Pendaki Senior VS Pendaki Junior

Pendakian yang semakin menjadi trend memunculkan masalah baru. Muncul perpecahan antara "pendaki senior" dan "pendaki junior". Semua merasa paling benar.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Foto oleh Ameilia Sinarta

Ada kalimat yang cukup mengganggu saat membuka forum para pendaki di sebuah grup Facebook. Istilah “pendaki senior” dan “pendaki junior”.

Mengganggu karena para pendaki, yang setahu saya hobi ngobrol santai bersama sembari menikmati kopi hitam di angkringan, justru saling menghardik di forum dunia maya. Para pendaki yang biasanya sangat ramah saling tegur sapa ketika berpapasan di gunung, saling menyalahkan di sebuah forum dimana bahkan kita tak bisa saling tatap muka.

Mereka saling meributkan perkara “pendaki senior” dan “pendaki junior”. Yang merasa “senior”, berpengalaman belasan tahun mendaki, puluhan gunung dijelajahi, mengeluh dengan kondisi pendakian sekarang ini yang sangat ramai dan kacau, banyak pendaki yang mulai melupakan etika pendakian, lebih parahnya lagi tak paham ilmu bertahan hidup di alam. Mereka menganggap pendaki semacam ini sebagai pendaki “pengikut trend”, yang nantinya dianggap akan merepotkan orang lain di pendakian karena tak meguasai seluk beluk ilmunya.

Sementara yang “junior”, mereka menghardik agar orang-orang yang merasa “senior” tak menjadi seorang yang sok, mentang-mentang banyak gunung telah didaki sehingga bebas menentukan siapa-siapa saja yang boleh mendaki. Bagi mereka, gunung adalah milik semua orang, semua bebas untuk mendaki. Perkara ilmu survival dan seluk beluk pendakian lain, mereka menjawab bahwa mereka mencoba untuk belajar secara bertahap, di setiap pendakian mereka mempelajari hal baru. Begitulah pembelaan “pendaki junior”.

Mereka saling menghardik dan mencaci bahkan tanpa paham pengertian “pendaki senior” dan “pendaki junior” itu sendiri.

Pendaki senior vs junior

Saya mengenal seorang pendaki yang telah mengenal dunia pendakian sejak tahun 1971 lalu. Bukan mengenal secara langsung, hanya sering mampir ke blognya membaca tulisan-tulisannya yang mendalam dan menarik.

Kala itu ia berusia 17 tahun, bergabung dengan sebuah kelompok pendaki yang baru berusia 2 tahun, dimana diantara mereka belum ada yang cukup mampu menjadi seorang instruktur sehingga meminta bantuan RPKAD ( cikal bakal Kopassus ) grup 3 di Batujajar untuk melatih mereka.

Menurut ceritanya, RPKAD tak main-main dalam melatih mereka. Panjat tebing, menjelajah hutan dan gunung selama 2 minggu penuh serta longmarch survival selama 5 hari harus mereka jalani. Setelah dianggap cukup jam terbang, angkatan mereka diberi tanggung jawab penuh melatih adik angkatan.

Diceritakan pula bahwa dalam perintah komando mereka, tak ada istilah “semua push-up 2 seri!” tapi, “ayo semua ikuti saya push-up 2 seri”. Semua diajarkan dengan sistem si senior menjadi mentor, jadi tak hanya memerintahkan sementara si senior santai-santai. Mentorlah yang harus menjadi teladan bagi adik-adiknya. Bahkan ia menceritakan, jika ada yang terlambat masuk kelas, si mentor harus ikut push up 20 kali bersama adik angkatan yang terlambat. Jika ada yang terlambat lagi, ia push up lagi 20 kali, begitu seterusnya.

