Pelajaran Berharga dari Seorang Jerman

Bahasa bukanlah kunci komunikasi, kunci untuk berkomunikasi adalah niat untuk menyampaikan pesan, dan niat untuk menerima pesan. Bahasa hanya suatu alat.

SHARE :

Ditulis Oleh: Ade Setiawan

Foto oleh Neil Hester

Saat pendakian Merapi, saya melihat seorang tukang angkat barang berjalan bersama seorang warga asing.

Dari jauh mereka nampak asyik mengobrol, sesekali tertawa bersama.

‘Permisi Mas, numpang lewat,’ si tukang angkat barang dengan jaket hijau pupus mencolok dan warga asing yang mengenakan rompi safari lewat sambil terus berbincang.

Saya kaget. Ternyata si tukang angkat barang menggunakan bahasa Indonesia, sementara warga asing tersebut menggunakan bahasa yang tak pernah kudengar sebelumnya, yang jelas bukan bahasa Inggris. Anehnya, mereka seperti saling memahami apa yang diucapkan lawan bicara masing-masing.

Tawa mereka bukan tawa yang dipaksakan.

Saya benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin mereka nampak seakrab itu, cara mereka berbincang seperti teman lama yang berceloteh saling melepas rindu.

Bahasa hanya alat

Sore itu, saya duduk santai di lobi kantor. Menikmati hidup sejenak setelah negosiasi alot dengan klien.

Saya mengambil gelas di samping mesin kopi otomatis.  Uap panas mengepul dari gelas plastik. Rasanya sangat nikmat. Saya bukan seorang pecinta kopi. Saya juga tak paham perbedaan rasa dari berbagai jenis kopi. Bagi saya kopi paling nikmat adalah kopi yang diminum setelah lelah bekerja.

Beberapa teman yang lewat menyapa, pamit pulang ke rumah.

Saya masih ingin menikmati sejenak matahari sore dari balik jendela kantor.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak saya. Seorang pria berambut putih berkacamata tebal, warga negara asing. Saya tak pernah melihatnya sebelumnya, mungkin dia salah seorang freelancer.

Dia berbicara dalam bahasa yang tak kupahami. Bukan bahasa Inggris.

‘Do you speak english?’ dia hanya menggelengkan kepala.

Dia mencoba dengan bahasa tubuh. Berkali-kali dia mengusap perut, dan tangannya seperti melempar sesuatu ke dalam mulut.

Saya menerka dia lapar dan bertanya arah kantin. Saya mengacungkan jempol padanya pertanda saya paham maksudnya. Dia nampak girang.

Saya mengantarnya ke kantin kantor. Namun dia mengibas-kibaskan tangannya sembari menggeleng kuat, pertanda saya salah.

Dia kembali mengusap perut dan membuat gerakan kecil melempar sesuatu kedalam mulut sembari berekspresi aneh. Saya benar-benar tak paham maksudnya. Saya sempat berpikir untuk menyuruh dia menggambar namun baik saya atau dia tak membawa kertas dan pulpen.

Dia nampak ingin menyerah. Saya merasa bersalah.

Tiba-tiba salah seorang teman lewat. Novi, dia sering bepergian ke luar negeri, mungkin paham dengan bahasa yang digunakan pria ini. Saya memanggilnya dan menyuruh si pria berbincang dengan Novi.

Novi tahu bahasa yang digunakan pria itu, ternyata dia berbicara menggunakan bahasa Jerman. Namun sayangnya Novi hanya tahu sedikit tentang bahasa Jerman. Novi sempat kesusahan mengartikan maksud si pria, namun setelah beberapa kali mengamati bahasa tubuh si pria, dia menjentikan jarinya.

Novi mengantar si pria ke klinik kantor dan memberinya obat sakit perut. Si pria nampak sangat senang dan berulang kali berucap ‘terima kasih’ dengan aksen Jermannya sebelum berlalu pergi.

‘Bagaimana kau tahu dia mengingkan obat sakit perut?’ Novi tersenyum bangga.

‘Awalnya aku pun berpikir dia lapar. Namun saat melihat ekspresinya seperti orang kesakitan, aku paham bahwa dia mencari obat,’ Novi membetulkan bingkai kacamatanya yang turun.

‘Wah, hanya dengan itu kau bisa paham? Aku tak menyadarinya. Aku tak tahu itu ekspresi sakit, eskpresinya aneh.’

Novi tertawa.

‘Saat bepergian ke luar negeri aku menyadari satu hal. Bahasa bukan kunci komunikasi, kunci untuk berkomunikasi adalah niat untuk menyampaikan pesan, dan niat untuk menerima pesan. Bahasa cuma alat.’

Kata-katanya mengingatkan saya pada kejadian tukang angkat barang dengan si pendaki warga asing yang mengenakan rompi safari di Merapi. Si tukang angkat barang mungkin telah berpengalaman menghadapi orang-orang dengan latar belakang budaya dan bahasa berbeda.

‘Tak percuma kau sering bepergian ke luar negeri. Sebagai hadiah kecerdasanmu, aku traktir kopi dari mesin kopi lobi kantor, bagaimana?’

Novi hanya tertawa dan berlalu pergi.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU