Apa yang bisa diobrolkan oleh mereka yang gemar melakukan perjalanan mengenai Banyuwangi sekarang ini? Banyak. Keindahan alamnya telah mengundang ribuan pelancong dari pelosok bumi, merebut penghargaan pariwisata dari PBByang menyingkirkan puluhan negara hingga nama Indonesia harum di mata dunia. Juga, berbagai festival budaya yang diadakan sepanjang tahun.
Tak lengkap kemudian bila mereka yang berkunjung ke Banyuwangi tidak menyisihkan waktu dan uangnya untuk menjelajahi kuliner khasnya yang beraneka ragam.
Buat mereka yang memang terlahir sebagai orang Banyuwangi lalu merantau bertahun-tahun ke tempat lain, akan merindukan Sego Cawuk. Kuliner ini begitu khas dan tak akan ditemukan di belahan bumi manapun.
Sego Cawuk diciptakan sebagai menu sarapan yang menyegarkan.Dijual di pagi hari sebelum orang-orang melakukan rutinitas. Kuliner ini merupakan sepiring nasi yang disiram dengan kuah berisi jagung muda yang dibakar dan parutan kelapa, kuah pindang yang dimasak dengan asam jawa dan gula yang digendam (gula yang dipanaskan di atas wajan namun tidak sampai meleleh), yang kemudian disajikan dengan telur masak pindang, pepes tongkol, tempe goreng, sambal jeruk, dan kerupuk.
Kata ‘cawuk’ artinya makan dengan tangan tanpa menggunakan alat apapun, seperti ketika kita makan nasi lalapan.Kata itu berasal dari Bahasa Osing, bahasa dari suku asli Banyuwangi. Saat toko-toko di sepanjang jalan protokol mulai dibuka, bersamaan dengan matahari yang mulai meninggi, penjual Sego Cawuk mengemasi jualannya yang sudah tak tersisa. Mereka tidak akan ditemukan di sepanjang hari sesudahnya.
Bila Suku Osing di Banyuwangi sedang membangun rumah dan pembangunannya sudah masuk ke tahap penegakan atap rumah, pembangunan dihentikan sejenak.Bendera merah putih dikibarkan pada ujung atap rumah, melambai-lambai kepada langit.
Sementara itu calon pemilik rumah sibuk didapur membakar ayam kampung yang dicampur dengan parutan kelapa yang sudah dibumbui dengan gula merah, kemiri, dan cabai.Disajikan dengan nasi panas di atas daun pisang dan disantap beramai-ramai sambil duduk bersila.
Itulah Pecel Pitik. Pitik adalah kata dalam Bahasa Jawa yang berarti ayam.Disajikan sebagai rasa syukur kepada Sang Ilahi atas rahmat yang dilimpahkan-Nya.
Sebagai selingan makan siang yang kadang membosankan, orang-orang di Banyuwangi akan menepikan motornya ke warung yang berjualan rujak. Di sana penjual rujak menjual beragam jenis rujak yang bisa dinikmati. Dari yang mulai dikenal sebagai ikon kota Banyuwangi: Rujak Soto.
Berbagai jenis sayuran yang sudah direbus dicampur dengan bumbu kacang semacam bumbu lotek di Jogja, tetapi tanpa ada kencur dan daun jeruk, dengan tambahan petis udang dan potongan pisang batu mentah.Kemudian disajikan di atas mangkuk dan disiram dengan kuah soto yang berisi potongan daging sapi, babat, usus.Kadang juga berisi ceker dan kepala ayam.
Selain Rujak Soto, adapula Rujak Bakso. Dengan bentuk yang hampir sama dengan Rujak Soto, hanya saja kuah sotonya diganti dengan kuah bakso beserta baksonya. Untuk yang lebih menyegarkan Rujak Cemplung wajib dicoba.Ini adalah rujak buah dengan bumbu gula merahnya yang bisa ditemukan dimanapun.Namun ada yang membuatnya berbeda.Bumbu gula merahnya ini dicampur dengan air, cuka, dan asam.Untuk buah-buahannya sendiri dipotong-potong dadu yang kemudian dicemplungkan ke dalam kuah bumbu gula merah tadi.Membayangkannya saja sudah membuat mulut basah.
Ada pepatah “dunia tak selebar daun kelor” yang sering didengar.Tetapi tak banyak yang benar-benar tahu bagaimana wujud daun kelor itu sendiri.Dan juga tak banyak yang mengetahui kenikmatan dan kesegaran rasanya.
Sayur kelor menjadi andalan masakan Ibu saya sehari-hari dan juga ibu-ibu lain di Banyuwangi. Tak perlu membeli daun kelor di pasar sebab tak mungkin ada yang menjualnya.
Daun kelor tumbuh liar di Banyuwangi.Kami bahkan menanamnya di halaman rumah.Daun kelor hanya dimasak layaknya sayur bening dengan batang serai. Itu saja. Kemudian dinikmati dengan nasi panas dan ikan goreng dengan pelengkap sambal jeruk khas Banyuwangi.
Pohon kelor memiliki buah yang bentuknya memanjang.Buahnya ini dinamakan klentang.Di Banyuwangi kami memasaknya sebagai sayuran.Dimasak dengan cara berbeda kami memasak daun kelor.
Klentang dimasak dengan bumbu sayur asam.Disajikan sebagai menu harian di rumah-rumah.Cara makan klentang dengan menghisap habis daging buahnya adalah kenikmatan tersendiri.
Sayur klentang ini juga disajikan dengan nasi panas, ikan goreng, dan sambal terasi khas Banyuwangi.
Nasi Tempong terkenal karena sambal terasinya yang membuat telinga tuli saking pedasnya.‘Tempong’ dalam Bahasa Osing artinya ‘tampar’. Itulah reaksi orang saat menikmati Nasi Tempong: terasa ditampar.
Nasi Tempong sendiri berupa nasi yang dinikmati dengan aneka lalapan sayuran yang sudah direbus.Kemudian disiram dengan sambal terasi yang khas, yang dibuat dari ranti sebagai pengganti tomat dan jeruk pecel.
Di Banyuwangi tidak mengenal tomat untuk membuat sambal, tetapi ranti.Ranti masih satu keluarga dengan tomat-tomatan.Bentuknya kerinting mirip gambar awan anak-anak TK. Ia tumbuh dengan mudah di halaman rumah.
Untuk lauknya bermacam-macam seperti ikan asin goreng, bakwan jagung, atau telur dadar.
Melakukan perjalanan dengan menjelajahi bentangan alam suatu tempat memang akan menjadi cerita seru. Namun, melakukan perjalanan sekaligusmenjelajahi kuliner khas suatu tempat, yang menjadi akar budaya dan karakter masyarakatnya, akan menjadi cerita yang luar biasa.