Pelajaran Berharga dari Penjual Tiwul Pantai Sundak Jogja

Pelajaran tidak hanya bisa didapat di bangku kuliah saja, sembari traveling kita pun bisa mendapat pelajaran berharga tentang hidup

SHARE :

Ditulis Oleh: Prameswari Mahendrati

Hangatnya pasir putih, suara ombak, sentuhan air laut di mata kaki, angin laut dengan aroma garam, dan pancaran matahari menjelang sore.

Ini adalah tidur siang  terbaik dalam 22 tahun hidup saya, perasaan relaks yang luar biasa begitu terasa.

Suasana seperti ini memang sangat jarang saya jumpai saat kemali ke perkotaan. Beberapa pengunjung tampak asyik bermain air, ada pula yang sibuk mengabadikan momen dengan berfoto selfie.

Ri, liat sini!” teriak Novi yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempatku bersantai. Kuangkat tubuhku menjadi posisi duduk. Sedikit perasaan sebal, Novi membangunkanku dari kenikmatan yang sedang kurasakan.

Saya menoleh kearah datangnya sumber suara yang memanggil, dan tiba-tiba, jepret! “Haha kena kamu, Ri!”

Satu lagi keisengan Novi, teman yang sudah lama kukenal sejak duduk di bangku SMP. Kami sudah dekat sejak dulu, sama-sama suka bertualang dengan sepeda dan hobinya di bidang fotografi ternyata awet sampai sekarang.

Ayolah, kamu nggak bisa setiap saat datang ke sini, kamu harus punya bukti kalo pernah datang ke tempat bagus kayak gini”, Novi setengah memaksa untuk berselfie.

Benar juga apa yang dia bilang, kami pun asik berfoto selfie dengan berbagai gaya.

Rasa lapar dan dehidrasi setelah berlama-lama terkena pancaran matahari dan angin laut baru terasa. Kami kompak memutuskan untuk menepi dan mengisi perut sejenak. Es kelapa muda dan udang bakar sepertinya sudah menari-nari di imajinasi.

Berjalan sembari memilih-milih kedai yang akan kami singgahi ternyata cukup membingungkan, setiap kedai bersaing menyajikan menu-menu makanan olahan laut dengan embel-embel kata spesial.

Novi tampak serius memperhatikan spanduk dengan tulisan menu-menu di beberapa kedai, sedangkan pandanganku tiba-tiba teralihkan pada suatu sudut di dekat bangku kayu dekat toilet umum. Kakek tua dengan topi bundar usang, celana mengatung dan kaos lengan panjang yang sudah tampak melar.

Beliau tidak sedang duduk bersantai atau sedang memandang pilihan menu di kedai-kedai. Beliau sedang menjajakan makanan yang tertutup daun pisang, entah apa itu. Saya memanggil Novi, berusaha membuyarkan fokusnya terhadap menu-menu makanan. Dia pun menyusulku yang sudah setengah jalan menuju kakek tua tadi.

Aku duduk di depan kakek tua tadi.

Monggo Mbak, ini biar ndak kotor,” dengan senyum ramah dan kerutan di matanya, beliau malah menyodorkan kantong plastik untuk kami duduk. Dengan tangan yang gemetar, beliau membuka daun pisang sebagai penutup. Sepertinya aku tahu jenis makanan ini, walau belum pernah memakannya.

Berapa Pak tiwulnya,” Novi sudah mendahuluiku.

Rp 2000,- saja Mbak, mau? Suka tiwul, Mbak?” dengan ramah beliau bertanya sambil memberikan kami daun pisang yang lain.

Beli dua ya Pak,” sahutku.

Monggo, silakan ambil sendiri,” jawab beliau dengan setengah tertawa.

Saya dan Novi sempat bengong dan saling melempar pandang satu sama lain. Saya bisa menebak apa yang ada dipikiran temanku ini. Sepertinya ia juga memikirkan apa yang sedang saya pikirkan.

Baru pertama kali kutemui pedagang asongan yang mempersilakan pelanggan untuk mengambil sendiri.

Ndak apa-apa mbak, yang penting jajanan saya habis, jadi ndak mubazir,” ucap kakek penjual tiwul sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan topi usang.

Memangnya nanti tidak rugi, Pak?” tanyaku penasaran

Saya di rumah juga makan ini setiap hari, ndak usah berpikir bakalan rugi mbak, ada yang bisa dimakan juga sudah Alhamdulillah. Mbah tua sebatangkara ini ndak mau hidup muluk-muluk, sudah syukur diberikan kesehatan, panjang umur, bisa makan kenyang sama Gusti Allah.

Saya benar-benar tersentuh mendengar perkataannya yang santai tapi begitu dalam. Kuambil beberapa puluk tiwul dari wadah, lalu kumakan dengan daun pisang yang kugunakan sebagai pengganti sendok. Seperti tiwul pada umumnya, tak ada rasa spesial yang merangsang lidah, tapi kakek penjual tua ini berhasil membuat saya berselera.

Kusodorkan uang untuk membayar tiwul kepada kakek ini. Beliau menerimanya sembari mencium uang yang kuberikan dan memasukan ke dalam saku kaosnya.

Mumpung masih muda, jangan lupa bersyukur sama Gusti Allah nak, nanti percaya sama mbah, hidupmu akan lebih tentram, ayem. Toh rejeki itu tidak melulu tentang uang, tapi juga bisa kesehatan, keluarga, syukur-syukur umur panjang. Bahagia itu sederhana, Nak, sesederhana sampeyan bersyukur hari ini,” kakek tua bergegas mengangkat pikulnya dan berjalan selangkah demi selangkah meninggalkan kami.

Saya lupa menanyakan nama dan asal si mbah itu, mungkin karena saking harunya mendengar kesederhanaannya.

Satu pelajaran berharga hari ini. Tidak rugi kami menempuh 2 jam perjalanan dari kota menuju tempat ini. Pertemuan singkat namun berkesan.

Saya dan Novi kembali ke tepi pantai. Ini waktu yang sangat tepat untuk menikmati sunset. Mensyukuri lukisan Tuhan yang tiada tara indah. Es kelapa muda dan udang bakar seketika sirna dari ingatanku. Hanya ada kami, tiwul, dan sunset.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU