Membicarakan perihal cerita fiksi tentulah berbeda dengan cerita perjalanan pada umumnya. Terutama, terkait nyata tidaknya sebuah latar yang digunakan penulis dalam naskah yang digarapnya. Mayoritas fiksi populer yang lebih digandrungi para pembaca (genre teenlit, young adult, metropop, dll) tidak terlalu menunjukkan sebuah latar yang kuat, sebabnya karena jalinan percintaan menjadi bumbu utama yang mengisi tema naskah.
Namun hal itu terbantahkan tatkala membaca fiksi populer sejenis young adult berjudul Di Bawah Langit Yang Sama. Menyasar kalangan pembaca berusia 18-25 tahun yang biasa menikmati setting perkotaan, novel ini membawa nuansa yang sungguh berbeda dalam pengemasannya.
Memakai unsur budaya dan lokasi di Bali, Di Bawah Langit yang Sama bercerita tentang Indira, Max, dan Gung Wah. Mengetahui lokasi yang digunakan adalah Pulau Bali yang terkenal akan pantai dan pulau-pulau menakjubkan, ekspektasi pembaca akan dibawa pada rangkaian perjalanan menikmati indahnya wisata Bali. Tetapi, bersiaplah mengubah persepsi itu sebab Bali tak hanya tentang wisatanya. Novel ini mengedepankan unsur kebudayaan dalam Bali, terutama tentang kasta-kasta penuh kerumitan yang selama ini jarang dibahas dalam novel bergenre serupa.
Adalah Indira, gadis asli Bali yang bekerja di Singapura sebagai desainer dan memiliki kekasih warga Singapura bernama Maximilian Liem. Masalah dimulai ketika Indira yang tengah mengerjakan proyek besar di perusahaan milik kekasihnya, yang merangkap jadi atasannya. Di tengah kesibukan Indira, sebuah telepon dari tanah kelahirannya, Bali, membuatnya menyingkirkan segala pekerjaan lantas kembali pulang. Niang (sebutan Nenek di Bali) dikabarkan telah meninggal. Indira begitu menyayangi Niang dan merasa amat kehilangan. Namun proses Ngaben yang memakan waktu begitu lama dengan rangkaian upacara yang tiada henti mau tak mau membuat Indira resah, sebab pekerjaan di Singapura masih menumpuk sementara Aji (sebutan Ayah di Bali) menuntutnya agar tak keluar Bali hingga proses Ngaben selesai.
Masalah tak berhenti sampai di situ, puncaknya adalah ketika orang-orang mulai menyinggung Indira sebab sang adik, Gung Is (‘Gung’ adalah sebutan untuk kasta Ksatria), hendak menikah dengan kekasihnya, Ida Bagus (‘Ida’ adalah sebutan untuk kasta Brahmana). Lelaki itu sama-sama keturunan Bali namun memiliki kasta di atas mereka.
Sesuai tradisi yang berlaku Bali, di keluarga harus ada yang meneruskan mengurus tempat suci keluarga besar mereka agar memperlancar pelaksanaan upacara adat serta tali silahturahmi antar sesama anggota keluarga yang masih hidup. Sehingga Indira secara halus “dituntut” agar cepat menikah pula, namun dengan orang Bali yang memiliki kasta sama atau berkenan nyentana (pihak pria masuk ke keluarga wanita).
“Tapi kalau bukan kamu yang ngurus keluarga, siapa lagi? Calonnya Gung Is itu Ida Bagus, kan? Nggak mungkin calonnya Gung Is itu mau nyerot dan nyentana masuk ke keluargamu,” ujar Gung Wah.
Indira jelas bimbang, sebab kekasihnya jelas-jelas bukan orang Bali. Apalagi dengan beberapa perbedaan antara dirinya dan Max membuat mereka tak mungkin bisa bersatu. Sementara sang adik tak mungkin menggagalkan pernikahan dengan Ida Bagus sebab di Bali, menikah dengan pasangan dari kasta tinggi adalah sebuah penghormatan dan kebanggaan bagi pihak keluarga.
Pertanyaan yang diajukan Gung Wah mau tak mau ikut membuat kita sebagai pembaca ikut bertanya, apakah Max mau masuk dalam budaya Indira? Apakah Max bisa memimpin sembahyang dalam upacara adat Bali nanti? Sebab nyatanya, Max jelas-jelas berkewarganegaraan Singapura dengan budaya yang cenderung modern. Pun rasa-rasanya tak mungkin Max rela meninggalkan kehidupannya sebagai pemimpin perusahaan tekstil terkemuka di negara tersebut.
Pergolakan tentang perbedaan kasta diterangkan lewat penjelasan yang detil namun mudah ditangkap pembaca. Lewat narasi yang lugas, segala permasalahan permasalahan empat kasta dalam Bali; Kasta Brahamna, Kasta Ksatria, Kasta Wesia, dan Kasta Sudra dibuat begitu mengalir. Sudut pandang orang pertama dalam novel pun turut membuat kita akan merasa ikut bingung, sesak, dan seperti terkungkung oleh keharusan-keharusan tradisi para leluhur. Simaklah sepenggal percakapan antara Indira dan Ibunya:
“Memangnya, pacarmu itu bisa maturan―sembahyang―sama kita?” tanya Ibu pedas.
“Ibu…, kok begitu? Bukankah semua sama di mata Tuhan?” tanyaku dengan nada kecewa.
“Memang, Gung, tapi kamu cuma punya satu keluarga. Dan, ini adalah keluargamu. Ke mana pun kamu pergi, kamu akan kembali ke sini.”
Tentulah terlihat bagaimana sikap modern Indira harus berbenturan dengan tradisi keluarganya. Perbedaan yang membuatnya memberontak, namun ragu-ragu sebab yang dilawan adalah orang-orang terkasih.
Cerita fiksi yang baik adalah yang mampu memberi hal baru pada kita, entah itu pengetahuan baru, pengalaman baru, atau rasa yang baru. Hal itu yang akan Anda temukan lewat novel Di Bawah Langit yang Sama.
Bagi Helga Rif, penulis novel Di Bawah Langit yang Sama, menyajikan cerita sedemikian kompleks kemudian dirangkai menjadi cerita yang mudah dipahami menjadi tantangan tersendiri. Lahir di Situbondo dan merupakan warga asli Surabaya membuat proses penulisan tentang kebudayaan Bali menjadi hal baru bagi Helga. Namun fondasi sebagai wanita yang menikahi orang Bali setidaknya membuat Helga lebih paham dengan seluk-beluk Bali.
“Saya perlu menyamakan pendapat dengan narasumber sebab referensi tentang budaya Bali begitu banyak dan berbeda-beda,” tutur Helga, menjelaskan bahwa untuk beberapa hal yang ada di novel dirinya harus meminta pendapat para ahli apakah hal tersebut bisa diterima atau tidak. Sehingga tulisannya tak sekadar karangan fiksi. Beruntung proses pembuatan novel berjalan lancar sehingga penulis sekaligus atlet menembak wilayah Denpasar-Bali ini berhasil menyajikan beragam hal unik dalam novelnya. Mulai dari suasana cerita yang sedikit syahdu karena diliputi rangkaian upacara Ngaben serta bagaimana pengaruh kasta berpengaruh dalam tindak-tanduk masyarakat Bali sehari-hari.
Tak banyak cerita fiksi yang berani mengambil lokalitas sebagai tema cerita, terutama mengadopsinya menjadi fiksi populer. Hanya bisa dihitung dengan jari novel-novel berjenis serupa dengan Di Bawah Langit yang Sama. Namun Helga meyakini bahwa sebenarnya banyak potensi Indonesia yang bisa digali dan ditulis dalam keindahan sastra Indonesia.
“Saya optimis banyak yang bisa budaya dan keindahan wisata yang bisa dijadikan cerita,” tandasnya.
Sebuah lokalitas dalam cerita tentunya akan menjadi ciri khas serta keunikan tersendiri. Novel pun tak lagi sekadar cerita fiksi, namun dapat memberi ilmu baru tanpa menggurui.