. Benar-benar pejalan tangguh kan? Kalau sekarang, kita bisa naik motor sampai basecamp. Nggak capek dan nggak butuh waktu lama.
Pilihan menu begitu terbatas. Meski mie instant kurang baik untuk kesehatan, tapi mie instan sangat praktis dan murah. Uang 5.000 rupiah bisa membeli 10 bungkus indomie. Nasi dengan lauk sarden sudah menjadi menu makanan yang mewah.
Belum ada kompor lapangan berbahan gas, yang ada hanya kompor parafin yang baunya menyengat banget. Kadang, indomie rasa ayam berubah rasa jadi indomie rasa parafin. Pahit.
Selain bau, kompor ini nggak bisa diajak santai. Parafin menghasilkan api yang besar, nggak bisa dikecilkan. Kalau nggak pinter-pinter mengaplikasikannya, masakanmu bakal gosong.
Tahu nggak tustel itu apa?? Kalau kamu tahu artinya, berarti kamu sudah cukup jadul. Hehheehe.. Istilah tustel digunakan untuk menyebut kamera atau alat potret. Kamera jenis ini masih menggunakan roll film. Satu roll berisi 36.
Pendaki lawas mendokumentasikan pendakian menggunakan tustel. Nggak bisa selfie berkali-kali. Sayang banget kan, masak harga roll yang mahal dan hanya berisi 36 habis cuma buat selfie? Oiya lupa, dulu kan belum kenal selfie.
Selain harga roll film mahal, biaya cetaknya juga bikin kantong kering. Nggak heranlah, kalau banyak foto yang belum dicetak. Maka dari itu, pendakian zaman dahulu sangat minim dokumentasi.
Salah satu bukti nyata kalau sudah pernah naik gunung adalah emblem di kemeja lapangan. Tahu lagunya Rita Rubi? Dalam liriknya dituliskan “jaketmu penuh dengan lambang kegagahan”.
Yup, betul banget. Setiap turun gunung, pendaki lawas tidak lupa membeli kenang-kenangan berupa emblem, stiker, dan gantungan kunci. Semakin banyak emblem, makin jadi bukti kalau pendaki tersebut sudah mendaki berbagai gunung.
Selain emblem, cara mengetahui kalau dia pendaki adalah stiker di pintu rumah. Kalau banyak stiker gunung, dia pasti pendaki. Kalau sekarang ciri khas pendaki adalah banyaknya foto pendakian di galeri instagramnya. Ya meski cuma mendaki di bukit sih.
***
Artikel ini dibuat berdasarkan pengalaman rekan pendaki senior saya sekitar tahun 1990-an, orang mengenal pendaki senior ini dengan sebutan Rajin Pangkal Pandai atau Bunder. Dari pengalaman yang diceritakan Mas Bunder, sudah seharusnya kita lebih bersyukur dengan kemudahan pendakian sekarang dengan elajar lebih menghargai alam lagi.