Pada saat pengembaraan, senior lah yang paling cemas dan tegang. Berbagai pikiran muncul di pikirannya. “Apakah mereka baik-baik saja di perjalanan? Apakah mereka menemukan hambatan?”  Kala itu tak ada alat komunikasi seperti sekarang. Yang bisa dilakukan hanya menunggu. Sesekali pikiran negatif melintas. Senior akan merasa bersalah jika terjadi sesuatu pada juniornya. Yang ada dalam pikirannya adalah, “Apakah metode saya terlalu lembek sehingga mereka meremehkan perjalanan mereka? Apakah rasa kasihan saya saat melatih mereka membuat mereka lengah di perjalanan? Bagaimana jika mereka tak kembali dengan selamat, bagaimana pertanggung jawaban saya nanti di akhirat?

Saat selesai pengembaraan dan semua siswa berhasil kembali dengan selamat, si seniorlah yang nampak paling bahagia dan bangga. Ia akan memeluk satu persatu siswanya. Mungkin juga tangisnya-lah yang paling keras melihat siswa-siswanya berhasil. Betapa berat beban yang disandang seorang “senior”. Ia menanggung nyawa semua adik angkatan yang menjadi siswanya.

Dan pada saat itu, para junior sadar bahwa semua hukuman, tamparan keras, ribuan push up yang diberikan  adalah “tanda kasih” dari senior meraka agar tak manja saat berada di alam liar, agar mereka bisa kembali dengan selamat ke keluarga masing-masing. Kini, giliran mereka yang menyandang beban yang sebelumnya disandang senior mereka.

Pendaki yang menggunakan nama inisial boughil di blognya ini, menceritakan betapa eratnya hubungan “senior” dan “junior” dulu, puluhan tahun lalu, berbeda dengan istilah “pendaki senior” dan “pendaki junior” masa sekarang ini yang justru saling mencela, di dunia maya.

Saling menjaga

Saat pendakian Merapi beberapa tahun lalu, kala itu turun hujan gerimis. Medan cukup licin. Saya bersama 3 orang teman beristirahat di Watu Gajah. Sudah ada 2 orang pria pendaki cukup berumur, sekitar 40 tahunan di tempat tersebut. Kami menyapa ramah. Mereka balas menyapa dan tersenyum.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka bertanya dengan nada tinggi pada seorang teman saya, ia bertanya kenapa teman saya mengenakan sandal gunung yang bagian bawahnya terlihat sudah mulai tipis dan rata.

Teman saya yang ditegur kaget. Ia menjelaskan bahwa ini kesekian kalinya mendaki Merapi sehingga sudah hafal medan, sehingga merasa cukup aman mengenakan sandal itu.

Orang tadi menasehati teman saya, bahwa jangan pernah sekalipun meremehkan alam. Kondisi di gunung tak akan pernah bisa diprediksi siapapun, apalagi hanya dengan beberapa kali mendaki kemudian merasa telah hafal medan.

Teman saya diam.

Saat 2 orang pendaki tadi berniat melanjutkan perjalanan, ia minta maaf pada orang yang telah membentaknya, namun jawabannya sungguh di luar dugaan, ” minta maaflah pada dirimu sendiri yang tak bisa menjaga keselamatan dirimu, dan juga teman-temanmu yang pasti akan kamu repotkan jika terjadi sesuatu pada dirimu.” Saya yang mendengar jawabannya tercenung. Jawabannya begitu membekas.

Saya yakin orang tadi hanya khawatir pada keselamatan teman saya, yang kurang memikirkan faktor keamanan saat pendakian, dan cenderung meremehkan gunung.

Saya berpikir, begitulah seharusnya “pendaki senior” dan “pendaki junior”, saling menjaga. Pendaki senior wajib mengajarkan semua ilmu yang mereka punya pada para “pendaki junior”, bukan malah mengeluh jika banyak pendaki baru yang tak tahu etika pendakian, atau tak paham seluk beluk pendakian.

Buatlah tulisan, video atau apapun di dunia maya tentang ilmu-ilmu yang telah didapat dulu agar orang-orang tak berpengalaman dapat mempelajarinya. Sementara pendaki junior yang riwayat pendakiannya belum terlalu banyak, harus lebih respek pada para pendaki senior, bukan malah mencaci segala macam ketika diingatkan. Salam lestari!

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU