Beberapa waktu lalu saya menulis tentang perjuangan seorang Scott Thompson, bule asal Skotlandia yang mengayuh becak demi misi kemanusiaan bagi anak-anak pengidap kanker di Indonesia. Ia baru saja melewati Pekanbaru, salah satu daerah yang terkena dampak kabut asap. Sungguh luar biasa jika kita tahu sebelumnya sebagian besar warga pun sangat menghindari keluar rumah jika tak terlalu penting. Total korban yang mengalami sakit baik ringan maupun berat di seluruh Sumatera sudah mencapai lebih dari 50.000 jiwa.
Masyarakat di wilayah terdampak seperti ‘mati’ perlahan. Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut. Sayangnya, yang muncul kemudian justru bukan berita baik. Sebuah prediksi dari badan antariksa Amerika, NASA yang berisi bawah kabut asap di Sumatera akan sangat susah untuk dpadamkan.
Menurut NASA, kebakaran hutan di Indonesia tidak seperti kebanyakan kebakaran hutan lainnya. Kebakaran hutan di Indonesia sangat sulit untuk dipadamkan. Penyebabnya adalah, adanya titik-titik api membara di bawah permukaan yang menyala dalam waktu yang lama, bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap berbahaya ini diperkirakan hanya bisa dipadamkan dengan bantuan hujan selama musim hujan.
Banyaknya lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan menjadi salah satu faktor utama. Pembakaran lahan gambut terjadi setiap tahun dengan sengaja dengan tujuan untuk memperluas ruang untuk penanaman kelapa sawit dan akasia. Tak habis pikir bukan di bumi ini ada sekelompok manusia yang berpikiran pendek hanya demi kepentingan kelompok semata, tak peduli pada nasib orang banyak.
Coba amati citra yang dirilis pada 24 September 2015 menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di satelit Terra NASA, garis merah menunjukkan titik-titik api di mana sensor satelit Terra medeteksi suhu permukaan menjadi luar biasa hangat ketika terjadi kebakaran. Asap tebal yang mengepul di atas kedua pulau memicu penurunan kualitas udara menjadi sangat berbahaya untuk Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Kasus kabut asap ini ditakutkan akan makin memburuk dengan datangnya El Nino yang akan memperpanjang musim kemarau dan mengurangi jumlah curah hujan. Selama El Niño pada tahun 1997 saja, kurangnya hujan membuat kebakaran hutan saat itu ‘sukses’ mencatatkan rekor polusi udara dan gas rumah kaca terbesar dalam sejarah.
Jika hujan tak segera turun dan musim kemarau menjadi semakin panjang, kebakaran hutan pada tahun 2015 ini akan menjadi sangat parah, bahkan dibandingkan dengan tahun 1997.
Giudo van der Werf, ilmuwan dari Vrije Universiteit Amsterdam telah memantau jumlah dan ukuran dari kebakaran hutan di Indonesia dengan MODIS. Menurut hasil pantauannya, kebakaran hutan di Indonesia pada 2015 ini adalah yang terbesar yang pernah ada. Menurut analisis Global Fire Emission Database (GFED), kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 ini telah meningkatkan kadar gas rumah kaca setara dengan sekitar 600 juta ton!