“Mungkin saya terlalu berbunga-bunga dan terbawa suasana baru, atau malah bosan dengan cara lama menikmati perjalanan, ”
Kamera berlensa canggih, buku catatan, tas ransel, dan bucket list yang seabreg adalah ciri seorang traveler yang sering saya temui di perjalanan. Kemeja flanel dan cara berjalan mereka yang santai kadang bikin iri saya yang jalan-jalannya hanya ke kota sebelah saat ada libur panjang. Mereka bisa jalan-jalan ke mana saja. Bebas. Mau ke luar negeri atau ke pelosok Indonesia itu hal biasa.
Kalau lihat instagram para traveler, saya ngiler sejadi-jadinya dengan foto-foto perjalanan instagenik mereka. Keren banget. Apalagi jika dibumbui dengan cerita yang mereka gali dari warga lokal yang mereka temui. Kombinasi yang perfect banget.
Karena kesempurnaan itu, diam-diam saya mengagumi para traveler. Trinity terutama. Masalahnya, saya cuma suka scroll Instagramnya. Melihat spot menarik saja. Entah mengapa bumbu-bumbu tentang kisah dan kebiasaan warga lokal kadang saya abaikan.
Saya mencoba menyusun bucket list merencanakan untuk pergi ke berbagai tempat dan mulai menabung biar bisa terlihat sama dengan mereka, para traveler. Tapi, bumbu yang bikin cerita perjalanan seperti ngobrol dengan warga lokal sering kali saya tinggalkan. Saya terlalu asik dengan spot Instagenik yang di-upload oleh pengguna Instagram dan para traveler lain.
Obsesi saya untuk traveling nyatanya lenyap. Yang tadinya pengen kayak Trinity keliling dunia sambil menciptakan momen-momen perjalanan yang bermakna, nyatanya nggak pernah terealisasi.
Saya terlalu terbawa euforia dengan trend foto-foto hits di spot cantik yang tersebar di instagram. Berpose dengan berbagai gaya, memegang bunga-bunga palsu sebagai aksesoris foto di spot yang lagi hits. Saya merasa keren sudah pernah kunjungi destinasi yang sedang hits. Toh, saya tidak merugikan orang. Bukankah yang saya lakukan ini malah mendukung pemerintah promosikan destinasi wisata?
Jalan-jalan dan ciptakan foto keren di spot hits adalah cara menikmati perjalanan yang menyenangkan. Tapi, saya malu kalau ada yang bilang “halo.. abis dari mana nih si traveler? Kok nggak ngajak-ngajak sih?”.
“Traveler? Siapa yang traveler? Jalan-jalan aja cuma gitu-gitu doang. Cuma cari foto buat Instagram,” Pikir saya.
Saya bukanlah orang yang terlalu cerewet, itu karena saya memang nggak suka ngobrol. Dulu, saat saya sampai ke sebuah destinasi wisata saya selalu menyempatkan mampir ke warung. Biasanya pesan minum dan ngobrol dengan penjaga warung. Meski nggak suka ngobrol, tapi saya selalu menyempatkan diri untuk sedikit mengenal warga lokal di sebuah destinasi wisata dengan cara itu. Yap, cuma dengan cara itu.
“Sebenernya dulu juga sering mendekati anak-anak lokal yang sedang main sih. Ikutan main juga kadang.”
Namun kebiasaan itu seiring waktu menghilang. Saya malah terobsesi dengan spot fotogenik ketimbang ngobrol sama warga lokal. 100% saya cuma hunting foto, selfie, dan duduk diam menikmati pemandangan dan melihat kesibukan orang di destinasi wisata.
Ngobrol sama warga lokal sekarang udah nggak pernah. Entah saya yang terlalu berbunga-bunga dan terbawa suasana baru, atau malah bosan dengan cara lama menikmati perjalanan.
Hidup di zaman yang serba di-visual-kan, semua hal tentu akan lebih menggugah jika foto liburan dipermak dan diambil dari sudut paling fotogenik.
Yap, mungkin karena itulah saat ini banyak destinasi wisata instagenik yang banyak bermunculan diberbagai daerah di Indonesia. Nggak mau kalah, saya juga ingin eksis seperti orang lain. Selfie, lalu dipamerkan di sosial media. Hem.. menyenangkan? Enggak sih.. Tapi, kalau saya nggak pamer foto instagenik nggak ada yang nge-like foto saya.
Logikanya gitu.
Jadi, disebut apakah saya? Masak iya traveler kayak gini? Saya hanyalah penikmat spot fotogenik. Penikmat alam yang kaku dengan cara lama dalam menikmati sebuah destinasi wisata.