Traveling tak hanya tentang destinasi. Terkadang yang lebih meninggalkan bekas di hati justru cerita-cerita di balik destinasi itu sendiri, cerita tentang manusia-manusianya, yang memberi banyak pembelajaran bagi kita.
***
Nasib Museum Radya Pustaka Solo berada di ujung tanduk. Setelah tahun 2007 sempat ditutup karena pencurian arca, kini museum yang dibangun pada 1890 ditutup kembali oleh pengelola.
Dilansir dari Suara Merdeka. penutupan sementara disebabkan karena penunggakan biaya gaji karyawan museum selama empat bulan.
Soemarini Wijayanti atau akrab dipanggil Yanti adalah salah satu pegawai Museum Radya Pustaka. Wanita berumur 40 tahun ini sudah bekerja untuk Museum Radya Pustaka selama 11 tahun. Usia kerja yang mulai menginjak belasan tahun tak lantas membuat pundi-pundi gajinya membesar.
– If you love your job, money can do nothing. But, loyalty does –
Jika hanya membahas masalah nominal uang, mungkin sudah sejak lama Yanti beralih profesi. Mengawali karir sebagai petugas museum sejak 2003, wanita bertubuh mungil ini mengaku sudah tidak lagi memikirkan berapa rupiah yang bisa ia dapatkan setiap bulan. Tekad untuk terus melestarikan peninggalan sejarah, kecintaanya kepada bangunan penyimpan sejarah ini, dan perasaan rumangsa melu handarbeni (rasa ikut memiliki) museumlah yang menguatkan Yanti untuk tetap bertahan di Museum Radya Pustaka Solo.
“Banyak teman yang heran karena saya memilih tetap bekerja di sini, sekalipun di tempat lain ada peluang karier yang lebih bagus. Tapi bekerja di sini seperti ada tantangan tersendiri. Ilmu yang didapat saat kuliah juga bisa dipraktikkan,” kata Yanti.
Rasa cinta Yanti kepada pekerjaan yang ditekuninya, Yanti bergitu menikmati suka duka menjadi pegawai museum. Wanita lulusan Bahasa Prancis Universitas Negeri Semarang (UNNES) ini tak pernah mengeluhkan segala tugas berat yang dilimpahkan kepadanya. Pekerjaan beratpun ia kerjakan denga senang hati.
”Tugas saya sebenarnya pemandu wisata (guide). Tapi kalau sedang tidak ada pengunjung, saya juga ikut mengurusi perpustakaan, melayani pengunjung yang butuh data, sampai merawat koleksi museum.”
Namun, beratnya realitas kehidupan memaksa Yanti untuk menyambi kerja sebagai guru les privat. Pekerjaan tambahan ini ia lakukan untuk menambah penghasilannya tiap bulan. Dual profesinya tak berlangsung lama. Padatnya pekerjaan menjadi alasan kenapa dia memutuskan untuk berhenti mengajar.
“Kadang-kadang memang dapat tips dari pengunjung, setelah memandu mereka. Jumlahnya juga lumayan. Tapi kalau ada pegawai magang, saya malah lebih mendorong mereka untuk memandu para turis. Nggak perlu ngaya, yang penting kebutuhan tercukupi. Toh, rezeki juga sudah ada yang mengatur kok,” tutur warga Kerten, Solo, ini.
Tak beda dengan Yanti, perasaan yang sama pun dirasakan oleh Fajar Suyanto. Rekan kerja Yanti ini mengaku mempunyai kedekatan emosional dengan Museum Radya Pustaka Solo. Perasaan memiliki dan kecintaannya kepada museumlah yang membulatkan tekadnya untuk tetap bekerja di museum.
“Sejak kecil saya sudah terbiasa bermain di museum Radya Pustaka. Setelah Museum Radya Pustaka ditutup sementara karena kasus pencurian arca pada 2007, saya jadi merasa kehilangan. Makanya saya lantas mengajukan diri agar bisa menjadi sukarelawan museum, kepada salah seorang pegawai honorer Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surakarta,” kata warga Sumber, Solo, ini.
Masa-masa sulit selama pengabdianpun pernah mereka alami. Pria berumur 31 tahun ini memaparkan bahwa dulu dia dan Yanti mendapatkan gaji yang sedikit dari seorang pegawai Disbudpar. Lebih memilukan ketika dia mengaku gaji tersebut diambil dari honor pribadi pegawai Disbudpar.
Perasaan dilema juga tak jarang menghinggapi. Di satu sisi, Fajar begitu mencintai pekerjaannya, di sisi lain, pekerjaan yang ia cintai tak cukup untuk mencukupi kehidupan keluarga selama satu bulan.
Dia pun bekerja sebagai pegawai magang di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Honor hasil kerja magangnya dia gunakan untuk terus mengepulkan asap dapurnya. Bahkan, jika honor tersebut belum mencukupi, dia harus mengumpulkan botol mineral untuk dijual ke tukang loak.
Nasib buruk tak selamanya ada dalam kehidupan. Kehidupan bapak dua putra ini mulai membaik, setelah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng mengangkatnya sebagai petugas pemelihara museum non-PNS sejak tahun 2009.
Setali tiga uang dengan Yanti dan Fajar. ST Wiyono juga memiliki perasaan yang sama. ST Wiyono selaku Sekretaris Komite Musem Radya Pustaka mengaku merasa memiliki rasa tanggung jawab yang besar dan perasaan memiliki yang begitu mendalam kepada museum dan budaya Jawa ini. Perasaan itulah yang terus mendorong ST Wiyono untuk terus bekerja membantu melestarikan Museum Radya Pustaka Solo.
Penutupan museum untuk sementara waktu menghadapkan mereka pada dilema. Tempat pengabdian mereka ditutup entah untuk sampai kapan. Lalu, kemana lagi mereka harus bekerja mencari uang? Pengabdian yang sekian lama, bekerja tanpa pamrih haruskah berakhir begitu saja?