Gunung Bawakaraeng merupakan rangkaian Pegunungan Lompobattang di Sulawesi Selatan. Pepohonan hijau khas tanaman hutan tropis tumbuh lebat menyelimuti Gunung Bawakaraeng. Berbagai macam jenis tanaman dengan tebaran bunga-bunga beraoma khas seolah menjadi make up alami. Pesona alamnya memancarkan keelokan hutan tropis yang sangat menakjubkan. Tidak heran Gunung Bawakaraeng menjadi salah satu gunung pilihan para pendaki dari Sulawesi Selatan.
Baca juga: Sebuah tanya dari Lembah Ramma
Panorama keindahan Gunung Bawakaraeng tidak hanya itu saja. Masih ada Danau Tanralili yang cantiknya menandingi keelokan Ranu Kumbolo. Danau ini juga dikenal dengan Lembah Loe karena memang lokasinya berada di lembahan yang dikelilingi tebing-tebing tinggi menjulang. Meskipun danau ini sangat cantik, namun Lembah Ramma yang menjadi destinasi favorit pendaki saat mendaki Gunung Bawakaraeng. Lembah yang memiliki padang rumput yang sangat luas ini memang sangat mempesona. Tempat favorit di lembah ini adalah hutan lumut. Lanskap dan pemandangannya yang epic bagaikan berada dalam film ‘The Lost World’.
Keelokan Lembah Ramma itulah yang menarik perhatian dua pendaki bernama Nurdin (30) dan Bayu (27) untuk mengunjungi Gunung Bawakaraeng. Kedua pendaki tersebut dikabarkan mendaki dari Jumat, 4 Maret 2016. Menurut informasi, mereka akan turun ke Kampung Lembanna pada Minggu, 6 Maret 2016.
Setelah dua hari tidak ada berita dari kedua pendaki, akhirnya TIM SAR menyatakan mereka hilang dan dalam pencarian. TIM SAR mengerahkan berbagai Tim, polisi, dan warga sekitar untuk melakukan penyisiran.
Kabar terakhir, pada Rabu 9 Maret 2016 kedua pendaki ini telah ditemukan dalam keadaan lemah tak berdaya. Menurut informasi, kedua korban tersesat saat akan menuju Lembah Ramma.
Gunung Bawakaraeng memang memiliki keelokan pemandangan alam cantik dengan keindahan Lembah Ramma dan Danau Tanralilinya. Tapi, cobalah menelisik Gunung Bawakaraeng lebih dalam, gunung ini menyimpan mitos dan ritual unik.
Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Mereka pun menjalankan ibadah haji di puncak Lompobattang (Puncak Gunung Bawakaraeng) setiap masa haji atau bln Zulhijjah bertepatan dengan musim haji di tanah Suci, Mekah. Fenomena ritual ini dilakukan secara turun temurun yang akhirnya dikenal dengan istilah Ritual Haji Bawakaraeng. Pelaksanaan ritual ini masih terjaga dan dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Selatan hingga sekarang.
Uniknya, ritual ini dilakukan untuk memohon keselamatan, rezeki, dan permintaan khusus lainnya kepada yang Maha Kuasa, bukan untuk menjadi “Haji”. Para penganut ritual ini terkadang membawa persembahan seperti Songkolo’ (beras ketasn), lontong, telur, buah-buahan, daging ayam, bahkan ada yang membawa daging kambing. Jenis persembahan yang mereka berikan disesuaikan dengan permohonan masing-masing.
Cerita versi lain menyebutkan bahwa pada masa lampau ada seseorang yang sangat ingin naik haji. Biaya yang mahal serta peraturan rumit menyebabkan orang tersebut tidak juga kunjung naik haji. Lalu, suatu ketika dia mendapatkan bisikan ghaib untuk mendaki Gunung Bawakaraeng sebagai pengganti hajinya.
Berbagai versi mitos tersebut lah yang menjadi keyakinan masyarakat Sulawesi Selatan untuk terus mempertahankan tradisi. Mereka masih naik haji keatas puncak Gunung Bawakaraeng untuk memohon sesuatu kepada yang Kuasa bertepatan pada bulan haji.
Pelaksanaan ibadah ini sendiri bisa dipandang sebagai wujud pencampuran kepercayaan lama, ritual mistik, dan ajaran Islam, yang memang masih ditemukan di kelompok masyarakat tertentu di berbagai daerah di Indonesia.
***
Kita hidup berdampingan dengan alam, jadi alangkah baiknya jika kita bisa saling menghargai. Tak sekadar menjadi ‘penikmat’ alam, tapi menjadi seorang pejalan yang benar-benar mencintai serta menjaga alam sekitar kita.